Pages

Rabu, 11 September 2013

Review : Dear John, Nicholas Sparks



Judul : Dear John
Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Barokah Ruziati
Jumlah Halaman : 392 hal.
Genre : Young Adult Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : Marcel A.W.
Tahun : 2010
Harga : Rp. 30.000 (Beli kolpri di Toko Bagus. Hehe...)
One word about this book : Sacrifice

Entah sejak kapan saya mengagumi karya Nicholas Sparks, saya sendiri kurang tahu. Dua judul novelnya yang saya baca terlebih dahulu, Message in A Bottle dan The Notebook, kurang bisa menancapkan kesan yang baik bagi saya untuk membaca karya-karya Sparks lainnya. Namun satu hal yang baru saya ketahui, ternyata efek Sparks pada saya baru bekerja setelah novelnya sudah saya baca berbulan-bulan, contohnya Message in a Bottle yang saya habiskan dengan susah payah dan banyak mengeluh karena kalimat Sparks yang panjang-panjang, namun ternyata sekarang saya malah merindukan semua adegan yang ada di dalam novel tersebut. Oleh karena itu, melihat novel Dear John ini yang dijual murah karena kolpri—padahal kondisinya 98% masih bagus banget—saya langung memutuskan untuk mengambilnya dan melahapnya dalam 1 malam.
***
Dear John dibagi dalam 5 bagian yaitu prolog, bagian 1, bagian 2, bagian 3, dan epilog. Pada bagian prolog—John Tyree, alias si tokoh ‘aku’ tengah memandang Savannah yang tengah memberi makan kuda dari kejauhan sambil merenungkan hal-hal yang telah terjadi padanya dan Savannah selama ini. Tentu saja bagian ini tidak dapat menjelaskan apa-apa.
Bagian satu berisi masa-masa indah antara John dan Savannah. John adalah seorang pemuda pemberontak yang tinggal di North Carolina bersama sang ayah yang sangat pendiam. Ayah John yang hanya seorang tukang pos membuat kehidupan mereka tak bisa dibilang kaya, sementara John yang beranjak remaja tentu memiliki tuntutan-tuntutan tertentu seperti menginginkan barang-barang yang dipunyai remaja seusianya. Puncak dari pemberontakan John adalah ketika ia mulai muak dengan ayahnya yang hanya mengurusi koin dan koin sementara jika koleksi koin itu dijual, mereka bahkan bisa kaya raya. Sampai suatu waktu, John memutuskan untuk masuk militer.
Pertemuan John dan Savannah diawali ketika John menolong Savannah dengan mengambilkan tasnya yang jatuh ke laut. Saat itu Savannah dan teman-temannya tengah berada di North Carolina untuk kegiatan Habitat for Humanity. Sebuah misi sosial memberikan rumah kepada orang-orang yang membutuhkan. Sementara John sendiri sedang mengambil cuti militer selama 2 minggu sehingga memutuskan pulang ke kampung halaman. Sejak itu, pertemuan John dan Savannah semakin intens. Mulai dari belajar berselancar, ke gereja, dinner bareng, sampai bertemu dengan ayah John yang ternyata disukai oleh Savannah. Sampai akhirnya, merekapun saling mengungkapkan cinta namun tak lama kemudian harus berpisah karena John akan kembali ke Jerman meneruskan masa militernya. Hubungan merekapun dilanjutkan dengan saling berkirim surat.
Bagian kedua, hubungan John dan Savannah mulai diwarnai intrik-intrik terutama karena Savannah yang lebih mementingkan urusan akademiknya dibandingkan John padahal ia punya alasan untuk itu. Johnpun yang sangat menantikan masa cuti militernya tiba untuk menemui Savannah, mulai merasa kecewa dengan sikap gadis itu.
Sekembalinya John ke Jerman, sebuah peristiwa kembali menguji hubungan asmaranya. John memutuskan untuk memperpanjang militernya setelah peristiwa 9/11 terjadi, dan itu artinya, rencananya untuk menikahi Savannah akan tertunda. Surat-surat Savannah-pun semakin jarang John terima. Sampai suatu saat, John menerima sepucuk surat dari gadis itu yang menyatakan bahwa ia akan menikah.
Bagian ketiga, sepeninggal wafatnya sang ayah, John yang telah menyelesaikan militer, kembali bertemu dengan Savannah di kampung halaman gadis itu. Di sana, John tak menemui suami Savannah dimanapun, namun keganjilan itu akhirnya terkuak. John-pun mengambil sebuah keputusan besar di mana perasaannya kembali dipertaruhkan.
***
One day for a book! Wuh! Rasanya bisa dihitung dengan jari jumlah buku yang saya selesaikan dalam satu hari, dan Dear John adalah rekor karena ini satu-satunya novel terjemahan yang bisa saya tuntaskan kurang dari 24 jam. Hal ini tak terlepas dari sudut pandang ‘aku’ yang digunakan penulis. Sudut pandang orang pertama memang sering dipakai dalam novel apapun, namun rasanya jarang sekali ada novel romance yang ‘aku’nya adalah seorang laki-laki. Hal ini membuat saya sedikit antusias karena dengan begitu, ceritanya bisa lebih mudah didalami. Apalagi John termasuk tokoh manusiawi, I mean, walaupun militan identik dengan sosok cowok tangguh, namun John juga bisa ‘mellow’ bahkan menangis. Perasaannya John-pun tersampaikan dengan sangat baik (khususnya kepada saya pribadi) seolah-olah dia benar-benar sedang curhat dan saya menyimak dengan seksama. Yang paling saya suka dari novel ini adalah hubungan antara John dan ayahnya yang menderita penyakit Asperger. Sempat gregetan juga dengan karakter si ayah yang pendiam sekali, namun menjelang wafatnya, saya dibuat terenyuh saat John mulai peduli dengan sang ayah.
But, tentu saja surat-surat Savannah untuk John adalah bagian terbaik dari novel ini. Ya, memang surat-surat Savannah karena di sini tak ada satupun surat dari John untuk sang kekasih.
            Harus kukatakan bahwa surat terakhirmu membuatku khawatir. Aku ingin mendengarnya, aku harus mendengarnya, tapi aku mendapati diriku menahan nafas dan ketakutan setiap kali kau bercerita seperti apa kehidupanmu yang sesungguhnya. Di sinilah aku, bersiap-siap pulang ke rumah untuk merayakan Thanksgiving dan cemas menghadapi ujian, dan kau berada di suatu tempat yang berbahaya, dikelilingi orang-orang yang ingin menyakitimu. Aku hanya berharap orang-orang itu bisa mengenalmu seperti aku mengenalmu, karena dengan begitu kau akan aman. Seperti aku merasa aman saat aku berada di pelukanmu.
Dibandingkan dengan dua novel Sparks yang sebelumnya saya baca, Dear John terasa lebih ringan dibaca, walaupun konfliknya terasa lebih matang.
Prestasi juga saya berikan kepada Barokah Ruziati yang menerjemahkan novel ini nyaris tanpa cela. Ini juga yang mendongkrak salah satu kecepatan membaca saya karena Dear John versi Indonesia ini benar-benar seperti ditulis oleh orang Indonesia. Dan good job juga buat Marcel A.W., desainer cover. Ilustrasi yang pas sekali dengan setting cerita yang 70% berada di kawasan pesisir.
Berat rasanya saat menemui lambing Gramedia di halaman 387, cause that means, cerita John sudah harus berakhir. Tapi tak apalah karena sebentar lagi kiriman A Walk to Remember juga bakal sampai ke rumah.
From now, I’m officially Nicholas Sparks’s fan.

Rating : 7 of 7



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Images by Freepik