Pages

Tampilkan postingan dengan label horror. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label horror. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Juli 2015

Review Novel: Unforgiven by Eve Shi



Judul : Unforgiven: Hantu Rumah Hijau
Penulis : Eve Shi
Jumlah Halaman : vi + 262 hlm.
Genre : Horror
Penerbit : Gagasmedia
Cover Designer : Levina Lesmana
Tahun : 2014
Harga :  pinjam di perpusda
ISBN : 979-780-730-4
Rating di Goodreads : 3.25 stars of  28 reviews
First Sentence : “Gue nggak yakin rumah hijau ada hantunya,” tegas Kaylin.
Final Sentence : Suara yang, ia tahu kini, akan selalu ada di rumah ini sampai kapan pun.


Seorang penghuni baru kembali menempati rumah Hijau yang terletak tepat di samping rumah Kaylin. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian Kaylin mengingat pamor rumah tersebut yang sering membuat penghuninya tak betah berlama-lama di sana karena rumah tersebut dipercaya angker meskipun Kaylin tak percaya dengan gosip tersebut. Namun, kali ini, kedatangan penghuni baru tersebut juga membuat Kaylin dan sahabatnya, Rico, mendapat tamu tak kasat mata yang sangat mengusik kehidupan mereka. Gangguan-gangguan yang mereka alami pada awalnya hanya sekedar penampakan, baik di rumah maupun di sekolah, namun lama-kelamaan, roh-roh penasaran tersebut juga melakukan serangan fisik yang mencederai adik dan ayah Kaylin. Yakin bahwa gangguan-gangguan tersebut berasal dari datangnya Yanuar ke rumah hijau, Kaylin dan Rico pun bertekad melakukan penyelidikan dan penyelusuran sejarah rumah hijau dan menemukan fakta bahwa pemilik rumah tersebut adalah sahabat dekat kakek Kaylin dan kakek Rico. Mereka juga mendapati informasi bahwa Pak Theo—si pemilik rumah hijau—, kakek Kaylin, dan kakek Rico sempat pindah dari kompleks tersebut tak lama setelah kasus lenyapnya suami istri, Markus dan Eris.
Menguak kembali kasus yang telah terkubur selama 40 tahun bukanlah hal yang mudah sementara saksi hidup yang tersisa hanyalah nenek Rico. Namun, apa pun yang terjadi, Kaylin dan Rico tak bisa menyerah begitu saja karena nyawa keluarga mereka adalah taruhannya. Untuk pertama kalinya, Kaylin dan Rico harus berhadapan dengan orang-orang mati yang bisa datang tanpa dapat diantisipasi.
***
            Sebagai fans berat segala hal yang berbau horor terutama film, saya sudah banyak sekali menikmati berbagai macam cerita di bawah naungan genre horor dengan berbagai macam cabangnya seperti thriller, psychological horror, dan lain sebagainya. Untuk bacaan, novel horor yang saya baca memang baru sedikit, namun kalau film—juga reviewnya—saya nyaris tak dapat menghitung lagi ada berapa banyak yang sudah saya lahap.
            Kali ini, saya akan memberikan ulasan terhadap UNFORGIVEN berdasarkan background knowledge yang saya miliki setelah melahap berbagai review terhadap film-film horor.
            Untuk penulisan sendiri, jujur saya saya tidak into dengan novel ini. Entah kenapa jalinan kalimatnya terlalu biasa walaupun sudah disisipi kosa kata bahasa Indonesia asing yang belum sempat saya cek di kamus. Pun, dialog-dialognya juga klise dan ada beberapa yang malah menggelikan.
“Pa...” bisik Kaylin gemetar. “Lagi apa? Turun, dong.”
Dialog di atas adalah salah satu contoh yang cukup membuat saya mengernyitkan dahi. FYI, ucapan tersebut dikatakan Kaylin pada ayahnya ketika sang ayah tengah ‘dianiaya’ oleh hantu Eris. Saya sungguh tidak mengerti kenapa Kaylin bisa mengucapkan kalimat seperti memerintahkan hewan peliharaan tersebut pada ayahnya yang nyawanya di ujung tanduk.
            In conclusion, dari sisi penulisan, UNFORGIVEN sama sekali tidak tampil cemerlang.
