Pages

Tampilkan postingan dengan label Sastra Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra Indonesia. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juli 2014

Review Novel : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka Kurniawan



Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Jumlah Halaman : 246
Genre : Sastra Indonesia, Adult Fiction, Satire Fiction
Penerbit : Gramedia
Cover Designer : Eka Kurniawan
Tahun : 2014
Harga : 66.500 (Gramedia Veteran Banjarmasin)
ISBN : 978-602-03-0393-2
Rating di Goodreads :4.03 of 23 reviews
One word about this book : Bird

“Syarat pernikahan hanya ada lima. Paling tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari corong di masjid. Satu, ada kedua mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada penghulu. Empat, ada ijab kabul. Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar pernikahan mensyaratkan burung yang berdiri,” (hal. 91)
Setiap manusia pasti diberi ujian sebagai indikator ketaatannya pada pencipta, namun ujian yang diterima Ajo Kawir sangat eksklusif. Kemaluannya tak bisa bangkit, dengan cara apapun. Di masa pubernya, Ajo Kawir dan sahabat baiknya, Si Tokek, bertingkah layaknya remaja biasanya yang sedang berada di puncak hormon testosteron. Telinga mereka akan langsung berdiri, pun bagian lain dari tubuh mereka, jika mendengar hal-hal yang menyangkut anatomi tubuh perempuan. Sampai suatu hari, Si Tokek dengan antusias sekaligus misterius memberitahu Ajo Kawir bahwa ada pemandangan yang sangat indah yang tak boleh ia lewatkan.
Rona Merah. Perempuan gila yang ditinggal suaminya mati secara mengenaskan. Rona Merah tak pernah mau beranjak dari rumahnya, mungkin meratapi kematian suaminya di sana. Dan kesanalah Si Tokek mengajak Ajo Kawir. Tepatnya, untuk mengintip aksi pemerkosaan dua oknum polisi terhadap Rona Merah. Malangnya, Ajo Kawir kepergok sementara Si Tokek sempat kabur. Ajo Kawir pun dipaksa polisi tersebut masuk, untuk menyaksikan secara langsung adegan pemerkosaan Rona Merah. Dan setelah kedua polisi selesai menggagahi si perempuan gila, polisi itu kemudian menyuruh Ajo Kawir untuk ikut memerkosa Rona Merah dengan ancaman moncong pistol yang diarahkan kepadanya jika Ajo Kawir menolak. Saking ketakutannya, kemaluan Ajo Kawir malah lunglai dan akhirnya terlelap dalam tidur yang teramat panjang.
Memiliki ‘kenjantanan’ yang tak bisa beraksi merupakan aib yang luar biasa memalukan bagi Ajo Kawir. Berbagai cara telah ia coba untuk membangunkan si adek. Cabai, lebah sudah bertindak untuk membuat si adek terjaga, namun yang didapat Ajo Kawir hanya penderitaan berkepanjangan dan si adek tetap menutup mata dengan damai.
Bertahun-tahun berlalu, Ajo Kawir tetap memelihara burung yang tengah terlelap. Di saat-saat frustasi, Ajo Kawir melampiaskan emosinya dengan memukul orang, entah siapa. Dan ketika ia memiliki target baru untuk dijadikan samsak, momen tersebut justru mempertemukan Ajo Kawir dengan belahan hatinya. Iteung. Perempuan jagoan yang sempat mengalahkan Ajo Kawir dalam adu tangkas sekaligus mengalahkan hati Ajo Kawir yang kukuh tak ingin berhubungan dengan perempuan akibat ujian monoton yang dideritanya. Pada awalnya, Ajo Kawir memang menolak Iteung ketika perempuan itu meminta Ajo Kawir untuk menjadikannya kekasih. Ajo Kawir bahkan sampai melarikan diri. Tetapi ketika Iteung tahu alasan Ajo Kawir tak ingin menjalin asmara dengannya dan Iteung sama sekali tak mempermasalahkan kemaluan Ajo Kawir yang tak bisa berdiri, Ajo kawir pun akhirnya luluh.
Rumah tangga Ajo Kawir dan Iteung berjalan lancar pada awalnya karena meskipun Ajo Kawir tidak mempunyai senjata yang bisa ereksi, tetapi ia masih mempunyai jari-jari yang membuat Iteung sangat puas dengan pelayanannya. Namun, prahara datang ketika Iteung dinyatakan positif hamil. Ajo Kawir yang tahu bahwa janin itu tidak mungkin darah dagingnya langsung emosi dan melampiaskannya dengan membunuh Si Macan—si ayam jago yang kehilangan taji. Perbuatan itu membuat Ajo Kawir mendekam di jeruji besi. Di sana, Ajo Kawir belajar kehidupan yang baru. Pelajaran hidup yang diperoleh dari sang burung yang tengah tertidur. Ya. Kini Ajo Kawir belajar berdamai dengan keadaan. Belajar berdamai dengan emosinya yang rentan meledak. Belajar berdamai dengan sifat temparementalnya. Belajar berdamai sedamai burungnya yang layu, tenang, tak terusik. Ajo Kawir menempuh jalan sunyi.
