Pages

Kamis, 30 Oktober 2014

Review Novel : London: Angel, Windry Ramadhina



Judul : London: Angel (STPC #5 Gagasmedia)
Penulis : Windry Ramadhina
Jumlah Halaman : x + 330 hlm.
Genre : Adult Romance, Fantasy
Penerbit : GagasMedia
Cover Designer : Levina Lesmana
Tahun : 2014 (Cet. 5)
Harga : 47.000 (fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN : 978-979-780-653-8
Rating di Goodreads : 3.67 stars of 679 ratings
First Sentence : Sekarang, kota ini persis seperti apa yang dideskripsikan Charles Dickens dalam salah satu bukunya, Bleak House.
Final Sentence : Itulah keajaiban cinta milikku.


“Kau melihatnya di tengah hujan, katamu? Dan, dia menghilang saat kau ingin mengejarnya? Jangan-jangan, dia malaikat.” Hal. 315
            Di bawah pengaruh minuman keras, seseorang dapat berbuat apa saja termasuk yang di luar akal sehat. Dan Gilang, yang sudah memendam cintanya dengan sahabat masa kecil bernama Ning selama 6 tahun, berniat untuk menyatakan cinta pada gadis itu. Pada awalnya hal tersebut terlihat wajar andai saja Ning tidak berada di negeri orang. Ya, dalam keadaan mabuk, Gilang nekad untuk mengejar Ning ke London hanya untuk mengklaim cintanya.
            Tanpa pemberitahuan kepada Ning, Gilang mengandalkan takdir untuk mempertemukannya dengan Ning dalam waktu lima hari. Gilang memang bukan eksekutif muda yang dapat terbang kesana kemari tanpa khawatir uang terkuras. Ia hanya pemuda biasa dengan pekerjaan yang juga biasa. Tabungannya hanya cukup untuk menghidupinya selama lima hari di London. Dan ketidakberuntungan langsung menyapa Gilang ketika ia bertandang ke kediaman Ning. Gadis itu tidak ada di tempat. Sudah tiga hari belakangan tidak kelihatan.
            Sembari menunggu Ning kembali, Gilang memutuskan untuk mengisi hari-harinya dengan berjalan-jalan. Tempat pertama yang ia kunjungi adalah London Eye. Kincir raksasa yang juga menjadi ikon di kota London. Di London Eye, tepatnya saat hujan turun, Gilang bertemu dengan seorang gadis menawan bermata biru, berkulit pucat porselen, dan rambut cokelat keemasan yang ia beri gelar ‘Goldilocks’. Gilang memang tidak sempat berkenalan dengan gadis itu karena saat hujan berhenti, gadis itu keburu pergi. Yang ia tinggalkan hanya sebuah payung merah dan payung itu pun dibawa Gilang pulang untuk dikembalikan ketika bertemu lagi nanti.
            Tempat kedua yang Gilang sambangi adalah toko buku Dickens and More untuk mencari peta London karena hari itu ia memutuskan untuk mendatangi tempat kerja Ning di Tate Modern. Di toko buku tersebut, Gilang berkenalan dengan pemilik toko buku, Mr. Lowesley yang sering datang ke Madge untuk makan—penginapan tempat Gilang bernaung selama di London—dan juga Ayu—gadis Indonesia yang terobsesi dengan novel Wuthering Heights cetakan pertama.
            Saat mengunjungi Tate Modern, Gilang mendapat kabar bahwa Ning berada di Cambridge untuk mengambil materi pameran dan tidak bisa dipastikan kapan akan balik ke London. Meski kecewa, Gilang akhirnya meninggalkan pesan dan ia pun melaju ke Shakespeare’s Globe Theatre untuk mencari hiburan sedikit. Yang tidak disangka, Gilang kembali bertemu dengan Goldilocks di sana. Juga ketika hari hujan. Untungnya, Gilang juga membawa payung merah milik gadis itu. Tetapi, ketika Gilang menawari Goldilocks untuk membelikannya minuman, Goldilocks lagi-lagi menghilang tepat saat hujan teduh. Dan yang tidak disangka, Gilang justru bertemu V, kenalannya di pesawat yang merengek untuk meminjam payung merah di genggaman Gilang. Pada awalnya Gilang menolak karena payung itu memang bukan miliknya, tetapi V mendesak dan berjanji akan mengembalikannya dalam 15 menit. Sialnya, setelah satu jam berlalu, V tidak kembali-kembali juga dan Gilang pun memutuskan untuk pulang. Berniat membelikan payung yang baru sebagai ganti payung yang hilang tersebut.
            Saat Gilang mendapatkan payung merah yang mirip dengan punya Goldilocks, pemilik toko memasang harga yang amat tinggi dan akhirnya membuat Gilang urung untuk menghabiskan uangnya hanya untuk sebuah payung. Syukurnya, Gilang kembali bertemu V. Pada awalnya Gilang ingin marah, namun V keburu menukas bahwa payung itu telah menyatukannya kembali dengan istrinya. Ya, tujuannya ke London memang untuk memperbaiki cintanya yang sempat kandas.
            Di hari ketiga berada di London, Gilang akhirnya bertemu dengan Ning. Meski waktunya sisa 2 hari, nyatanya tak mudah menyatakan perasaan cinta pada seorang sahabat. Apalagi jika ia mengingat bahwa Ning pernah menjauhi Jules secara permanen karena cowok itu menyatakan cinta pada Ning padahal mereka bersahabat. Di hari-hari terakhirnya, Gilang akhirnya memantapkan niat apalagi jika terlambat, Ning bisa saja diklaim oleh Finn, seorang seniman yang sempat memaku Ning dalam kekaguman. Dan setelah ciuman yang dialamatkan Gilang pada Ning pada suatu malam di Tate Modern, perasaan Gilang pun terungkap sudah. Reaksi Ning hanya sebuah kebergemingan. Ia bahkan masih mengijinkan Gilang menemaninya untuk melihat Fitzrovia Lates—sebuah pameran seni. Di sana, Gilang kembali melihat sebuah sinar lain di mata Ning ketika melihat patung buatan Finn. Ketika itu pulalah Gilang yakin bahwa Ning memang tidak punya perasaan untuknya meskipun Ning sudah berkata bahwa ia ingin belajar jatuh cinta pada Gilang.
            Namun Gilang punya pemikiran lain. Payung merah yang selama ini sudah menyatukan V dan isterinya serta pemilik penginapan Gilang yang dingin—Madam Ellis—dengan Mr. Lowesley yang memendam perasaan pada wanita itu sekian lama, kini diserahkan Gilang pada Ning. Jika payung merah itu adalah medium Tuhan untuk menyatukan dua insan, Gilang sepenuhnya ikhlas.
“Tidak ada yang terenggut. Setiap orang punya keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum menemukannya.” Hal. 320
***
            Kak Windry sempat membocorkan bahwa London akan mengandung a lil’ bit fantasy dan memang, kadar fantasi yang ada di London cukup minim namun punya peranan yang amat penting dalam cerita. Pada awalnya, saya juga sempat nggak ngeh sama payung merah yang ditinggalkan Goldilocks. Tetapi setelah membaca beberapa review London di blog lain, saya baru sadar bahwa payung itu ternyata punya peran dalam menyatukan cinta. Sebut saja V dan isterinya seperti yang telah saya singgung di atas. Dan yang paling menarik tentu saja kisah asmara Madam Ellis dan Mr. Lowesley. Entah kenapa saat membaca bagian mengenai Madam Ellis yang ketus dan dingin ini, saya jadi teringat sama Profesor McGonagall. Hahaha... Meski saya yakin harusnya Madam Ellis tidak setua itu.
            Tidak seperti STPC yang lainnya, setting London tidak terlalu banyak dieskpos namun bukan berarti itu tidak bagus. Beberapa ikon London yang sempat disinggung adalah London Eye, Sungai Thames, dan Shakespeare’s Globe Theatre. Selain itu, Kak Windry lebih sering membahas tempat-tempat yang berhubungan dengan seni—entah itu nyata atau fiktif—karena Ning sendiri diceritakan merupakan gadis yang amat menggandrungi seni khususnya karya kontemporer abad 20 dan 21. Jika dibandingkan dengan Bangkok atau Roma yang nyaris habis mengupas semua jengkal tempat di kota masing-masing, London memang tampak minim tetapi saya justru mereka amat terikat dengan suasana yang ditawarkan khususnya kepada toko buku Dickens and More (yang kayaknya sih fiktif soalnya sempat nggak nemu di Google). Well, melihat dari ilustrasinya, Dickens and More tampak amat menyenangkan. Mengingatkan saya pada Shakespeare and Co. di Paris. Nah, yang membuat setting London terasa semakin kuat tentu saja adalah atmosfernya yang selalu dirundung hujan. Ya, hujan. Sebagai kelahiran Desember, saya tentu saja jatuh cinta dengan hujan. Jika hujan di Indonesia yang lebat berpetir ampun-ampunan bisa saya bilang magis, apalagi hujan di London yang lebih bisa dikatakan gerimis. Sayangnya saat membaca London, tak sekalipun hujan turun di kota Banjarmasin. Seandainya itu terjadi, saya berani bertaruh kalau London bakal lebih nyaman dinikmati daripada sekarang.
            Ya, mengenai tanggapan saya terhadap novel ini, London adalah novel terlama dari seri STPC yang dapat saya tamatkan. Windry’s writing style is not my cup of tea, to be honest. Bukan karena tulisannya jelek, saya berani bertaruh kalau Kak Windry punya tulisan yang keren karena dua bukunya sempat menjadi nominasi Khatulistiwa Award, namun hanya saja saya tak bisa terpaut dengan tulisan dia. Beberapa plot yang ditawarkan memang menarik, for example mengenai Madam Ellis dan Mr. Lowesley serta Goldilocks. Tetapi selain itu, novel ini saya bilang punya alur yang lambat. Agak terseret. Yang saya rasa dipengaruhi oleh gaya menulis Kak Windry.
Mengenai karakter sendiri, Gilang sebenarnya karakter yang menarik. Kesukaannya pada sastra membuatnya selalu menjuluki orang-orang yang ia kenal dengan tokoh-tokoh dari novel seperti Dee dan Dum, Hyde, V for Vendetta, dan lain sebagainya. Ia juga sempat menyinggung negeri Mordor dan Shire. Tetapi, saya agak kurang respek sama karakter-karakter yang kurang ‘Indonesiawi’ walaupun jika waktu yang dipilih adalah zaman modern. Sebut aja mabuk-mabukan itu. Ya, okelah orang sekarang memang menganggap wine, wiski,dan sebagainya sudah tidak tabu tetapi tetap saja karakter Gilang terasa kurang Indonesia.
Ning. Satu hal yang saya penasaran tentang Ning adalah nama panjangnya. Sebenarnya juara lho ada nama Ning di novel pop modern, mengingat itu bukan nama yang merepresentasikan manusia-manusia sekarang. See, yang terbersit di benak saya mengenai nama Ning adalah Ningsih atau Cahyaning. Oke, kita singkirkan sejenak mengenai persoalan nama. Nah, Ning sendiri dikatakan adalah gadis yang amat menyukai seni sampai ia ingin mendedikasikan hidupnya bekerja di Tate Modern yang mana adalah sebuah galeri seni. Sebagai manusia modern, Ning sudah mewakili semuanya. Tetapi, ya.... tidak ada yang istimewa. Rasa antipatinya terhadap jatuh cinta pada sahabat sendiri juga masih samar alasannya selain dengan dalih untuk mencegah keretakan.
Jangan lupakan pula Goldilocks, si gadis pualam yang datang saat hujan turun dan menghilang saat hujan berhenti. Sepanjang novel, saya bertanya-tanya siapa sih Goldilocks ini meskipun sempat kefikiran juga bahwa dia ini piffffffff. Goldilocks inilah yang membuat saya betah membaca tentang London karena revelation-nya pun cukup menarik yaitu mengangkat legenda budaya setempat. Tapi lagi-lagi, karakter Goldilocks masih diawang-awang alias tidak tergambarkan dengan baik selain gadis berambut keemasan, bermata biru, dan berkulit porselen dengan pakaian amat feminim (bayangin Dorothy di The Wizard of Oz).
Yang paling saya suka dari London adalah, eng ing eng...... the ending. Saya sepakat dengan beberapa review lain bahwa ending London juaraaaaaaa banget. Nggak nyangka banget meskipun juga agak gantung. Tapi, itu brilliant. Dan payung merah itu pun tidak terlupakan begitu saja.
Keluhan saya sih cuma cover. Desainnya sih oke, apalagi atribut mahkota di atas tulisan London, meskipun kecil, tetapi mumpuni untuk menonjolkan kesan Inggris-nya. Sayangnya, warna cover kurang banget. Mungkin niatnya ingin mengesankan bis tingkat atau telephone box tetapi merahnya kurang menyala, malah kelihatan kusam. Nggak tahu deh ini namanya merah apa. Saya lihat, warna pembatas bukunya malah lebih menarik dibanding warna cover.
Kesimpulannya, kalau diibaratkan dengan mesin, London ini panasnya lama. Namun kalau sudah panas, performa yang ditampilkan cukup memuaskan.

Rating
Cerita: 6,3 of 7
Cover: 6 of 7



 
Images by Freepik