            Untuk cerita, novel ini bahkan saya bilang lebih ngawur lagi karena entah bagaimana sang roh penasaran baru berkeliaran 40 tahun kemudian. Kemana saya mereka selama ini? Bukanlah keluarga Kaylin dan Rico sudah lama berada di kompleks tersebut? Bukankah pula rumah hijau sudah sering terusik dengan kehadiran penghuni baru? Apakah karena penghuni kali ini adalah cucu kandung Pak Theo sehingga roh-roh penasaran tersebut baru terfikir untuk melakukan teror terhadap keluarga Pak Theo, keluarga Kaylin, dan keluarga Rico? Dan kenapa pula sebuah rumah dinamai rumah hijau sementara julukan tersebut sama sekali tak ada korelasinya dengan keseluruhan jalan cerita? Saya sempat berfikir bahwa mungkin rumah hijau ini juga memiliki penampakan berupa kabut hijau dan lendir-lendir hijau yang keluar dari dinding seperti novel Alfed Hitchcock and the Three Investigator edisi “Misteri Hantu Hijau”.
            Cerita yang dangkal tersebut, bahkan setelah dihiasi dengan deskripsi hantu-hantu yang terlewat detail, sama sekali tak dapat menghantarkan ketakutan pada saya pribadi. Sayangnya lagi, alur ceritanya juga flat, tak ada hook, bahkan cenderung dipanjang-panjangkan dengan hadirnya sempilan-sempilan tak bermanfaat seperti perasaan Rico pada Jessa yang sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan dan dikaitkan dengan kejadian horor yang menimpa Rico dan Kaylin mengingat Jessa bisa melihat apa yang orang biasa tak bisa lihat. Selain itu, Kak Raymon yang sempat memberikan perhatian kepada Kaylin juga terkesan hanya sebagai karakter ‘penambah tebal halaman’ karena apa pula kontribusinya terhadap jalan cerita. Pun, kalau ia punya hati dengan Kaylin, hal itu juga tidak dikembangkan sehingga UNFORGIVEN terkesan hanya sebagai sebuah novel horor yang dititipi gimmick khas teenlit namun tak melebur ke dalam cerita.
            Dalam sebuah cerita horor, ada yang paling penting untuk dilakukan ketimbang menaburkan penampakan-penampakan berwajah buruk hampir di setiap menit (kalau dalam film) atau halaman (kalau dalam novel) yaitu membuat pembaca/penonton merasa ketakutan bahkan sebelum sang hantu menampakan diri. Contoh buku yang memiliki kekuatan tersebut adalah novel adaptasi film Kuntilanak hasil tulisan Ve Handojo yang membuat saya benar-benar di part saat Sam melewati pohon besar di pemakaman dan melihat keramik-keramik bermotif khas Mangkudjiwo. Jujur saja, saya belum pernah menonton film Kuntilanak-nya Rizal Mantovani saat membaca novel tersebut. Satu lagi, saya juga ketakutan setengah mati ketika membaca Tusuk Jelangkung (novel adaptasi dari film berjudul sama yang ditulis oleh FX Rudy Gunawan) di bagian saat Rea and the genk berperahu menuju desa Angker Batu dan melewati nisan-nisan yang menyembul di rawa-rawa. See, dua contoh tersebut bahkan tak menyertakan setan di dalamnya. Kalau dari novel horor yang murni novel, maksudnya bukan hasil adaptasi film, saya kutip sebuah potongan cerita dari novel Doa Ibu karya Sekar Ayu Asmara yang juga sukses membuat pembaca merinding tanpa menampilkan penampakan-penampakan gaib.
Ijen merasakan detak jantungnya berhenti sejenak.
Telinganya menangkap sebuah suara.
Suara yang selama ini kerap terdengar, kini terdengar lebih jelas.
Sepanjang hidupnya, ia akrab dengan suara ini. Namun ia tidak pernah bisa menebak jenis suara itu.
Terkadang suara itu menyerupai suara manusia merengek penuh iba. Terkadang suara itu mirip jeritan hewan yang lehernya tersembelih parang. Terkadang terdengar sebagai sebuah lagu melankolis dengan rangkaian nada-nada minor. Namun tak jarang juga suara itu terdengar sebagai sebuah mantra dari sebuah kepercayaan masa lalu.
Suara itu terkesan bukan berasal dari dunia ini. Bukan hewani. Bukan pula manusiawi. Bukan juga duniawi. Itulah sebabnya ia menyebutnya “suara ruh”.
Ijen melihat wajah Khaled berubah sebeku es batu. Darah yang mengalir dalam tubuhnya seakan telah membeku. Bingung dan kalut bergantian menyorot dari matanya. Dewanti, istri yang baru saja resmi dipersuntingya, tak lagi berdiri di sampingnya.
Ronce melati tergeletak di lantai pelaminan.
Dewanti telah lenyap, menghilang tak berbekas. Hal. 12-13