Sebebasnya dari bui, Ajo Kawir membeli sebuah truk dan memilih untuk menjadi supir truk. Ia ditemani seorang remaja tanggung, Mono Ompong, dan belakangan hari, mereka berdua mendapat tambahan seorang perempuan penyusup berparas jelek dan bertubuh tidak menarik bernama Jelita. Anehnya, setelah penantian yang amat panjang, burung Ajo Kawir akhirnya bisa membuka mata, berdiri tegak menantang. Kejadian burung yang bangkit dari mati suri itu memang hanya dialami Ajo Kawir dalam mimpi basah bersama Jelita pada awalnya. Tetapi saat mereka bercinta di dunia nyata, keajaiban itu tetap berlanjut. Dan ketika Ajo Kawir ingin memastikan hal tersebut untuk yang kedua kalinya, Jelita malah lenyap tak berbekas.
Yakin bahwa asetnya sudah kembali bekerja, Ajo Kawir pun memutuskan untuk kembali ke pangkuan isteri dan anaknya. Sayangnya, baru saja Iteung bebas dari penjara setelah membunuh Budi Baik (laki-laki yang pernah bercinta dengan Iteung sebelum ia bertemu Ajo Kawir), Iteung kembali harus menghabiskan tahun-tahunnya di dalam hotel prodeo setelah ia menghabisi nyawa kedua polisi pemerkosa si perempuan gila Rona Merah, yang juga pelaku utama terbuainya burung Ajo Kawir dalam tidur yang nyenyak.
***
            Kalau pada protes setelah baca sinopsis versi saya di atas akibat beberapa kata yang nyerempet-nyerempet gitu, prepare yourself to nyumpah-nyumpah deh karena isi novel ini lebih vulgar baik dalam pemilihan diksi (prokem untuk merujuk alat kelamin, deskripsi tentang make out yang aduhai, sampai umpatan-umpatan kasarnya yang khas). Ya, seperti peringatan yang ternyata baru saya lihat setelah membuka plastik buku ini, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang hanya diperuntukkan untuk para pembaca yang berusia di atas 21.
            Speaking of plot, cerita ini sebenarnya punya premis yang teramat sederhana. Tentang laki-laki yang frustasi gara-gara burungnya nggak mau bangun. See? Tetapi ceritanya bakal kemana-mana dengan alur acak yang sebenarnya tidak membingungkan sama sekali, hanya saja agak menyebalkan karena ceritanya terkesan dipotong-potong. Timeline-nya sama sekali tidak beraturan. Kadang maju, mundur, semakin mundur, maju lagi, pokoknya seperti itu lah! Pada awalnya saya sempat desperate juga sama cerita dengan gaya seperti ini, namun ternyata eh ternyata, alur acak seperti ini justru menyingkap peristiwa sedikit demi sedikit dan akhirnya baru ketahuan di ending. Cukup lega sih karena pemilihan random plot­-nya terkesan tidak sia-sia belaka.
            Membaca karya Mas Eka yang satu ini sebenarnya membuat saya bertanya-tanya, apanya yang bagus sih sampai si penulis ini dianggap sebagai penulis top di Indonesia yang karyanya sudah diterjemahkan di luar negeri? Well, saya memang cuma penikmat buku sekaligus reviewer amatir, tetapi serius deh, gaya bahasa Mas Eka ini malah saya bilang terlalu biasa. Kalimatnya simpel. Pendek. Straight forward. Tidak baca deskripsi macam-macam. Dan terbukti, dengan gaya tulisan seperti ini, saya malah cepat bosan. Untungnya, cerita setelah Ajo Kawir membunuh Si Macan sukses menjadi mood booster yang ampuh, especially adegan kejar-kejaran truknya yang bikin deg-degan. Apalagi waktu baca adegan ini, saya lagi dalam bus yang sopirnya juga ugal-ugalan banget nyetir, bikin tambah deg-deg ser.
            Ide cerita udah keren. Penggarapannya lumayan. Namun ada satu yang sangat saya sayangkan dari novel ini. Kemunculan beberapa tokoh yang seolah hanya tempelan karena nggak ngaruh sama sekali sama topik utamanya (I talk about Si Bocah). Pun, ending-nya juga sangat dipaksakan. Tiba-tiba saja ‘peliharaan’ Ojo Kawir langsung siuman dari tidur panjangnya setelah bercinta dengan Jelita. Dan setelah itu, tidak ada pembahasan lagi kenapa hal itu bisa terjadi dan siapa sih Jelita yang kayak jelangkung itu, datang tak dijemput pulang tak diantar?
            Sisi terbaik, sekaligus yang paling unik dari novel ini adalah sampul novel dan judulnya. Kalau dilihat dari sampulnya yang unyu, pasti tidak akan pernah menyangka bahwa ceritanya bakal segila ini. Iya sih di cover-nya ada profil burung yang sedang tertidur, tapi come on, itu burungnya warna-warni dan sama sekali tidak bisa disangkut-pautkan dengan burung yang dimaksud dalam buku ini. Hehhe... Mengenai judulnya, keren banget sih meskipun tetep nggak ngeh dimana letak kesinambungannya antara cerita dengan judul selain masalah truk-truk ini.
            Well, saya benar-benar setuju kalau Eka Kurniawan bukanlah penulis konvensional!
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.” hal. 126

Rating : 6 of 7
Cover : 6,5 of 7

Minggu, 27 April 2014

Review Novel : Azab dan Sengsara, Merari Siregar



Judul : Azab dan Sengsara
Penulis : Merari Siregar
Jumlah Halaman : 163 hlm.
Genre : Roman Klasik
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1920
Harga : Rp. 50.000 (Balai Pustaka Online untuk terbitan baru)
Three words about this book : Sad Beautiful Tragic (mumpung lagi marak-maraknya anything about Taylor Swift. Hehehe...)


“Diamlah Tuan, janganlah tuan terlampau amat bercintakan hal yang belum kejadian. Siapa tahu malang yang tuan sangkakan itu menjadi mujur kesudahannya." Kata lampu.
***
Mariamin dan Aminu’ddin bukanlah sepasang kekasih yang baru dirundung cinta kemarin sore. Mereka sudah bersama sejak kecil, tak lain dan tak bukan karena ibu Aminu’ddin merupakan saudara kandung dari ayah Mariamin—Sultan Baringin. Di masa kanak-kanak, Aminu’ddin selalu menempatkan dirinya sebagai pelindung Mariamin. Bahkan saat Mariamin terjatuh ke sungai yang tengah banjir, tanpa mempedulikan keselamatannya, Aminu’ddin langsung menyeburkan dirinya ke dalam air bah. Karena fikirnya, lebih baik ia berbagi kuburan dengan Mariamin di sungai itu daripada ia harus hidup tanpa Mariamin. Syukurnya, mereka berdua selamat dan sejak saat itu Mariamin menaruh simpati berlebih pada sepupunya itu.
Saat dewasa, merekapun menjelma menjadi sepasang kekasih. Namun, Mariamin harus menghadapi kenyataan pahit ketika Aminu’ddin memutuskan untuk merantau ke Medan. Alasannya tidak muluk, ia hanya ingin dapat mempersunting Mariamin dengan uangnya sendiri, meskipun sang ayah justru seorang kepala kampung dengan status sosial tinggi.
Tiga bulan berlalu, Mariamin mendapat surat dari sang kekasih bahwa ia telah mendapat pekerjaan dan bersiap untuk melamar Mariamin. Aminu’ddin-pun telah melayangkan surat ke orangtuanya, yang mana ia ingin agar ibu ayahnya mempersunting Mariamin untuk dirinya. Namun, sang ayah nampaknya agak tidak sepaham dengan kehendak sang anak. Ia berfikiran bahwa ada ketimpangan jika Aminu’ddin yang berderajat tinggi harus menikah dengan Mariamin yang kini jatuh miskin akibat ketamakan Sultan Baringin, ayahnya. Ayah Aminu’ddin-pun memutuskan untuk mencarikan perempuan lain untuk anaknya, namun sang istri tak setuju. Mencoba mengambil jalan tengah, Ayah Aminu’ddin meminta saran seorang dukun untuk membaca nasib Aminu’ddin jika harus menikah dengan Mariamin, dan ternyata perkawinan mereka justru akan dirundung petaka. Sang ibu-pun mengalah dan akhirnya menuruti kehendak suaminya untuk mencarikan calon yang lebih setara buat sang anak.
Di lain tempat, Mariamin justru telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan orangtua Aminu’ddin. Namun orang yang ditunggu tak kunjung datang.
Aminu’ddin yang akhirnya pulang, kaget ketika kedua orangtuanya justru menyodorkan calon baru untuknya. Kecintaannya pada Mariamin belumlah pudar, tetapi ia juga tak berani menentang kemauan orangtuanya, dan akhirnya Aminu’ddin-pun menikah dengan pilihan kedua orangtuanya.
Mariamin yang kini patah hati ternyata tak selamanya sendiri. Beberapa waktu kemudian, Mariamin akhirnya menikah dengan Kasibun, seorang kerani yang notabene mampu menghidupi Mariamin dengan layak. Namun, ada hal yang membuat Mariamin selalu menolak jika diajak berhubungan suami istri oleh Kasibun. Bukan semata karena ia tidak cinta, tetapi Mariamin takut hubungan itu justru membahayakan nyawanya. Sejak saat itu, sikap Kasibun dan Mariamin mulai tidak ramah. Puncaknya, ketika Aminu’ddin bertandang ke rumah Kasibun, dan ia sama sekali tak tahu bahwa Mariamin justru adalah istri orang yang ia kunjungi.
Mariamin-pun mulai sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Sampai suatu hari ia berhasil kabur dari rumah, melaporkan sang suami ke polisi dengan cukup bukti, dan akhirnya mereka-pun resmi bercerai.
Kesengsaraan Mariamin berakhir selama-lamanya.
***
Hal yang paling kental dari roman klasik selain dari penggunaan Bahasa Melayu adalah deskripsi suasana alam yang benar-benar menggunggah. Hal itupun juga saya temui dalam novel ini, bahkan sejak novel ini dimulai. Penggambaran suasana senja kampung Sipirok yang tenteram begitu meneduhkan perasaan. Rasanya saya ikut terbawa ke dalam setting cerita. Duduk di pinggiran sawah yang membentang hijau sementara langit di atas bersaput jingga. Dihibur dengan cicit burung yang terbang pulang ke sarang, dan tak lama kemudian dipanggil untuk segera pulang oleh kumandang adzan maghrib yang bersahutan dari langgar ke langgar. Suasana langka yang sudah pasti sulit ditemui di kota besar, bahkan di Banjarmasin di tempat saya berdiam saat ini. Namun kalau direnungi betul-betul, deskripsi alam yang dituliskan oleh Merari Siregar sebenarnya tidak terlalu istimewa. Pun tidak terlalu detail sekaligus artistik seperti yang dituliskan Ahmad Tohari di Bekisar Merah. Walau begitu, penggunaan Bahasa Melayu-lah yang membuat paragraf deskripsi tersebut terdengar begitu membuai.
Membicarakan roman klasik, tentu tak bisa dilepaskan dari beberapa hal yang sepertinya menjadi pakem para penulis saat itu. Sebut saja kisah cinta tak sampai, kisah cinta berbumbu adat-istiadat atau status sosial, karakter tokoh yang santun dan religius, alur cerita tragis (you name it, kill the protagonist), dan tentu saja, penggunaan Bahasa Melayu.
Oh ya, sebelumnya cerita ini beralur maju-mundur-maju. Bagian pertama, menceritakan tentang perpisahan Mariamin dengan Aminu’ddin, yang juga menyinggung tentang kondisi keluarga Mariamin yang jatuh miskin dengan ibunya yang tengah sakit-sakitan. Bab selanjutnya, cerita mundur ke masa kecil Mariamin dan Aminu’ddin dimana Aminu’ddin pernah sangat berjasa menyelamatkan nyawa Mariamin yang terpeleset ke sungai yang tengah banjir. Bagian selanjutnya, masih berupa peristiwa di masa lampau, dimana diceritakan kondisi keluarga Mariamin yang masih kaya raya. Namun, karena ketamakan sang ayah, akhirnya mereka-pun jatuh miskin, sementara Sultan Baringin, ayah Mariamin, meninggal dunia. Jujur, bagian yang menceritakan tentang ayah Mariamin ini menurut saya adalah lowest point dari novel ini. Saya nyaris saya skipped this part, karena ceritanya terlalu panjang. Hampir 50 persen dari keseluruhan isi novel. Dan bagian terakhir adalah saat cinta Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya benar-benar terhalang karena masing-masing dari mereka tak pernah bersatu.
Oke, kembali ke pakem roman klasik yang akan saya bahas satu-persatu.
Kisah cinta tak sampai. Jika membaca dari sinopsis di atas, sudah jelas bahwa cinta Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya tidak dipersatukan. Adapun penyebabnya akan dibahas dalam pakem no 2.
