Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Marina Suksmono
Jumlah Halaman : 308 hal.
Genre : Adult Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : Dina Chandra
Tahun : 2006
Harga : Rp. 30.000 (Beli di Facebook OL-Shop : Raja Buku)
One word about this book : Fixing
Sudah berbulan-bulan sejak saya mereview novel
‘A Walk to Remember’, blog ini benar-benar nggak pernah diupdate lagi. Bukannya
saya berhenti buat baca, cuma belakangan, beberapa buku yang saya baca nggak
pernah ada yang nyantol banget di hati yang membuat saya tergerak untuk
menuliskan reviewnya. Untunglah, di suatu hari di musim hujan ketika saya
mendadak terserang virus HIV (baca: Hasrat Ingin Vaca, kwkwkwk), dan saya mulai
mengubek-ubek berbagai toko online untuk mencari buku bacaan yang murah meriah,
ketemulah dua novel Nicholas Sparks yang kebetulan belum tersedia di rak buku
saya. Okelah, tanpa berpanjang-lebar lagi, inilah review Nights in Rodanthe
versi saya.
***
Di usianya yang hampir memasuki kepala enam,
momen-momen itu masih tak bisa lekang dari ingatan seorang wanita beranak tiga,
Adrienne Willis. Selain dirinya, kenangan 14 tahun yang lalu itu hanya
diketahui oleh sang ayah; yang tentu saja menjadi pendengar yang amat baik
karena ia tengah menderita stroke. Namun, di saat anak keduanya tengah
mengalami depresi karena ditinggal mati suaminya akibat kanker testis, Adrienne
merasa, itulah saatnya kenangan tersebut harus kembali ia gali. Bukan untuk
berbagi kebahagiaan juga luka, tetapi semata-mata untuk membantu putrinya agar
bisa terus melanjutkan hidup.
Empat belas tahun yang lalu, tepatnya ketika
usia Adrienne baru 45 tahun, ia harus mereguk sisi pahit dari kehidupan rumah
tangga dengan menerima kenyataan bahwa suaminya meninggalkannya untuk perempuan
yang lebih muda. Selepas bercerai, Adrienne yang masih dibayang-bayangi
kehancuran rumah tangganya, memutuskan untuk menerima tawaran seorang
teman—Jean—yang memintanya untuk menjaga penginapannya di pesisir daerah
Rodanthe.
Keinginan Adrienne untuk menenangkan diri
sembari menjaga The Inn ternyata tak direstui karena kedatangannya kesana
bertepatan dengan datangnya badai. Momentum itu juga menyebabkan nyaris tak ada
satupun pengunjung yang datang ke penginapannya, kecuali seorang pria yang
sudah hidup di dunia lebih dari separuh abad bernama Paul Flanner. Paul sendiri
adalah seorang dokter yang datang ke Rodanthe untuk menemui seseorang yang
berhubungan dengan tuduhan kasus mal-praktik yang dilakukannya. Namun, Rodanthe
hanyalah persinggahannya karena ia mempunyai misi yang lebih penting.
Memperbaiki kehidupannya yang hancur karena egoismenya di masa lalu.
Pertemuan Adrienne dan Paul yang memiliki
masalah serupa—kehancuran rumah tangga—tentu menjadi sesuatu yang berkesan buat
mereka berdua. Apalagi ketika mereka harus terjebak berduaan di The Inn—di
tengah badai yang mengepung mereka. Romantisme-pun mulai bergulir perlahan.
Dimulai dari saling cerita kehidupan masing-masing sampai akhirnya kesamaan
jalan hidup itu menyatukan mereka dalam satu ikatan bernama cinta. Sayangnya,
kisah cinta mereka di Rodanthe tak bisa berlangsung lama karena selepas
menuntaskan masalahnya di sana, Paul harus meneruskan perjalanannya ke Ekuador,
menemui sang putra, Mark Flanner, yang menjadi penyebab rasa penyesalan yang
selama ini membuatnya merasa sebagai ayah yang jahat.
Jarak yang terlampau jauh nyatanya tak mampu
membuat hati mereka ikut berjarak. Adrienne dan Paul masih sering berhubungan
baik lewat surat maupun telepon.
Adrienne
selalu teringat Paul pada saat-saat seperti itu, tapi bayangan Paul paling
nyata ketika dia melihat mobil pos muncul di ujung jalan, berhenti dan jalan
lagi saat membagikan surat di sepanjang jalan.
Sampai suatu hari, Adrienne kembali mendapat
surat dari Ekuador, namun kali ini surat tersebut berasal dari Mark Flanner,
putera Paul, yang mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia ketika
menyelamatkannya dari kecelakaan.