Lihat kan, penulis berhasil menghantarkan atmosfer horor padahal yang terjadi hanyalah sosok pengantin wanita yang tiba-tiba lenyap di pelaminan setelah listrik tiba-tiba padam.

Oh ya, mengutip dari salah satu review film yang pernah saya baca, dalam kasus cerita horor yang mengangkat kasus-kasus sebuah gedung berhantu seperti rumah, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat penonton/pembaca takut dulu terhadap rumahnya.
            Selain itu, hal yang perlu digarisbawahi dari novel ini adalah kurangnya shocking moment (atau dalam istilah film disebut jump scare) dan narsisnya sang hantu yang sangat sering melakukan penampakan. Jika dua elemen ini terdapat dalam sebuah cerita horor, saya tidak yakin bahwa cerita tersebut akan membuat para pembaca terkesan dan ketakutan. Toh, mereka sudah biasa dengan sang hantu yang suka mencari perhatian.
            Well, meskipun gagal sebagai sebuah novel horor yang benar-benar horor, UNFORGIVEN tetap tampil baik dalam hal misteri ala detektif-detektifan meskipun lagi-lagi klimaks-nya begitu digampangkan seolah tak ada ide lain selain mendapat bantuan dari sang arwah penasaran. Selain itu, saya juga mengagumi cover-nya yang sangat mencekam.
            Jika diterjemahkan menjadi media lain, saya percaya bahwa UNFORGIVEN tak bisa lebih dari sebuah FTV yang tayang di siang hari sebagai pengisi waktu istirahat selepas pulang sekolah.

Rating
Cerita: 2 of 7
Cover: 7 of 7

Sabtu, 20 Juni 2015

Review Novel: The Exorcist, William Peter Blatty



Judul : The Exorcist
Penulis : William Peter Blatty
Penerjemah : Ingrid Nimpoeno
Jumlah Halaman : 448 hlm.
Genre : Horror
Penerbit : Serambi
Cover Designer : Eri[X]
Tahun : 2013
Harga : (pinjam di perpusda)
ISBN : 978-979-024-401-6
Rating di Goodreads : 4.1 stars of 93,507 reviews
First Sentence : Kilau matahari memeras butir-butir keringat dari kening lelaki tua itu, tapi dia menangkupkan sepasang tangannya pada gelas teh manis panas seakan mencari kehangatan.
Final Sentence : Saat melupakan, mereka berupaya mengingat.
***
Untuk pertama kalinya, saya nggak menaruh sinopsis di review novel yang saya tulis karena saya anggap premis cerita ini sangat sederhana. Bagi pecinta film horor, tentu tidak asing dengan The Exorcist yang sejauh ini masih menempati peringkat pertama film horor paling mengerikan yang pernah diproduksi, sekaligus juga film horor pertama yang berhasil meraih piala Oscar. Kabarnya, banyak penonton yang histeris saat menonton film ini sampai-sampai ada yang pingsan di bioskop.
The Exorcist sendiri berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Regan yang kerasukan sesosok iblis bernama Pazuzu. Plot The Exorcist sendiri hanya berkutat di sekitar usaha Chris McNeil untuk menyembuhkan anaknya yang kian hari kian parah sampai akhirnya ia disarankan untuk meminta bantuan pastor agar melakukan prosesi eksorsisme atau pengusiran roh jahat kepada anaknya. Nah, bagi yang pernah nonton film horor fenomenal The Conjuring tentu tahu kalau eksorsisme tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada izin dari Vatikan untuk melaksanakan proses tersebut, dan Vatikan pun tidak mau mengeluarkan izin tanpa bukti kuat karena eksorsisme adalah proses yang sangat beresiko.
Di awal-awal kerasukan, porsi cerita lebih banyak berinteraksi dengan dunia psikologi dimana Regan menjalani serangkaian treatment medis. Di bagian ini, akan ada banyak sekali istilah-istilah medis yang berhubungan dengan psikologi yang berusaha menjelaskan fenomena-fenomena aneh yang dialami Regan. Sehingga, di luar kehororannya, buku ini bisa dibilang adalah buku yang cerdas. Amat cerdas malah karena semua gejala-gejala psikologi dijelaskan dengan gamblang. Tidak ada gejala kesurupan Regan yang tidak bisa dimentahkan dengan teori psikologi sehingga saya berpendapat bahwa penulis buku ini adalah seorang pakar psikologi, psikoanalisis, psikiater, kalau bukan begitu, berarti ia adalah periset yang amat sangat luar biasa.
Nah, setelah menjalani serangkaian treatment secara medis, dan kondisi Regan tidak dapat tertangani, Chris pun mendapat rekomendasi untuk menemui pastor agar dapat melakukan ritual eksorsis. Chris-pun dipertemukan dengan Pastor Karras yang ternyata sangat sulit untuk diyakinkan bahwa keanehan-keanehan yang dialami Regan tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia medis. Tetapi, Pastor Karras yang juga seorang master jurusan psikologi, skeptis bahwa hal-hal klenik masih ada di zaman sekarang. Ia berpendapat bahwa dulu orang melakukan ritual eksorsisme karena mereka belum mengenal ilmu jiwa.
Berkat kekeraskepalaan Pastor Karras, ritual eksorsisme yang menjadi bintang utama novel ini tidak kunjung terlaksana padahal cerita sudah berjalan di setengah buku lebih. Kalau bagi orang awam, perubahan tingkah laku yang aneh seperti ketawa-ketawa sendiri, teriak-teriak, atau menangis tiba-tiba pasti sudah bisa didefinisikan sebagai kesurupan dan berbagai tindakan seperti memanggil orang pintar, dikepret pakai dedaunan, disembur pakai air, dan lain-lain pasti langsung dilakukan. Tetapi bagi intelek seperti Pastor Karras, bahkan fenomena-fenomena di luar nalar seperti tempat tidur yang bergoyang-goyang bahkan sampai melayang, kemampuan melontar-lontarkan diri, menggerakkan benda dari jauh tanpa menyentuh [psikokinesis], mengetahui kisah hidup seseorang atau apa yang tersembunyi tanpa melalui panca indra [Extra Sensory