Kisah cinta berbumbu adat-istiadat dan status sosial. Seperti yang saya tulis di sinopsis, status sosial menjadi faktor utama mengapa Aminu’ddin akhirnya gagal bersatu dengan Mariamin dalam biduk pernikahan. Tetapi, dalam novel ini juga disinggung norma adat lainnya (dalam hal ini adat Batak) dimana sepasang manusia yang bermarga sama juga tidak diperbolehkan untuk menikah. Selain itu, juga disinggung tentang sere atau boli, yaitu salah satu syarat perkawinan dalam adat Batak. Penulis novel ini sepertinya ingin mengeritik tentang budaya sere atau boli yang ia anggap justru memberatkan salah satu pihak (dalam hal ini pihak laki-laki) yang ingin menikah. Sere atau boli sendiri ialah emas kawin yang besarnya ditentukan oleh orangtua pihak wanita dan harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Dalam cerita ini disebutkan bahwa besar sere adalah 200 sampai 400 rupiah. Jumlah ini merupakan jumlah pertengahan karena ada pula pihak yang hanya bisa memenuhi kurang dari 200 atau lebih dari 400. Dalam adat saya sendiri, Banjar, budaya ini juga ada, dan masih dipraktekkan sampai sekarang. Bahkan jujuran (sere atau boli dalam adat Batak) ini menjadi titik awal apakah pernikahan jadi dilanjutkan atau tidak. Besar jujuran dalam adat Banjar sebenarnya ditentukan oleh masing-masing pihak, namun yang saya dengar, trend saat ini minimal adalah 20 juta (pandang jumlah ini dari kacamata rakyat biasa, bukan orang berduit. Hehe...). Dan jumlah ini ternyata bisa menyusut maupun bertambah, tergantung dari suku mana perempuan yang akan dinikahi tersebut berasal. Sejujurnya, saya-pun juga pihak yang kontra dengan adanya budaya seperti ini karena selain tidak diatur dalam agama (note it, jujuran itu bukan mas kawin. Jadi, pihak laki-laki juga tetap harus menyediakan mas kawin, tidak lepas tangan begitu saja), budaya seperti ini juga terkesan menukar pihak perempuan dengan uang, karena apabila pihak laki-laki tidak bisa memenuhi jumlah jujuran yang ditawarkan orangtua perempuan, maka pernikahan tidak akan dilangsungkan.
Karakter tokoh yang santun dan religius. Digambarkan dengan sangat sempurna oleh tokoh Mariamin yang begitu santun, murah hati, dan juga religius. Aminu’ddin pun tak kalah sempurna. Santun, taat beragama, pekerja keras, juga patuh pada orangtua bahkan dalam urusan pasangan hidup sekaligus. Hal ini sebenarnya merupakan gambaran konkret orang-orang jaman dulu yang masih tidak direcoki modernitas-modernitas yang setuju tidak setuju, telah mengikis moral bangsa Indonesia yang pada dasarnya merupakan manusia dengan rasa sosial yang tinggi, humanis, religius, ramah, pekerja keras, santun, dan berbagai sifat-sifat terpuji lainnya. Saya sendiri-pun merasakan sekali bagaimana berbedanya karakter orang-orang jaman saya kecil dulu (kalau baca buku PPKN atau Bahasa Indonesia pasti tahu bagaimana santunnya gambaran orang Indonesia) dengan orang-orang jaman sekarang yang lebih individualis dan apatis. Rasanya saya nyaris tak mendengar ada gotong royong yang dilakukan untuk membersihkan kampung atau membangun rumah.
Alur cerita yang tragis. Hal ini sudah bisa dibaca dari judul novel. Azab dan Sengsara. Tidak ada happy ending, as usual. Penulis dengan santainya membunuh karakter utama yang saat ini justru diharamkan dalam dunia ‘pernovelan’. Hehe.... Oh ya, satu hal yang saya kritisi dari judul novel adalah ketidakterkaitannya dengan isi yang, sebut saja, masa Mariamin si perempuan baik-baik itu dapat azab? Kalau sengsara sih iya. Dan selain azab yang menimpa ayah Mariamin, tidak ada lagi azab-azab lain yang terkait dengan tokoh utama dalam novel ini. hehehe....
Penggunaan Bahasa Melayu. Hal ini tak terlepas dari banyaknya penulis zaman tersebut yang berasal dari Sumatera, sebut saja Merari Siregar, HAMKA, Tulis Sutan Sati, dan Marah Roesli. Dibanding Sitti Nurbaya, Bahasa Melayu yang dipakai dalam Azab dan Sengsara lebih mudah difahami. Dan saya mencatat, hanya sedikit kosakata Bahasa Melayu yang (menurut saya) jarang dalam Bahasa Indonesia saat ini (kecuali dalam bahasa daerah). Seperti: Masygul (murung, susah), ruyup (mengantuk, hari yang beranjak malam), bengkalai (terlantar), ranggah (memetik buah dengan tongkat/sampai habis), Tuhan sarwa sekalian alam (Tuhan seru sekalian alam), lamun (namun), fiil (perbuatan), khizit, pokrol bambu (pembela perkara dalam pengadilan yang tidak menempuh pendidikan tinggi), garipir, kudung (terpotong pada ujungnya, kerudung), tiris (bocor), berabung, malap (cahaya yang tidak terang), pimping, salaian (para-para di atas dapur, alat untuk menyalakan tungku), juadah (penganan dari ketan), air kahwa (kopi), kerani (pegawai rendah), gamit (menyentuh dengan ujung jari), cambung (mangkuk cekung), setelempap (ukuran selebar telapak tangan), sebulu, bumiputra (pribumi), jaiz (boleh), bidai (jalinan bidai/bambu), dan bang (adzan). Selain itu, tentu saja penggunaan syair dan pantun juga merupakan ciri khas karya sastra berbahasa Melayu yang juga terdapat dalam novel ini meskipun tidak banyak seperti yang ada pada novel Sitti Nurbaya.
Saya fikir review saya kali ini sudah cukup panjang. Maka dari itu, ada baiknya saya akhiri sekarang karena dikhawatirkan ulasan saya untuk novel selanjutnya malah tidak jadi ditulis karena semua fikiran sudah terkuras untuk review Azab dan Sengsara. Hehe... Yang jelas, novel-novel Indonesia klasik amat baik untuk dikonsumsi semua golongan karena berisi nilai-nilai kebaikan yang saat ini sudah terkikis dan nyaris habis. Marilah kembali menjadi masyarakat Indonesia yang menjunjung norma, budaya, dan sikap ketimuran tanpa out of date terhadap perkembangan jaman modern. ^_^
Oh ya, sebelum kelupaan, ada satu kutipan favorit saya di novel ini yang berupa monolog cukup panjang.
"Pada waktu dahulu sudah tentu saya mendapat pemeliharaan yang senang, kalau saya sakit," kata perempuan itu dalam hatinya. "Akan tetapi sekarang, aduh, siapakah yang kuharapkan lagi? Seorang pun tak ada yang melihat saya, demikianlah rupanya manusia itu di dunia ini. Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat; bila kita jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan dirinya. Akan tetapi Allah pengiba, anakku sudah besar dan cakap memelihara saya pada waktu sakit. Cinta orang tua yang kusimpan baginya, dibalasnya dengan kasih sayang anak kepada orang tuanya. Demikianlah cinta Riam kepada saya. Kalau ia pergi ke ladang atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menyenangkan hatiku, meskipun yang dibawanya itu tiada seberapa harganya; seperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang direbus anakku itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau ayam waktu hari kesukaanku, sungguhpun tak enak dirasa lidahku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hatiku. Mariamin, Mariamin, doakanlah kepada Allah, biar saya lekas sembuh dan lama hidup, supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada demikian, siapakah yang akan mencarikan nafkah untukmu berdua? Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi tempat mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan?"

Rating
Cerita : 6 of 7
Cover Asli : 5 of 7 (karena jaman dulu tekhnologi percetakan belum maju, jadi bisa dimaklumi kenapa cover-nya ‘seperti itu’. So, I give the medium score).


 
Images by Freepik