Penulis : Budi Sardjono
Jumlah Halaman : 332
Genre : Adult Fiction, Historical
Fiction
Penerbit : Diva Press
Cover Designer : Ferdika
Tahun : 2014
Harga : Hibah dari Diva Press
(buntelan BBI)
ISBN : 978-602-255-601-5
Rating di Goodreads : 2.8 of 6 votes
Note : Review buntelan dari Diva Press
“Bagaimana pun juga yang namanya perpisahan selalu menimbulkan
kesedihan. Tidak ada perpisahan yang membuat hati orang-orang yang berpisah
bergembira.” Hal. 313
Jika masa dewasa dan kanak-kanak
memiliki batas teritorial, maka bagi seorang laki-laki, batas itu adalah
‘sunat’. Selepas menjalani proses ‘sunat’, Bagus Sasongko kini dinyatakan sudah
dewasa. Sebagai seorang anak dari wedana (pembantu bupati) Temanggung, prosesi
sunatan yang telah dilewati Bagus pun wajib hukumnya untuk dirayakan dengan
pesta dan pasar malam selama tujuh hari penuh. Selain itu, Bagus Sasongko juga
wajib menimba ilmu tentang seluk-beluk dunia seksual yang pasti akan
dihadapinya di usianya yang beranjak dewasa, dengan seorang gowok bernama
Nyai Lindri. Gowok sendiri adalah seorang perempuan yang ditugaskan
untuk membimbing para lelaki beranjak dewasa untuk mengetahui sekaligus
mempraktekkan apa yang disebut dengan ‘urusan kamar tidur’. Gowok mempunyai
beberapa pantangan yaitu tidak boleh hamil, tidak boleh menikah, dan tidak
boleh jatuh cinta pada murid bimbingannya.
Tinggal serumah dengan perempuan
dewasa yang tidak ada hubungan darah sama sekali membuat Bagus sedikit
kewalahan dengan gejolak testosteron yang terus menderanya apalagi Nyai Lindri
mempunyai fisik yang amat menarik meskipun usianya sudah tak muda. Ditambah
lagi, kamar tidurnya tepat bersebelahan dengan pancuran tempat Nyai Lindri
biasa mandi, dan juga kehadiran Martinah, si tetangga yang sering membantu Nyai
Lindri, yang belakangan membuat Bagus selalu bergairah membuatnya. Namun,
memang itulah fungsi Bagus ditempatkan di sana. Tak sekedar diberikan nasihat,
petunjuk, dan saran, Bagus pun bisa langsung mempraktikkan apa yang telah
diajarkan kepadanya baik kepada Nyai Lindri maupun Martinah.
Saat Bagus sudah merasa betah dengan
kehidupan barunya, tiba saatnya ia dihadapkan pada perpisahan dengan sang guru.
Perpisahan yang membuat Nyai Lindri dihadapkan pada pilihan satu-satunya yang
ia punya agar reputasinya sebagai Nyai Gowok tidak tercemar jika Bagus Sasongko
menaruh hati padanya ataupun sebaliknya.
***
Sebelumnya, saya infokan bahwa novel
ini mengingatkan saya akan film Jan Dara yang dibintangi oleh Mario Maurer.
Tokoh utamanya sama-sama lugu, dan temanya pun sama, erotis historis. Jadi,
saat membaca Nyai Gowok, yang tervisualisasi di benak saya justru Mario Maurer
sebagai Bagus Sasongko dan ibu tiri Jan Dara yang awet muda dan bening banget
itu sebagai Nyai Gowok. Now, let’s take a look my review!
Membaca tagline novel yang
terasa menggigit dan amat mengundang selera (selera baca tentu saja), saya
langsung punya ekspektasi lebih kalau novel ini akan membawa pembaca ke dalam
dunia eroro versi sopan dimana bagian-bagian censored tersebut
merupakan bagian dari educational purpose. Sayangnya, Novel Kamasutra
dari Jawa tak lebih hanya embel-embel bagi saya pribadi. Jika digambarkan
dalam bentuk persentasi, Kamasutra yang dimaksud hanya mengisi cerita
sekitar 30-40 persen, selebihnya hanya berkisah tentang gejolak pasca-sunat
yang dialami Bagus Sasongko saat nyantrik di rumah Nyai Lindri, juga
mengenai usaha Lurah Juwiring yang desperate mengejar Nyai Lindri sampai
menggunakan cara-cara klenik. See, judul novel ini tidak salah, hanya
saja tagline-nya terasa sedikit sia-sia.