Perception/telepati], perubahan raut wajah, mengeluarkan berbagai macam bau secara bawah sadar, bercerocos dengan bahasa yang jauh dari usianya secara bawah sadar, perubahan gaya bicara, perubahan suara, meliuk-liukkan tubuh, berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dipelajari, memiliki kekuatan luar biasa, bahkan yang sangat mustahil, menonjolkan huruf-huruf di kulit tubuh lalu menghilangkannya kembali (dermatografia) bisa dijelaskan secara ilmiah, terutama dalam kontek ilmu psikologi sehingga Pastor Karras selalu berfikiran bahwa kejadian-kejadian ganjil tersebut bukanlah bukti otentik untuk pelaksanaan eksorsis.
Namun, pada akhirnya, Pastor Karras mau juga melakukan eksorsis, itupun bukan karena ia akhirnya percaya bahwa Regan kesurupan, tapi atas dasar bahwa Regan bisa sembuh dengan sugesti. Sebelumnya, Pastor Karras pernah mengatakan pada Regan bahwa ia punya air suci dan ketika Pastor Karras mencipratkan air tersebut pada Regan, Regan langsung berteriak kepanasan. Hal itupun semakin memperkuat dugaan Pastor Karras bahwa Regan tidak kerasukan, namun ia menciptakan kerasukan itu sendiri berdasarkan autosugestinya setelah membaca buku tentang kerasukan, karena faktanya, air yang dicipratkan Pastor Karras pada waktu itu bukanlah air suci. Justru karena Regan telah mendapatkan informasi bahwa air tersebut adalah air suci, dan orang yang kerasukan akan kepanasan jika terkena air suci, ia pun langsung melakukan reaksi serupa berdasarkan autosugestinya. Jadi, jika Regan telah mendapatkan informasi dari buku bahwa air suci dapat membuat orang yang kerasukan menjerit terbakar dan ritual eksorsis dapat menyembuhkan, maka Pastor Karras berniat menghadirkan eksorsis untuk memancing sugesti Regan agar ia bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Apakah Regan akan sembuh atau tidak, sebaiknya cari tahu sendiri saja ya. Hehehe...
Original Cover
Nah, mengenai tingkah-tingkah Regan saat kerasukan, itu terlalu mengerikan dan menjijikkan untuk diceritakan, bahkan beberapa cenderung melecehkan agama sehingga novel ini juga sempat jadi kontroversi. Yang jelas, novel ini penuh bahasa-bahasa cabul ekstrim yang tentu tidak bisa saya paparkan disini. Meskipun ini cuma cerita, tetapi saya rasa penulis teramat sangat berani untuk menuliskan kata-kata tersebut tanpa sensor sedikitpun. Tetapi, kalau seandainya adegan-adegan menjijikkan, vulgar, juga kata-kata kotor tersebut tidak dituliskan, novel ini tentu tidak akan mendapat predikat sebagai novel horor abadi, dan juga tidak membuat deskripsi tentang keadaan mengerikan tersebut terasa amat nyata. Jujur saja, di beberapa cerita, saya mengernyitkan hidung seolah-olah bisa mencium betapa busuknya bau kamar Regan saat itu.
Satu hal yang tidak saya suka dari novel ini adalah karena munculnya tokoh detektif bernama Mr. Kinderman yang amat menjengkelkan. Saya kurang bisa menggambarkan secara detail bagaimana semenjengkelkannya karakter Mr. Kinderman ini, yang jelas bicaranya selalu panjang lebar tapi tidak pernah jelas. Andai saja saya tidak cinta mati dan itu berarti tidak akan melewatkan sehuruf-pun novel ini, saya ingin sekali melewati bagian-bagian yang di dalamnya terdapat Mr. Kinderman.
Sebagai penutup, saya masih belum mengerti kenapa Regan bisa kesurupan. Di awal novel dikisahkan bahwa seorang pastor sekaligus arkeolog bernama Merrin tengah melakukan penggalian di Irak dan menemukan patung iblis Pazuzu. Secara selintas, kita pasti akan menduga-duga bahwa patung iblis Pazuzu inilah yang membuat Regan kesurupan, namun, Merrin tidak pernah berinteraksi dengan keluarga McNeil kecuali ketika ia diminta untuk melakukan ritual eksorsis untuk Regan. Itu berarti bahwa Regan sudah mengalami kesurupan. Hal ini masih menjadi misteri hingga kini.
Bagi pecinta bacaan horor, The Exorcist saya anggap sebagai bacaan wajib.

RATING
Cerita  : 6,9 of 7 (minus karena hadirnya tokoh Mr. Kinderman)
Terjemahan : 7 of 7
Cover Asli : 7 of 7
Cover Terjemahan : 7 of 7




 
Images by Freepik