Pages

Sabtu, 20 Juni 2015

Review Novel: The Exorcist, William Peter Blatty



Judul : The Exorcist
Penulis : William Peter Blatty
Penerjemah : Ingrid Nimpoeno
Jumlah Halaman : 448 hlm.
Genre : Horror
Penerbit : Serambi
Cover Designer : Eri[X]
Tahun : 2013
Harga : (pinjam di perpusda)
ISBN : 978-979-024-401-6
Rating di Goodreads : 4.1 stars of 93,507 reviews
First Sentence : Kilau matahari memeras butir-butir keringat dari kening lelaki tua itu, tapi dia menangkupkan sepasang tangannya pada gelas teh manis panas seakan mencari kehangatan.
Final Sentence : Saat melupakan, mereka berupaya mengingat.
***
Untuk pertama kalinya, saya nggak menaruh sinopsis di review novel yang saya tulis karena saya anggap premis cerita ini sangat sederhana. Bagi pecinta film horor, tentu tidak asing dengan The Exorcist yang sejauh ini masih menempati peringkat pertama film horor paling mengerikan yang pernah diproduksi, sekaligus juga film horor pertama yang berhasil meraih piala Oscar. Kabarnya, banyak penonton yang histeris saat menonton film ini sampai-sampai ada yang pingsan di bioskop.
The Exorcist sendiri berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Regan yang kerasukan sesosok iblis bernama Pazuzu. Plot The Exorcist sendiri hanya berkutat di sekitar usaha Chris McNeil untuk menyembuhkan anaknya yang kian hari kian parah sampai akhirnya ia disarankan untuk meminta bantuan pastor agar melakukan prosesi eksorsisme atau pengusiran roh jahat kepada anaknya. Nah, bagi yang pernah nonton film horor fenomenal The Conjuring tentu tahu kalau eksorsisme tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada izin dari Vatikan untuk melaksanakan proses tersebut, dan Vatikan pun tidak mau mengeluarkan izin tanpa bukti kuat karena eksorsisme adalah proses yang sangat beresiko.
Di awal-awal kerasukan, porsi cerita lebih banyak berinteraksi dengan dunia psikologi dimana Regan menjalani serangkaian treatment medis. Di bagian ini, akan ada banyak sekali istilah-istilah medis yang berhubungan dengan psikologi yang berusaha menjelaskan fenomena-fenomena aneh yang dialami Regan. Sehingga, di luar kehororannya, buku ini bisa dibilang adalah buku yang cerdas. Amat cerdas malah karena semua gejala-gejala psikologi dijelaskan dengan gamblang. Tidak ada gejala kesurupan Regan yang tidak bisa dimentahkan dengan teori psikologi sehingga saya berpendapat bahwa penulis buku ini adalah seorang pakar psikologi, psikoanalisis, psikiater, kalau bukan begitu, berarti ia adalah periset yang amat sangat luar biasa.
Nah, setelah menjalani serangkaian treatment secara medis, dan kondisi Regan tidak dapat tertangani, Chris pun mendapat rekomendasi untuk menemui pastor agar dapat melakukan ritual eksorsis. Chris-pun dipertemukan dengan Pastor Karras yang ternyata sangat sulit untuk diyakinkan bahwa keanehan-keanehan yang dialami Regan tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia medis. Tetapi, Pastor Karras yang juga seorang master jurusan psikologi, skeptis bahwa hal-hal klenik masih ada di zaman sekarang. Ia berpendapat bahwa dulu orang melakukan ritual eksorsisme karena mereka belum mengenal ilmu jiwa.
Berkat kekeraskepalaan Pastor Karras, ritual eksorsisme yang menjadi bintang utama novel ini tidak kunjung terlaksana padahal cerita sudah berjalan di setengah buku lebih. Kalau bagi orang awam, perubahan tingkah laku yang aneh seperti ketawa-ketawa sendiri, teriak-teriak, atau menangis tiba-tiba pasti sudah bisa didefinisikan sebagai kesurupan dan berbagai tindakan seperti memanggil orang pintar, dikepret pakai dedaunan, disembur pakai air, dan lain-lain pasti langsung dilakukan. Tetapi bagi intelek seperti Pastor Karras, bahkan fenomena-fenomena di luar nalar seperti tempat tidur yang bergoyang-goyang bahkan sampai melayang, kemampuan melontar-lontarkan diri, menggerakkan benda dari jauh tanpa menyentuh [psikokinesis], mengetahui kisah hidup seseorang atau apa yang tersembunyi tanpa melalui panca indra [Extra Sensory Perception/telepati], perubahan raut wajah, mengeluarkan berbagai macam bau secara bawah sadar, bercerocos dengan bahasa yang jauh dari usianya secara bawah sadar, perubahan gaya bicara, perubahan suara, meliuk-liukkan tubuh, berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dipelajari, memiliki kekuatan luar biasa, bahkan yang sangat mustahil, menonjolkan huruf-huruf di kulit tubuh lalu menghilangkannya kembali (dermatografia) bisa dijelaskan secara ilmiah, terutama dalam kontek ilmu psikologi sehingga Pastor Karras selalu berfikiran bahwa kejadian-kejadian ganjil tersebut bukanlah bukti otentik untuk pelaksanaan eksorsis.
Namun, pada akhirnya, Pastor Karras mau juga melakukan eksorsis, itupun bukan karena ia akhirnya percaya bahwa Regan kesurupan, tapi atas dasar bahwa Regan bisa sembuh dengan sugesti. Sebelumnya, Pastor Karras pernah mengatakan pada Regan bahwa ia punya air suci dan ketika Pastor Karras mencipratkan air tersebut pada Regan, Regan langsung berteriak kepanasan. Hal itupun semakin memperkuat dugaan Pastor Karras bahwa Regan tidak kerasukan, namun ia menciptakan kerasukan itu sendiri berdasarkan autosugestinya setelah membaca buku tentang kerasukan, karena faktanya, air yang dicipratkan Pastor Karras pada waktu itu bukanlah air suci. Justru karena Regan telah mendapatkan informasi bahwa air tersebut adalah air suci, dan orang yang kerasukan akan kepanasan jika terkena air suci, ia pun langsung melakukan reaksi serupa berdasarkan autosugestinya. Jadi, jika Regan telah mendapatkan informasi dari buku bahwa air suci dapat membuat orang yang kerasukan menjerit terbakar dan ritual eksorsis dapat menyembuhkan, maka Pastor Karras berniat menghadirkan eksorsis untuk memancing sugesti Regan agar ia bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Apakah Regan akan sembuh atau tidak, sebaiknya cari tahu sendiri saja ya. Hehehe...
Original Cover
Nah, mengenai tingkah-tingkah Regan saat kerasukan, itu terlalu mengerikan dan menjijikkan untuk diceritakan, bahkan beberapa cenderung melecehkan agama sehingga novel ini juga sempat jadi kontroversi. Yang jelas, novel ini penuh bahasa-bahasa cabul ekstrim yang tentu tidak bisa saya paparkan disini. Meskipun ini cuma cerita, tetapi saya rasa penulis teramat sangat berani untuk menuliskan kata-kata tersebut tanpa sensor sedikitpun. Tetapi, kalau seandainya adegan-adegan menjijikkan, vulgar, juga kata-kata kotor tersebut tidak dituliskan, novel ini tentu tidak akan mendapat predikat sebagai novel horor abadi, dan juga tidak membuat deskripsi tentang keadaan mengerikan tersebut terasa amat nyata. Jujur saja, di beberapa cerita, saya mengernyitkan hidung seolah-olah bisa mencium betapa busuknya bau kamar Regan saat itu.
Satu hal yang tidak saya suka dari novel ini adalah karena munculnya tokoh detektif bernama Mr. Kinderman yang amat menjengkelkan. Saya kurang bisa menggambarkan secara detail bagaimana semenjengkelkannya karakter Mr. Kinderman ini, yang jelas bicaranya selalu panjang lebar tapi tidak pernah jelas. Andai saja saya tidak cinta mati dan itu berarti tidak akan melewatkan sehuruf-pun novel ini, saya ingin sekali melewati bagian-bagian yang di dalamnya terdapat Mr. Kinderman.
Sebagai penutup, saya masih belum mengerti kenapa Regan bisa kesurupan. Di awal novel dikisahkan bahwa seorang pastor sekaligus arkeolog bernama Merrin tengah melakukan penggalian di Irak dan menemukan patung iblis Pazuzu. Secara selintas, kita pasti akan menduga-duga bahwa patung iblis Pazuzu inilah yang membuat Regan kesurupan, namun, Merrin tidak pernah berinteraksi dengan keluarga McNeil kecuali ketika ia diminta untuk melakukan ritual eksorsis untuk Regan. Itu berarti bahwa Regan sudah mengalami kesurupan. Hal ini masih menjadi misteri hingga kini.
Bagi pecinta bacaan horor, The Exorcist saya anggap sebagai bacaan wajib.

RATING
Cerita  : 6,9 of 7 (minus karena hadirnya tokoh Mr. Kinderman)
Terjemahan : 7 of 7
Cover Asli : 7 of 7
Cover Terjemahan : 7 of 7




Review Novel: Forgiven, Morra Quatro



Judul : Forgiven
Penulis : Morra Quatro
Jumlah Halaman : vi + 266 hlm.
Genre : Young Adult Romance
Penerbit : Gagasmedia
Cover Designer : Jeffri Fernando
Tahun : 2010
Harga :  pinjam di perpusda
ISBN : 978-780-432-1
Rating di Goodreads : 3.93 stars of 778 reviews
First Sentence : Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.
Final Sentence : Dan dia tidak pernah salah.

Everyone makes mistake, .... but only a few could forgive. Padahal ada banyak kesalahan yang hanya perlu dimaafkan, bukan dihukum. An aye for an eye will make us all blind.
Hal. 238

             Kedekatan Will dan Karla pada awalnya hanya sebatas teman se-geng zaman SMA yang terdiri dari Will, Alfan, Laut, Wahyu, Robby, dan Karla sebagai satu-satunya perempuan disana. Karla dan Alfan berpacaran, sementara Will sendiri, dengan kombinasi kecerdasan di atas rata-rata dan rupa Turkish yang menawan, sudah tak terhitung berapa kali ganti-ganti pacar di sekolah tersebut. Dibanding dengan yang lainnya, Karla lebih sering bersama Will, apalagi Will sering berulah dengan berlama-lama di laboratorium sementara Karla sebagai ketua kelas, diwajibkan untuk membereskan lab sebelum kelas berikutnya memakai ruangan tersebut. Ya, laboratorium memang menjadi tempat favorit Will untuk melakukan eksperimen yang tentu saja berhubungan dengan Fisika. Sebagai maniak Fisika, terutama Fisika nuklir, Will berambisi untuk mendapatkan nobel, dan langkahnya tersebut dimulai dengan terpilihnya ia sebagai delegasi untuk olimpiade Fisika internasional di Brussel.
            Hubungan Will dan Karla semakin dekat ketika Will menolak ide Alfan yang berencana untuk meniduri Karla. Mengetahui hal tersebut, Karla marah dan kisah percintaannya dengan Alfan pun kandas. Walau begitu, geng mereka tetap solid sampai akhirnya masa perpisahan tiba. Masing-masing anggota sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah kemana. Begitu juga dengan Karla yang akan pergi ke Singapura untuk mengikuti pelatihan tes masuk universitas sekaligus mengunjungi ayahnya. Sebelum pergi, Karla berniat untuk pamit dengan Will namun sayangnya rumah Will sudah kosong dan nomor Will pun tidak dapat dihubungi. Kepergian Karla kali itu diiringi oleh kesedihan luar biasa karena ia juga tak tahu kapan bisa bertemu Will kembali.
            Di Singapura, Karla memulai persiapan masuk universitasnya dengan mengikuti training review pelajaran SMA dan simulasi tes ini itu. Suatu hari, Karla mendapat kejutan yaitu menemukan Will di depan pintu kediamannya. Will bilang bahwa ia ingin melanjutkan pendidikan ke Boston, tepatnya di MIT. Dan hal tersebut jelas cukup membahagiakan bagi Karla karena ia sendiri juga akan melanjutkan kuliah ke Amerika tepatnya ke Philadelphia. Meskipun jarak Boston dan Philadephia tidak dekat, setidaknya mereka masih di negara yang sama. Di bandara, menjelang keberangkatan Karla yang terlebih dulu pergi ke Amerika, Will mendaratkan ciuman di bibir gadis itu dan meminta Karla untuk terus menjaga rambut panjangnya. Mereka pun merancang janji-janji untuk saling mengunjungi saat di Amerika nanti.
            Di suatu kunjungan, saat Will berada di Philadephia dan ia meminta Karla untuk menemuinya, momen yang seharusnya menjadi momen pelepas rindu ternyata justru berbalik 180 derajat. Will berucap bahwa ia sudah memiliki kekasih. Hati Karla patah detik itu juga.
            Sebagai tahap move on dari Will, Karla mulai menjalin hubungan dengan teman sekampusnya Casey. Bahkan hubungan tersebut menghadirkan sesosok anak laki-laki di antara mereka, Troy. Tetapi sayangnya, lagi-lagi kisah cinta Karla dan Casey kandas ketika tunangan Casey muncul. Di suatu kesempatan, Karla kembali bertemu dengan Will dan Will pun menyadari bahwa Karla telah melahirkan.
            Waktu berlalu dengan tiadanya lagi komunikasi dan interaksi antara Karla dan Will sampai suatu hari ia mendapat kabar dari kawannya yang seorang jurnalis, Beverly, bahwa ada teror yang tengah terjadi di Boston. Dan dalang di balik teror tersebut adalah Will. Dimulai dari kejadian itulah, rahasia-rahasia yang melingkupi Will selama ini, kebohongan-kebohongannya, juga fakta mengejutkan bahwa Will divonis death sentence karena aksi terornya yang menewaskan dua orang tersebut, mengalir dari mulut Chiara Hakim, istri Will.
                                                                      ҉҉҉҉҉҉҉     ҉     ҉            
                 
            Dibilang sebagai salah satu fiksi terbaik terbitan Gagasmedia, siapa yang tidak penasaran untuk melahap novel bersampul biru ini. Pun, saya sudah begitu lama mendambakan Forgiven namun karena terbilang terbitan lama, novel ini sudah sold out dimana-mana. Di olshop-olshop pun novel ini jadi incaran, jadi siap-siap aja gigit jari kalau keduluan yang lain. Nah, kebetulan seminggu yang lalu ngunjungin perpusda, ceritanya cuma nemenin temen nyari bahan buat skripsi. Tapi, setelah ngeliat banyak novel-novel baru di rak fiksi, lalulah saya menjelajah dan menemukan beberapa buku bagus. Sayangnya, kartu keanggotaan perpus sudah habis masa berlakunya, tapi sama si petugas perpus dibolehin pinjam buku untuk sekali ini. Hehehe....
            Well, setelah saya berhasil menamatkan novel ini, satu hal yang saya rasain adalah blue. Tiba-tiba aja ngerasa sedih, galau, muram, berkat klimaks tragis yang diciptakan Morra Quatro di buku perdananya ini. Secara atmosfer dan penyampaian rasa, novel ini jelas berhasil dengan baik.
            Forgiven sendiri bisa dibilang terbagi menjadi dua sisi cerita yang bertolak belakang. Di bab-bab awal, ketika Karla dan Will masih bergelut dengan dunia remaja SMA, atmosfer cerita masih warna-warni. Dipenuhi dengan kejailan-kejailan dan tingkah-tingkah nakal yang saya rasa sedikit kelewatan. Oh ya, sebenarnya setting masa remaja Karla dan Will terjadi pada tahun 70an atau 80an, agak lupa yang pasti saat itu presiden Indonesia masih Soeharto. Nah, sayangnya detail oldschool tersebut nggak terasa sama sekali. Ditambah lagi penggunaan Bahasa Inggris di beberapa dialog malah menegaskan kalau setting cerita justru di dunia modern dan bukan di Jogja.
            Atmosfer penceritaan mulai kelam ketika Karla dan Will sudah lulus dari SMA, dan memuncak ketika Will ditahan karena tuduhan terorisme. Sebagai tokoh protagonis, tentu saja Will mendapat simpati besar dari pembaca, termasuk saya. Namun, simpati tersebut tidak dikabulkan oleh sang penulis karena ending-nya tetap tragis.
            Mengenai karakter, saya baru sekali ini menemui karakter cowok jenius yang seperti Will. Di beberapa novel, dan juga film, cowok jenius selalu digambarkan kalau tidak geeky pasti sombong. Nah, Will justru sebagai cowok jenius yang cool, padahal kejeniusan Will benar-benar di atas rata-rata. Ambisinya untuk menciptakan pembangkit listrik tenaga nuklir membuat novel ini dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan Fisika yang kental. Bagi yang alergi sains, bagian-bagian ini bisa di­-skip kok karena tidak berpengaruh ke alur cerita juga.
            Sayangnya, di mata saya, novel ini hanya keren di ‘rasa’ yang disampaikan juga beberapa twist. Mengenai gaya penceritaan dan alur cerita sendiri tidak terlalu mengesankan, padahal saya amat berharap novel yang mendapat banyak pujian ini tampil outstanding di mata saya.
            Oh ya, saya juga tidak terlalu mengerti apa hubungan antara Champagne Supernova, nama rasi bintang Polaris yang dinamai Will, dengan inti cerita sampai-sampai rasi tersebut dijadikan sampul buku.
            Bagi yang suka roman-roman tragis ala Autumn in Paris-nya Ilana Tan, novel ini tentu highly recommended. Terakhir, entah kenapa sisi gelap novel ini mengingatkan saya pada muramnya novel “Hujan dan Teduh” karya Wulan Dewatri.

Rating
Cerita : 5,5 of 7
Cover : 5 of 7

           


 
Images by Freepik