Nyai Gowok sendiri sebenarnya
memiliki premis cerita yang segar dan original. Personally, saya belum
pernah mendengar kisah tentang seorang perempuan yang mengabdikan dirinya untuk
menjadi guru ‘seksualitas’ bagi para lelaki pasca sunat untuk lebih mengetahui
seluk-beluk tubuh perempuan. Ya, seperti yang juga disebut dalam novel ini,
lelaki punya naluri. Ia tahu apa yang harus ia lakukan ketika disuguhi wanita,
maaf, dalam keadaan yang memang mendukung untuk melakukan hubungan badan. And
speaking of kamasutra again, Nyai Lindri memang mengajarkan Bagus Sasongko tips
and trick untuk memuaskan perempuan di atas ranjang. Saya sempat merangkum
beberapa ajaran Nyai Lindri walaupun tidak begitu lengkap karena baru kefikiran
pas di halaman-halaman akhir menjelang ending. Hehe...
Menurut kitab Rahasya Sanggama, ada tiga cara yang dapat ditempuh lelaki untuk
memuaskan batin pasangannya. Angguliprawesa (dengan menggunakan
jari-jari tangan), jihwaprawesa (dengan menggunakan lidah), dan
purusaprawesa (dengan menggunakan alat kelamin).
Ramuan dan mantra untuk membuat lebih
bergairah dan something
related to Mr. P.: otak ayam jantan+madu+minyak bulus (digosokkan ke Mr.
P.), telur ayam mentah+madu hutan (diminum), minyak bulus (digosokkan ke Mr.
P.), tongseng torpedo kambing (dimakan), jamu beras kencur (diminum), Purwaceng
dari Dataran Tinggi Dieng (dimakan jika berbentuk ubi, diminum jika berbentuk
kopi), dan mantra Asmara Gama (dibaca).
Masih banyak lagi sebenarnya
pelajaran-pelajaran yang didapat Bagus Sasongko saat nyantrik seperti
perempuan yang ingin diperlakukan seperti makan mangga (I fairly disagree
with this), dan lain sebagainya yang ‘mungkin’ bisa dipakai bagi yang
‘berhak’. So, let’s explore this book! Hehe...
Saya juga terkagum-kagum dengan Mas
Budi yang selain gaya tulisannya splendid, wonderful, marvellous, amazing, hehe...,
deskripsi latar cerita berupa tanah Jawa tepatnya Temanggung dan Jogja tahun
50-an benar-benar tergambarkan dengan sangat baik. Pun, latar belakang kultur
masyarakat yang masih percaya hal-hal gaib seperti meminta restu nenek moyang
yang sudah meninggal meskipun di lain sisi mereka juga percaya kepada Tuhan. Dan
tentu saja, muatan historis yang disampaikan benar-benar membuat saya ternganga.
Entahlah, mungkin Mas Budi memang menguasai sejarah (Pangeran Diponegoro, kisah
mengenai perkeretaapian, Sunan Kalijaga, dan lain sebagainya) atau bisa juga
hanya berupa hasil riset yang itupun menurut saya bukan hal yang mudah.
Kalaupun hal tersebut hanya berupa rekayasa atau tak lain berupa produk
imajinasi semata, saya tetap salut dengan detail yang disampaikan. Well, in
my deep, saya tetap yakin historical things yang disampaikan bukan
sekedar produk khayalan.
Speaking of the
drawbacks,sayang sekali saya banyak mencatat
ketidakpuasaan terhadap novel ini. Pertama, seperti yang sudah saya sampaikan
di paragraf pertama, kesan kamasutra dari novel ini sungguh kurang terasa. Di
bagian-bagian awal, ketika Bagus baru nyantrik di rumah Nyai Lindri,
saya tidak menemui adanya ajaran yang diberikan oleh sang Nyai kepada Bagus.
Pun, hanya dikisahkan tentang gejolak sang remaja ketika melihat Nyai Lindri
mandi atau melihat bagian-bagian tubuh sang Nyai maupun Martinah yang
terekspos. Di pertengahan novel, Bagus juga hanya diberi ramuan-ramuan. Well,
Martinah memang sempat memberi Bagus tips, tetapi kadarnya terasa amat
kurang.
Kedua, Nyai Gowok terlalu over dalam
mencantumkan beberapa bagian misalnya tembang-tembang jawa yang persentasi
kehadirannya menyamai taburan berbalas pantun di novel Sitti Nurbaya, juga
mengenai Bagus yang entah berapa kali selalu memikirkan ‘titik kepuasaan wanita
berkulit hitam ada di paha.’ Paha, paha, paha, paha. Pengulangan membuat bosan,
kan? Dan berbicara mengenai tembang juga mantra dalam bahasa Jawa yang banyak
dicantumkan di novel ini, saya sih nggak keberatan andai saja ada
terjemahannya. Bagi orang non-Jawa, tembang-tembang dan mantra yang ditulis
lengkap itu sama sekali tak ada artinya dan tentu saja akan langsung di-skip.
Masih mengenai ‘berlebihan’, novel
ini juga terlalu sering memakai kata ‘hehe’. Bagi saya, ‘hehe’ hanya cocok
dipakai dalam teenlit, personal literature, jurnal harian, review
pribadi, atau novel humor. Sedangkan dalam novel-novel serius, bahkan jika itu
berupa roman sekalipun, kata ‘hehe’ dapat mengurangi kesan serius yang telah
dibangun. Berkaca pada novel-novel terjemahan, mereka tetap bisa menghadirkan
momen ‘sedang tertawa’,’nyengir’, ‘terkekeh’, atau ‘tersenyum’ tanpa
menggunakan kata ‘hehe’ yang tampak kurang formal. Ada satu line di
novel ini yang bisa menjadi gambaran bagaimana menghadirkan dialog humoris yang
menular ke pembaca tanpa penggunaan ‘hehe’.
“Muntilan… Muntilan… Magelang… Magelang” teriak kernet bus sambil
bergelantungan di pintu. “Crutu Magelang…
mak crut metu pegele ilang.” Candanya yang disambut tawa para penumpang.
Jujur saja,
saya tak tahu kenapa para penumpang tertawa karena sekali lagi saya tekankan,
saya tidak mengerti bahasa Jawa. Namun, saya tersenyum seolah-olah saya paham
apa yang dimaksud dengan mak crut metu pegele ilang.
Ketiga, jangan
berharap ada adegan erotis a la novel historical romance di Nyai Gowok
karena adegan kipas-kipasnya nanggung senanggung-naggungnya. Ciyussss! Saya
bahkan tidak sadar bahwa Bagus sudah make out dengan Martinah karena
ternyata ia masih saja memikirkan mengenai ‘paha’.
Keempat, selipan
kisah mengenai Nyai Bayak Abang terlalu panjang padahal bukan bagian penting
dari cerita. Dua atau tiga paragraf saya rasa sudah cukup untuk menceritakan
tentang penghuni kubur yang tengah diziarahi. Pun juga, kisah tentang Lurah
Juwiring yang fall in lust pada Nyai Gowok hanya memanjang-manjangi
plot. Tanpa cerita tambahan itupun, plot utama tetap tidak akan terpengaruh. I
think, Lurah Juwiring ini malah terkesan seperti konflik tempelan pesanan
editor karena memang plot utama tentang Bagus yang berguru pada Nyai Gowok
tidak berkonflik sama sekali. Sorry.....
Kelima,
diceritakan bahwa Bagus Sasongko baru saja selesai disunat dan maka dari itu ia
dikirim ke Nyai Lindri untuk menuntut ilmu tentang sex education. Premis
ini agak kurang logis sebenarnya, apalagi ditambah dengan hubungan badan yang
dilakukan Bagus pada Nyai Lindri untuk lebih mendalami (dengan kata lain,
praktek) ilmu yang sudah diajarkan. Padahal dikatakan bahwa janganlah
menggunakan nafsu kelelakian pada wanita yang belum menjadi isteri. Hmmm...
kontradiktif. Selain itu, diceritakan pula bahwa Bagus Sasongko berumur 15 dan
mau masuk SMA. What? Gede amat baru disunat!
Ada juga
keanehan mengenai pengetahuan Bagus tentang tembang. Di halaman 88, ketika Nyai
Lindri bertanya pada Bagus tentang tembang Macapat, Bagus menjawab di
sekolahnya baru diajari Gambuh dan Pocung sementara Dandanggula dan Pangkur
hanya disebut-sebut. Tetapi 200 halaman kemudian, tepatnya di halaman 288
ketika Nyai Lindri menanyakan hal yang sama (mungkin Nyai-nya lupa kali ya,
hehhe), Bagus malah menjawab ia sudah diajari Dandanggula, Pocung, dan Gambuh
sejak sekolah rakyat. Bahkan, mereka menembangkan Dandanggula bersama-sama.
Kontradiktif? I see...
Keenam, plot
hole. Saya sih bertanya-tanya, kok si Bagus bisa mengontrol untuk tidak
meninggalkan benih saat make out dengan Martinah dan Nyai Lindri
sementara dikisahkan bahwa dia itu begitu polos soal begituan. Martinah maupun
Nyai Lindri pun diceritakan masih takut hamil, it means that they have no
‘protector’. Lebih tidak mungkin lagi kalau Bagus melakukan ejakulasi
putus. Canggih bener baru pertama udah EP. Kwkwkwk... (buah dari fikiran saya
yang terlalu ingin tahu).
Terakhir, ini
sih berkenaan dengan personal taste jadi memang sifatnya subjektif.
Hehe... Saya tidak suka dengan fakta yang dibeberkan novel ini mengenai gowok
dan remaja. Kalau si gowok juga ujung-ujungnya ‘main ranjang’ dengan
muridnya, semua pesan-pesan yang ia sampaikan untuk menjaga perasaan wanita,
jangan mengumbar nafsu bla bla bla terasa mentah belaka. Di luar itu, as I
mentioned above, idenya keren, sayang ceritanya kurang kaya dan plotnya, to
be honest, biasa saja. That’s my reason of writing the plain synopsis
like that (see the 1st, 2nd, and 3rd paragraphs of this review).
Masalah cover
tentu juga harus disoroti berhubung hal satu itu juga masuk dalam penilaian
saya. Dan.... saya memutuskan bahwa cover Nyai Gowok, kuerrren bingitsz!
Kesan Jawa dan tempo dulunya dapat sekali. Kombinasi warnanya pun indah. Pun,
saya juga suka font tulisannya yang pas sehingga membuat novel ini ramah
buat mata.
Meskipun saya
mencatat banyak kekurangan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Diva Press yang
telah memberikan novel ini secara prodeo, semata-mata hal ini saya lakukan
untuk perbaikan ke depan. Saya tidak bermaksud mencela, sok tahu, atau
gimana-gimana, karena bagaimana pun, pembaca adalah penikmat buku. Ketika ia
merasa buku tersebut kurang nikmat, ia berhak komplain dong! Hehe... Tetapi,
saya garis bawahi, novel ini bagus. Banyak aspek yang juga saya kagumi dan
ya... I classify this as a page-turner book, yang artinya saya enjoy kok
baca novel ini. Bikin nagih untuk tahu kelanjutannya.
I
recommend this book to ‘lelaki yang ingin menambah gairah seksual dan kejantanan.’
Hihi...
P.S.: Nama penulis ikutan jadi cameo
lho di novel ini. I think of Joko Anwar...
Review
Cerita : 5,5 of 7
Cover : 6,5 of 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar