Judul : The
Best of Me (Yang Terbaik Dariku)
Penulis :
Nicholas Sparks
Penerjemah :
Ambhita Dhyaningrum
Jumlah Halaman
: 392 hlm.
Genre : Adult
Romance
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer
: Movie Tie-In Cover
Tahun : 2014
Harga : 51.000 (beli
di fb: Naufal Jasa Kurir)
ISBN :
978-602-03-1048-0
Rating di
Goodreads : 3.83 stars of 84,683 reviews
First Sentence : Bagi Dawson Cole, halusinasi-halusinasi
itu dimulai sejak ledakan di anjungan, pada hari seharusnya ia mati.
Final Sentence
: “Aku juga sayang padamu.”
Menjadi one of a kind sama sekali tidak
membuat Dawson mendapatkan keistimewaan. Sebaliknya, perbedaan yang menciptakan
jurang lebar antara Dawson dan anggota keluarganya yang lain justru membuat
Dawson seolah dimusuhi. Terlahir di tengah keluarga kriminal, Dawson yang
seorang baik-baik dan berprestasi di sekolah tak pernah menggembor-gemborkan
prestasinya kepada keluarganya, justru sebaliknya, ia malah harus menutupi
pencapaian tersebut dengan belajar keras untuk sengaja gagal dalam ujian bahkan
memalsukan nilai rapor agak tampak lebih buruk dari nilai yang sebenarnya.
Namun, sepandai-pandainya Dawson berpura-pura beda dari yang lainnya, kepalsuan
tersebut tetap saja ketahuan dan membuat Dawson tak luput dari perlakuan kejam
sepupu-sepupunya, Ted dan Abee, bahkan ayahnya sendiri yang merupakan seorang
penggemar ‘ikat pinggang’.
Sampai pada satu titik tertentu, Dawson
akhirnya gerah dengan kekejaman sang ayah dan mengancam kalau sampai ayahnya
mengayunkan ikat pinggang lagi padanya, ia akan membunuhnya. Selepas peristiwa
itu, Dawson pun merasa bahwa sudah saatnya ia harus pergi dari rumah.
Untungnya, Tuck mau menerimanya sebagai seorang asisten di bengkel dan Dawson
pun tinggal di sana.
Di usianya yang masih remaja, Dawson memulai
rajutan kisah kasihnya dengan seorang perempuan kelas atas bernama Amanda
Collier. Kisah mereka dimulai sejak mereka dipasangkan sebagai partner di
praktikum Kimia. Namun, seperti kisah cinta beda kelas lainnya, kisah asmara
mereka-pun mendapat tentangan dari orangtua Amanda. Bahkan, Amanda sampai
memutuskan untuk minggat dari rumah dan mengajak Dawson untuk hidup bersamanya
di kehidupan yang betul-betul baru. Sayangnya, Dawson menolak hal tersebut dan
menyuruh Amanda untuk kembali ke keluarganya. Dawson berfikir, mereka tidak
akan pernah bisa membangun kehidupan karena Dawson sendiri-pun bukan orang yang
berpunya. Amanda yang kecewa lantas meninggalkan Dawson, kuliah, dan kisah
cinta masa remaja mereka pun berakhir sampai disana.
Dua puluh lima tahun kemudian, mereka kembali
bertemu di upacara kematian Tuck, pria yang sudah dianggap sahabat bahkan
keluarga sendiri oleh mereka berdua. Lewat pengacaranya, Tuck menitipkan sebuah
wasiat yang harus dilakukan oleh Dawson dan Amanda. Selain itu, Tuck juga
memberi mereka tiga buah surat. Satu surat untuk mereka baca berdua, dan dua
surat lainnya untuk masing-masing dari mereka. Permintaan terakhir dari Tuck
itulah yang membuat mereka tertahan di Oriental, dan tanpa sadar kembali
mengenang romansa mereka di saat remaja, yang ternyata tak lekang baik di hati
Dawson maupun Amanda yang sudah bersuami dan mempunyai 4 orang anak.
Sayangnya, kebersamaan mereka mempunyai batas
waktu, dimana Dawson dan Amanda harus kembali ke kehidupan mereka masing-masing
setelah misi dari Tuck dilaksanakan. Namun, isi surat yang dititipkan Tuck pada
mereka berdua, membuat mereka kembali mempertanyakan perasaan mereka. Amanda
pun lantas bimbang, karena bagaimanapun, ia bukanlah wanita lajang lagi. Ada
keluarga yang juga butuh dirinya. Lalu, dua buah peristiwa yang terjadi secara
bersamaan namun di tempat yang berbeda, membuat jalan Dawson dan Amanda kembali
bersimpangan. Melibatkan sesosok ‘hantu’ masa lalu yang tidak pernah membuat
Dawson merasa tenang hingga kini, Dawson dan Amanda pun pada akhirnya dekat
satu sama lain, tetapi dengan cara yang jauh di luar dugaan mereka. Yang
terbaik darinya, telah Dawson berikan untuk kebahagiaan Amanda.
***
Banyak yang mengulas The Best of Me dengan
pandangan negatif, baik dari versi buku maupun film. Saya akui, The Best of
Me bukanlah sebuah karya yang orisinil, pun memiliki kekuatan memikat
seperti novel-novel Om Nico sebelumnya. Latar sosial asmara berbeda kasta tentu
akan mengingatkan kita secara gamblang dengan The Notebook yang
dieksekusi dengan sangat mengesankan. Dan ketika The Best of Me mengulang
hal tersebut, meskipun tidak menjadi tema utama, tetap saja atmosfernya
terkesan basi, apalagi ditulis oleh author yang sama. Satu hal yang
membuat novel ini tidak tampak cemerlang di mata pembaca adalah karena alur
cerita yang tampak lebih miserable daripada nasib-nasib tokoh di film Les
Miserables. Bagaimana tidak, sang tokoh utama, Dawson, didaulat menjadi
karakter pria paling tidak beruntung sepanjang sejarah pernovelan, padahal ia
tokoh utama. Selain itu, konflik utama cerita yang muncul menjelang akhir juga
sangat klise. Bagi pembaca di Indonesia, mudah sekali untuk mengaitkan The
Best of Me dengan julukan sinetronish alias kisah yang sedikit
kurang masuk di akal dapat terjadi di kehidupan nyata.
Namun, ibarat Bang Christian Simamora yang
dapat menyulap kisah-kisah klise di serial J-Boyfriend-nya menjadi bacaan yang
epik, Om Nico tetap tidak kehilangan daya magisnya dalam merangkai kata-kata. Bab-bab
terakhir, meski sudah saya bilang sebelumnya terlalu sinetron, masih tetap
dapat membuat saya terenyuh dalam perasaan haru dan hancur yang dialami Amanda.
Kepanikan Amanda saat itu menggambarkan dengan sangat gemilang betapa ia adalah
seorang ibu yang sangat menyayangi keluarganya. Nah, yang saya justru heran,
sikap Amanda ini justru dikritik sebagian pembaca. Katanya, Amanda tidak
konsisten karena ia memilih untuk putar balik demi keluarganya daripada
menyatakan perasaannya pada Dawson. Padahal, sikap tersebut lah yang justru
membuat Amanda tampak manusiawi dan tidak egois di mata saya. Bagaimanapun
juga, keluarga adalah hal yang utama. Dan berada di posisi Amanda saat itu
bukanlah hal yang mudah dihadapi.
Original Cover |
Dari sisi Dawson sendiri, ia tetap menjadi
tokoh utama pria baik-baik. Well, sebenarnya tidak ada satupun tokoh
utama pria buatan Om Nico yang benar-benar berandal. Dan hebatnya, meski
karakternya nyaris sama, saya tidak dapat mencocokkan tokoh pria yang satu
dengan yang lainnya karena Om Nico seolah punya trik jitu untuk membuat
tokoh-tokohnya terkesan berbeda. Dawson sendiri punya kisah hidup yang menarik,
yang menurut saya tampil lebih menarik dibanding kisah hubungannya dengan
Amanda, mulai dari terlahir sebagai ‘angsa’ di tengah kelompok itik buruk rupa,
menjadi magnet bagi berbagai peristiwa mengerikan yang kerap menimpa timnya di
tempat kerja, dihantui oleh sosok yang seolah hadir untuk terus menyelamatkan
nyawanya namun ternyata punya misi yang bikin jawdropping, dan fakta
bahwa kesengsaraan adalah teman karibnya sejak ia lahir sampai nanti.
Sebenarnya, novel ini punya twist di
bagian menjelang ending, namun sayangnya kejutan tersebut begitu mudah
tertebak sejak pertengahan halaman sehingga saya memutuskan untuk tidak
menyebutnya sebagai twist, melainkan dinamika alur yang sedikit menyentak
tapi tidak membuat kaget.
Well, saya sih bingung kenapa The Best of Me yang harus
dijadikan film sementara novel-novel Om Nico jaman dulu justru terlihat lebih outstanding.
Dan terbukti memang, film The Best of Me gagal memikat penonton. To
tell the truth, ‘The Lucky One’ dan ‘A Walk to Remember’ adalah film
adaptasi novel Om Nico terbaik yang pernah saya tonton, yang pasti juga sudah
saya baca. Rasanya agak paradok ketika dulu saya begitu mengidam-idamkan The
Best of Me karena terpikat dengan cover beranda dan kursinya, namun
sekarang justru sedikit kecewa dengan ceritanya.
Note: Ada banyak sekali typo di novel ini.
BANYAKKK!!!
Rating
Cerita : 5 of 7
Terjemahan : 6 of 7
Cover Movie Tie-In : 6 of 7
Cover Asli : 7 of 7