Sampai di sana, cerita Adrienne berakhir. Yang
ingin ia bagi dari cerita tersebut kepada puterinya, Amanda, bukanlah mengenai
betapa perihnya ketika ditinggalkan orang yang dikasihi namun betapa pentingnya
mencurahkan kasih sayang kepada keluarga yang tersisa sebelum semuanya
terlambat.
“Itu
sebabnya aku menceritakan semua ini padamu dari awal. Bukan hanya karena aku
pernah mengalami apa yang kaualami sekarang, tapi karena aku ingin kau mengerti
betapa pentingnya hubungan Paul dengan putranya. Betapa penting artinya bagi
Mark. Semua itu luka-luka yang sulit disembuhkan, dan aku tak ingin kau
mendapat lebih banyak luka dari yang sudah ada sekarang.”
“..... Tapi seandainya Brent ada di sini, dia pasti akan bilang agar kau
memusatkan perhatianmu pada anak-anakmu, bukan pada kematiannya. Dia ingin kau
mengingat saat-saat yang indah. Di atas semuanya, dia juga ingin tahu bahwa kau
akan baik-baik aja.”
***
Seperti
kebanyakan novel Nicholas Sparks lainnya, di dalam novel ini juga terdapat
hal-hal yang amat identik dengan penulis satu ini : plot di daerah pesisir,
hubungan antara anak dan orang tua tunggal (kebanyakan ayah), kematian atau menderita
suatu penyakit, dan tentu saja surat-surat. Mengingatkan saya pada Habiburahman
El-Shirazy yang juga mempunyai identitas tertentu baik dari segi tema, ending,
atau pernak-pernik lainnya di dalam novelnya. Namun, hal ini sama sekali tak
membuat saya bosan dengan Om Nico (sok akrab banget!).
Kesukaan
saya pada cerita-cerita yang bersetting di pinggiran laut (tetapi nggak buat
FTV yang syutingnya selalu di Bali itu, hehehe), membuat saya dengan mudah
menambatkan rasa cinta pada novel ini. Apalagi penggambaran persiapan sebelum
badai melanda yang digarap begitu detil benar-benar membuat saya terasa hanyut
dalam momen-momen tersebut. Selain itu, hubungan antara anak dan orang tua
(dalam novel ini antara Adrienne dan ayahnya yang menderita stroke, juga keretakan
hubungan Paul dan anaknya) selalu berhasil membuat saya terenyuh, bahkan
menitikkan air mata. Dan juga, walaupun ide tentang kematian kekasih hati telah
diangkat berjuta-juta kali dalam novel maupun film, dan Om Nico juga nggak
sekali ini mengambil ide tersebut untuk novel-novelnya, namun kisah berbumbu
kehilangan ini tetap saja nikmat. Terutama karena gaya bahasa Om Nico (yang
walaupun terkenal dengan penjabaran sepanjang Sungai Nil) yang amat indah dan
membuai.
But,
tentu saja, lagi-lagi surat-surat untuk Paul kepada Adrienne adalah part terbaik dari novel ini. Surat-surat buatan
Om Nico selalu penuh makna dan romantis (referensi lain Message in the Bottle
dan Dear John).
Nights in Rodanthe Original Cover |
Begitu banyak
yang kuharapkan hari-hari ini, tapi yang terutama, aku berharap seandainya kau
berada di sini. Sungguh aneh, tapi sebelum aku mengenalmu, aku tak ingat kapan
terakhir kalinya aku menangis. Sekarang, sepertinya air mata begitu mudah
datang... tapi kau punya cara yang bisa membuat kesedihanku menjadi bermanfaat,
dan menjelaskan segala hal sedemikian rupa sehingga mengurangi kepedihanku. Kau
hadiah yang begitu berharga, dan saat kita bersama lagi, aku akan memelukmu
hingga lenganku lemah dan tak sanggup memelukmu lagi. Kadang-kadang, ingatan
akan dirimu adalah satu-satunya yang membuatku terus bertahan.
Dan, baiklah, saatnya review yang begitu panjang
ini diakhiri. Untuk penikmat novel remaja, saya nggak merekomendasikan novel
ini untuk dibaca karena saya sendiri masih bingung bagaimana saya bisa
menikmati kisah cinta orang tuwir (secara harafiah) yang usianya masing-masing
45 dan 54 tahun? Namun, jika tetap ingin membaca, maka bersiap-siaplah untuk
bermelankolis ria sepanjang malam.
Cao!
Rating
Cerita : 6,8 of 7.
Terjemahan : 6 of 7
Cover Terjemahan :
4 of 7
Cover Asli : 6 of 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar