Penulis : Morra
Quatro
Jumlah Halaman
: vi + 266 hlm.
Genre : Young Adult
Romance
Penerbit : Gagasmedia
Cover Designer
: Jeffri Fernando
Tahun : 2010
Harga : pinjam di perpusda
ISBN : 978-780-432-1
Rating di
Goodreads : 3.93 stars of 778 reviews
First Sentence : Aku tidak pernah tahu kalau harus
bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.
Final Sentence
: Dan dia tidak
pernah salah.
Everyone makes mistake, .... but only a few could
forgive.
Padahal ada banyak kesalahan yang hanya perlu dimaafkan, bukan dihukum. An
aye for an eye will make us all blind.
Hal. 238
Kedekatan Will dan Karla pada awalnya hanya
sebatas teman se-geng zaman SMA yang terdiri dari Will, Alfan, Laut, Wahyu,
Robby, dan Karla sebagai satu-satunya perempuan disana. Karla dan Alfan
berpacaran, sementara Will sendiri, dengan kombinasi kecerdasan di atas
rata-rata dan rupa Turkish yang menawan, sudah tak terhitung berapa kali
ganti-ganti pacar di sekolah tersebut. Dibanding dengan yang lainnya, Karla
lebih sering bersama Will, apalagi Will sering berulah dengan berlama-lama di
laboratorium sementara Karla sebagai ketua kelas, diwajibkan untuk membereskan
lab sebelum kelas berikutnya memakai ruangan tersebut. Ya, laboratorium memang
menjadi tempat favorit Will untuk melakukan eksperimen yang tentu saja
berhubungan dengan Fisika. Sebagai maniak Fisika, terutama Fisika nuklir, Will
berambisi untuk mendapatkan nobel, dan langkahnya tersebut dimulai dengan
terpilihnya ia sebagai delegasi untuk olimpiade Fisika internasional di
Brussel.
Hubungan
Will dan Karla semakin dekat ketika Will menolak ide Alfan yang berencana untuk
meniduri Karla. Mengetahui hal tersebut, Karla marah dan kisah percintaannya
dengan Alfan pun kandas. Walau begitu, geng mereka tetap solid sampai akhirnya
masa perpisahan tiba. Masing-masing anggota sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah
kemana. Begitu juga dengan Karla yang akan pergi ke Singapura untuk mengikuti
pelatihan tes masuk universitas sekaligus mengunjungi ayahnya. Sebelum pergi,
Karla berniat untuk pamit dengan Will namun sayangnya rumah Will sudah kosong
dan nomor Will pun tidak dapat dihubungi. Kepergian Karla kali itu diiringi
oleh kesedihan luar biasa karena ia juga tak tahu kapan bisa bertemu Will
kembali.
Di
Singapura, Karla memulai persiapan masuk universitasnya dengan mengikuti training
review pelajaran SMA dan simulasi tes ini itu. Suatu hari, Karla
mendapat kejutan yaitu menemukan Will di depan pintu kediamannya. Will bilang
bahwa ia ingin melanjutkan pendidikan ke Boston, tepatnya di MIT. Dan hal
tersebut jelas cukup membahagiakan bagi Karla karena ia sendiri juga akan
melanjutkan kuliah ke Amerika tepatnya ke Philadelphia. Meskipun jarak Boston
dan Philadephia tidak dekat, setidaknya mereka masih di negara yang sama. Di
bandara, menjelang keberangkatan Karla yang terlebih dulu pergi ke Amerika,
Will mendaratkan ciuman di bibir gadis itu dan meminta Karla untuk terus
menjaga rambut panjangnya. Mereka pun merancang janji-janji untuk saling
mengunjungi saat di Amerika nanti.
Di
suatu kunjungan, saat Will berada di Philadephia dan ia meminta Karla untuk
menemuinya, momen yang seharusnya menjadi momen pelepas rindu ternyata justru
berbalik 180 derajat. Will berucap bahwa ia sudah memiliki kekasih. Hati Karla
patah detik itu juga.
Sebagai
tahap move on dari Will, Karla mulai menjalin hubungan dengan teman
sekampusnya Casey. Bahkan hubungan tersebut menghadirkan sesosok anak laki-laki
di antara mereka, Troy. Tetapi sayangnya, lagi-lagi kisah cinta Karla dan Casey
kandas ketika tunangan Casey muncul. Di suatu kesempatan, Karla kembali bertemu
dengan Will dan Will pun menyadari bahwa Karla telah melahirkan.
Waktu
berlalu dengan tiadanya lagi komunikasi dan interaksi antara Karla dan Will
sampai suatu hari ia mendapat kabar dari kawannya yang seorang jurnalis,
Beverly, bahwa ada teror yang tengah terjadi di Boston. Dan dalang di balik
teror tersebut adalah Will. Dimulai dari kejadian itulah, rahasia-rahasia yang
melingkupi Will selama ini, kebohongan-kebohongannya, juga fakta mengejutkan
bahwa Will divonis death sentence karena aksi terornya yang menewaskan
dua orang tersebut, mengalir dari mulut Chiara Hakim, istri Will.
҉҉҉҉҉҉҉ ҉
҉
Dibilang
sebagai salah satu fiksi terbaik terbitan Gagasmedia, siapa yang tidak
penasaran untuk melahap novel bersampul biru ini. Pun, saya sudah begitu lama
mendambakan Forgiven namun karena terbilang terbitan lama, novel ini sudah sold
out dimana-mana. Di olshop-olshop pun novel ini jadi incaran, jadi
siap-siap aja gigit jari kalau keduluan yang lain. Nah, kebetulan seminggu yang
lalu ngunjungin perpusda, ceritanya cuma nemenin temen nyari bahan buat
skripsi. Tapi, setelah ngeliat banyak novel-novel baru di rak fiksi, lalulah
saya menjelajah dan menemukan beberapa buku bagus. Sayangnya, kartu keanggotaan
perpus sudah habis masa berlakunya, tapi sama si petugas perpus dibolehin
pinjam buku untuk sekali ini. Hehehe....
Well,
setelah saya berhasil menamatkan novel ini, satu hal yang saya rasain adalah blue.
Tiba-tiba aja ngerasa sedih, galau, muram, berkat klimaks tragis yang
diciptakan Morra Quatro di buku perdananya ini. Secara atmosfer dan penyampaian
rasa, novel ini jelas berhasil dengan baik.
Forgiven
sendiri bisa dibilang terbagi menjadi dua sisi cerita yang bertolak belakang.
Di bab-bab awal, ketika Karla dan Will masih bergelut dengan dunia remaja SMA, atmosfer
cerita masih warna-warni. Dipenuhi dengan kejailan-kejailan dan tingkah-tingkah
nakal yang saya rasa sedikit kelewatan. Oh ya, sebenarnya setting masa
remaja Karla dan Will terjadi pada tahun 70an atau 80an, agak lupa yang pasti
saat itu presiden Indonesia masih Soeharto. Nah, sayangnya detail oldschool tersebut
nggak terasa sama sekali. Ditambah lagi penggunaan Bahasa Inggris di beberapa
dialog malah menegaskan kalau setting cerita justru di dunia modern dan
bukan di Jogja.
Atmosfer
penceritaan mulai kelam ketika Karla dan Will sudah lulus dari SMA, dan
memuncak ketika Will ditahan karena tuduhan terorisme. Sebagai tokoh
protagonis, tentu saja Will mendapat simpati besar dari pembaca, termasuk saya.
Namun, simpati tersebut tidak dikabulkan oleh sang penulis karena ending-nya
tetap tragis.
Mengenai
karakter, saya baru sekali ini menemui karakter cowok jenius yang seperti Will.
Di beberapa novel, dan juga film, cowok jenius selalu digambarkan kalau tidak geeky
pasti sombong. Nah, Will justru sebagai cowok jenius yang cool, padahal
kejeniusan Will benar-benar di atas rata-rata. Ambisinya untuk menciptakan
pembangkit listrik tenaga nuklir membuat novel ini dipenuhi dengan
penjelasan-penjelasan Fisika yang kental. Bagi yang alergi sains, bagian-bagian
ini bisa di-skip kok karena tidak berpengaruh ke alur cerita juga.
Sayangnya,
di mata saya, novel ini hanya keren di ‘rasa’ yang disampaikan juga beberapa twist.
Mengenai gaya penceritaan dan alur cerita sendiri tidak terlalu
mengesankan, padahal saya amat berharap novel yang mendapat banyak pujian ini
tampil outstanding di mata saya.
Oh
ya, saya juga tidak terlalu mengerti apa hubungan antara Champagne Supernova,
nama rasi bintang Polaris yang dinamai Will, dengan inti cerita sampai-sampai
rasi tersebut dijadikan sampul buku.
Bagi
yang suka roman-roman tragis ala Autumn in Paris-nya Ilana Tan, novel ini tentu
highly recommended. Terakhir, entah kenapa sisi gelap novel ini
mengingatkan saya pada muramnya novel “Hujan dan Teduh” karya Wulan Dewatri.
Rating
Cerita : 5,5 of 7
Cover : 5 of 7
nice review thanks kak
BalasHapusjual selongsong sosis