Penulis : Erlin
Natawiria
Jumlah Halaman
: viii + 284 hlm.
Genre : Young Adult
Romance
Penerbit :
GagasMedia
Cover Designer
: Jeffri Fernando
Tahun : 2013
(Cet. 1)
Harga : 51.500
(fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN : 978-979-780-671-2
Rating di
Goodreads : 2.98 stars of 151 ratings
First Sentence : Widha memandangi benda mungil
berbentuk segitiga yang tergeletak di atas paspornya.
Final Sentence : Langit belum pernah secerah
ini sebelumnya ...
Athena adalah
kota impian Widha dari dulu, dan setahun menjelang ia menanggalkan status
mahasiswanya, gadis itu akhirnya berhasil mencapai impiannya. Dengan modal uang
beasiswa selama tiga tahun yang tidak pernah dipakainya ditambah dengan honor
selama ia menjadi jurnalis, Widha bertekad akan menjajal Yunani selama 2
minggu. Namun, di detik-detik keberangkatannya, Widha justru dipertemukan
kembali dengan hantu masa lalu-nya lewat seorang penulis favoritnya,
Keira. Dan yang lebih mengejutkan, ternyata hantu masa lalu tersebut
juga akan berada di Athena, berbarengan dengan Widha. Walau tahu kemungkinannya
untuk bertemu kembali dengan sosok tersebut di Athena amat besar, Widha tidak
mengurungkan niatnya untuk menjajakkan kaki di kota impiannya tersebut.
Di
Athena, melalui sebuah adegan ‘mencium-daun-pintu’, Widha dipertemukan dengan
Nathan, seorang pemuda asal Australia yang juga sedang berlibur di Athena.
Mengetahui kalau Widha berasal dari Indonesia, dan Nathan juga pernah tinggal
di Indonesia dan tentu bisa berbahasa Indonesia, merekapun memutuskan untuk
menjadi partner travelling. Berbagai rencana pelesir berduapun dirancang,
dengan Widha, tentu saja sebagai tour guide yang secara mengejutkan
khatam kitab ensiklopedia Yunani karena tidak ada sudut di Athena sekaligus
sejarahnya yang tidak diketahuinya.
Seperti
yang sudah ia duga pula, Widha pun juga bertemu dengan hantu masa lalu-nya,
Wafi, di kota tersebut. Wafi yang akan mengisi festival musik di Athena kembali
muncul di kehidupan Widha setelah lebih dari sewindu tidak ada kabar
tentangnya. Reuni tidak menyenangkan itupun berhasil mengubah liburan Widha
yang seharusnya menyenangkan menjadi suram. Ditambah lagi, ternyata Wafi dan
Nathan juga saling mengenal, namun bukan sebagai teman, melainkan dua gladiator
yang tidak mau menghentikan pertarungan meskipun sudah berada di luar arena.
Cinta
segiempat mendadak terwujud di tempat Widha seharusnya menyunggingkan senyum
terus-menerus.
«««
Jujur saja, ini
adalah kali ketiga saya membaca Athena dan ada tiga kemungkinan kenapa satu
buku sampai dibaca sebanyak 3 kali: 1) buku itu adalah buku favorit; 2) buku
tersebut tidak pernah selesai dibaca sebelumnya; 3) ada informasi yang ingin
dicari di dalam buku tersebut. Dan alasan saya bukan no 1 dan no 3. Ya, pertama
kali saya membaca ini adalah tepat ketika saya menyelesaikan Tokyo yang
merupakan seri penutup dari STPC Gagasmedia season 1. Saat itu, setelah
berhasil melahap beberapa lembar halaman pertama, saya berniat untuk melewatkan
buku ini dan langsung membaca Casablanca. Saat itu, saya menganggap Athena
adalah mimpi buruk para pembeli buku yang harus merelakan beberapa puluh
ribu—yang bagi mahasiswa perantau seperti saya, tentu bisa dipakai makan 3
sampai 5 hari—demi sebuah bacaan yang—meminjam istilah para reviewer film di
blog—kacrut. Kesan pertama saya terhadap buku ini sangatlah tidak baik. Kalau
bukan karena Athena adalah bagian dari STPC yang saya beli dari Paris sampai
Monte Carlo, buku ini bisa saja langsung saya hibahkan ke perpustakaan.
Berhubung
Athena masih nangkring dengan manis di rak buku, setelah membaca Monte Carlo
saya memantapkan diri kembali untuk membaca Athena demi melengkapi loyalitas
saya terhadap seri ini. Meski masih tidak dapat menikmati Athena, namun untuk
kali kedua saya berhasil melahap Athena beberapa bab sebelum akhirnya kedistract
dengan datangnya buku-buku baru yang lebih menerbitkan air liur. Dan
beberapa bulan setelah itu, tepatnya ketika saya tidak lagi menemukan bacaan
baru, dan kartu keanggotaan di perpustakaan daerah juga sudah habis masa
berlakunya, saya-pun kembali bertekad untuk menjajal Athena, kali ini harus
sampai halaman terakhir.
Jadi, apa yang
saya rasakan setelah itu?
Well, ternyata Athena
tidak sejelek dugaan saya. Mengintip review dari teman-teman dan juga goodread,
Athena memang mempunyai rating paling rendah dari semua seri STPC lainnya,
dan saya fikir, rating tersebut memang tidak salah untuk menilai bagaimana
kualitas seorang Erlin Natawiria di buku debutnya ini.
Secara garis
besar, saya suka dengan tema yang dijabarkan di dalam buku ini. Gagal move
on. Namun, tema yang bagus tersebut terkendala dengan alur penceritaan yang
kurang logis, inkonsisten, dan plot hole. Pun, karakter-karakternya juga
kurang berhasil menarik simpati dari pembaca. Saya rasa, tidak ada tokoh favoritable
dari novel ini. Semuanya terkesan monoton, sekalinya berwarna, tokoh
tersebut malah abu-abu. Tidak dapat ditebak sebenarnya penulis mau memberikan
watak apa di tokoh-tokoh buatannya. Contohnya saja Widha yang sebenarnya cukup
dewasa, namun di sisi lain ia malah kelihatan kayak remaja labil waktu bertemu
Wafi di Athena.
Pun, ada banyak
sekali hal-hal ganjil di dalam novel ini. Yang paling terasa sih bagaimana
dialog satu dan yang lainnya berusaha ditulis dengan artistik dan cukup
berhasil. Namun sayangnya, dialog-dialog yang artistik tersebut malah terasa
tidak natural jika diucapkan di kehidupan sehari-hari, dan lagi, saya sering
sekali menemui inkoherensi antar dialog. Ketika dialog yang ini membahas ini,
dialog lanjutannya malah tiba-tiba nyasar kesini. Contohnya bisa dilihat di
bawah ini:
“Sejak kapan kamu punya nama belakang Mafia?” sembur sang
partner. “Why it should be the last name?”
“Beberapa orang Yunani masih ada yang percaya bahwa
orang asing itu jelmaan dewa, Strauss,” papar Widha, dengan sedikit
penekanan. “Aku pilih Mafia karena Sumadimaja terlalu panjang.”
Kalimat yang
saya bold menurut saya sama sekali tidak nyambung dengan seluruh
percakapan di atas. Kenapa Widha tiba-tiba menyinggung soal orang Yunani yang
percaya bahwa orang asing itu jelmaan dewa di saat Nathan bertanya kenapa Widha
memakai Mafia sebagai nama belakangnya. Inkoherensi seperti kasus di atas
sering sekali saya temui di buku ini.
Adapun mengenai
keganjilan cerita, ada tiga contoh yang saya highlight disini. Yang
pertama, mengenai insiden perkenalan Nathan dan Widha. Di sana diceritakan
bahwa pintu kamar Nathan menghantam Widha yang berjalan di luar ketika Nathan
‘membukanya’. Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana Widha bisa menghantam pintu
kamar Nathan kalau ia berjalan di koridor karena setahu saya, daun pintu akan
mengayun ke arah dalam saat dibuka, bukan malah ke luar, kecuali pintu atm yang
bisa ditarik maupun didorong. Aneh sekali rasanya menemui ada pintu kamar yang
dibuka dengan cara didorong dari dalam. Kecuali kalau itu memang tipe pintu
yang ada di Yunani.
Adegan kedua
adalah ketika Widha memberitahu Deno ketika ia akan berangkat ke Yunani. See
the following dialogue:
“Dengan enam ratus ribu selama enam semester, ditambah honor dari beberapa
tulisan kamu yang ada di koran....” lipatan pada kening Deno bertambah. “Dua
puluh tiga juta?”
Pertanyaannya
adalah, bagaimana cara Deno mendapatkan jumlah 23 juta padahal rincian tabungan
Widha saja dia tidak tahu.
Yang ketiga
adalah ketika Keira mengucapkan nama Wafi sebagai tokoh yang menginspirasi
tulisannya. Yang aneh adalah, Keira mengucapkan nama lengkap Wafi ketika
diwawancara. Pertanyaannya, memang ada orang yang diwawancara menyebutkan nama
lengkap orang yang menginspirasinya. Andai Wafi seorang selebriti terkenal, hal
ini tentu tidak menjadi sesuatu yang aneh, tapi ini Wafi bukan siapa-siapa lho.
Bahkan setahu saya, para penulis atau selebriti cenderung menyembunyikan sosok
yang menginspirasinya baik dengan cara mengelak maupun memberikan julukan.
Oh ya, ada juga
hal kurang logis yang cukup menyita perhatian saya yaitu mengenai status Widha
sebagai penerima beasiswa Bidik Misi. Katanya, semua uang beasiswanya dan juga
honor tulisannya ditabung untuk pergi ke Athena, tapi nyatanya Widha justru
memiliki iphone dan ipod yang jelas sekali bukan barang murah. Dimana Widha
bisa mendapat uang untuk membeli kedua barang tersebut, padahal katanya semua
uangnya ditabung. Oke, taruhlah dia dapat uang dari orangtuanya, tapi ini si
Widha penerima Bidik Misi lho. Dan jelas sekali target sasaran dari beasiswa
tersebut siapa. Bukannya saya kepengen Widha ini digambarkan sebagai gadis
miskin, tetapi alangkah baiknya sebagai seorang yang ‘tidak mampu’, pegangan
Widha bukan iphone dan ipod.
Sekarang lanjut
ke sisi inkonsistensi dan plot hole. Supaya lebih mudah dibaca, saya
akan menjabarkan dalam poin-poin saja.
1.
Tiba-tiba nama Nathan berganti menjadi sang partner ketika Nathan marah
dengan Widha akibat Widha tidak sengaja melempar dompet Nathan ke dalam air
mendidih. Pergantian tersebut, kalau ibarat CGI, sangat tidak halus. Tidak ada
pemberitahuan sebelumnya kenapa nama Nathan harus diganti dengan sang partner,
dan tiba-tiba diganti dengan Nathan lagi.
2.
Ketika Widha bertemu dengan Wafi pertama kali, ia tampak marah. Yang kedua
kalinya, ia malah membuatkan Wafi fasolada, terus marah lagi. Dan hubungan
Widha dengan Nathan tiba-tiba merenggang tanpa alasan yang jelas. Dan
tiba-tiba, Widha sudah berbaikan dengan Wafi ketika konser musik. Plot hole
everywhere, sodara-sodara.
3.
Saya cukup bingung dengan pengunjung toko buku misterius di Monastiraki
yang ternyata Widha. Padahal terakhir kali Widha mendapatkan porsi penceritaan
adalah ketika ia dan Nathan sedang selonjoran di balkon penginapan. Eh, tanpa
pemberitahuan apa-apa, Widha sudah ada di Monastiraki dan berpapasan dengan
Wafi di sebuah toko buku di Monastiraki.
Untungnya,
karena ini novel debut, kesalahan-kesalahan yang telah saya sebutkan di atas
bisa dimaafkan. Pun, penjelasan Widha tentang seluk-beluk kota Athena juga saya
bisa menebus kekecewaan saya terhadap novel ini meskipun penjelasan tersebut
terasa too much sebenarnya. Sebagai penutup, saya mengutip satu quote
di buku ini meskipun sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan
tema cerita.
Wisuda memang bukan acara wajib, tapi memiliki
efek psikologis yang hebat untuk sarjana mana pun. Hal. 277
Rating
Cerita: 3,5 of 7
Cover: 6 of 7
suka baca review disini deh
BalasHapusperbedaan tepung terigu dan tapioka