Judul :
Unforgiven: Hantu Rumah Hijau
Penulis : Eve
Shi
Jumlah Halaman
: vi + 262 hlm.
Genre : Horror
Penerbit : Gagasmedia
Cover Designer
: Levina Lesmana
Tahun : 2014
Harga : pinjam di perpusda
ISBN : 979-780-730-4
Rating di
Goodreads : 3.25 stars of 28 reviews
First Sentence : “Gue nggak yakin rumah hijau ada
hantunya,” tegas Kaylin.
Final Sentence
: Suara yang, ia
tahu kini, akan selalu ada di rumah ini sampai kapan pun.
Seorang penghuni baru kembali menempati rumah Hijau yang
terletak tepat di samping rumah Kaylin. Hal tersebut tentu saja menarik
perhatian Kaylin mengingat pamor rumah tersebut yang sering membuat penghuninya
tak betah berlama-lama di sana karena rumah tersebut dipercaya angker meskipun
Kaylin tak percaya dengan gosip tersebut. Namun, kali ini, kedatangan penghuni
baru tersebut juga membuat Kaylin dan sahabatnya, Rico, mendapat tamu tak kasat
mata yang sangat mengusik kehidupan mereka. Gangguan-gangguan yang mereka alami
pada awalnya hanya sekedar penampakan, baik di rumah maupun di sekolah, namun
lama-kelamaan, roh-roh penasaran tersebut juga melakukan serangan fisik yang
mencederai adik dan ayah Kaylin. Yakin bahwa gangguan-gangguan tersebut berasal
dari datangnya Yanuar ke rumah hijau, Kaylin dan Rico pun bertekad melakukan
penyelidikan dan penyelusuran sejarah rumah hijau dan menemukan fakta bahwa
pemilik rumah tersebut adalah sahabat dekat kakek Kaylin dan kakek Rico. Mereka
juga mendapati informasi bahwa Pak Theo—si pemilik rumah hijau—, kakek Kaylin,
dan kakek Rico sempat pindah dari kompleks tersebut tak lama setelah kasus
lenyapnya suami istri, Markus dan Eris.
Menguak kembali kasus yang telah terkubur selama 40 tahun
bukanlah hal yang mudah sementara saksi hidup yang tersisa hanyalah nenek Rico.
Namun, apa pun yang terjadi, Kaylin dan Rico tak bisa menyerah begitu saja
karena nyawa keluarga mereka adalah taruhannya. Untuk pertama kalinya, Kaylin
dan Rico harus berhadapan dengan orang-orang mati yang bisa datang tanpa dapat
diantisipasi.
***
Sebagai
fans berat segala hal yang berbau horor terutama film, saya sudah banyak sekali
menikmati berbagai macam cerita di bawah naungan genre horor dengan berbagai
macam cabangnya seperti thriller, psychological horror, dan lain
sebagainya. Untuk bacaan, novel horor yang saya baca memang baru sedikit, namun
kalau film—juga reviewnya—saya nyaris tak dapat menghitung lagi ada berapa
banyak yang sudah saya lahap.
Kali
ini, saya akan memberikan ulasan terhadap UNFORGIVEN berdasarkan background
knowledge yang saya miliki setelah melahap berbagai review terhadap
film-film horor.
Untuk
penulisan sendiri, jujur saya saya tidak into dengan novel ini. Entah
kenapa jalinan kalimatnya terlalu biasa walaupun sudah disisipi kosa kata
bahasa Indonesia asing yang belum sempat saya cek di kamus. Pun,
dialog-dialognya juga klise dan ada beberapa yang malah menggelikan.
“Pa...” bisik Kaylin gemetar. “Lagi apa?
Turun, dong.”
Dialog di atas adalah salah satu contoh yang cukup
membuat saya mengernyitkan dahi. FYI, ucapan tersebut dikatakan Kaylin pada
ayahnya ketika sang ayah tengah ‘dianiaya’ oleh hantu Eris. Saya sungguh tidak
mengerti kenapa Kaylin bisa mengucapkan kalimat seperti memerintahkan hewan
peliharaan tersebut pada ayahnya yang nyawanya di ujung tanduk.
In
conclusion, dari sisi penulisan, UNFORGIVEN sama sekali tidak tampil
cemerlang.
Untuk
cerita, novel ini bahkan saya bilang lebih ngawur lagi karena entah bagaimana
sang roh penasaran baru berkeliaran 40 tahun kemudian. Kemana saya mereka
selama ini? Bukanlah keluarga Kaylin dan Rico sudah lama berada di kompleks
tersebut? Bukankah pula rumah hijau sudah sering terusik dengan kehadiran
penghuni baru? Apakah karena penghuni kali ini adalah cucu kandung Pak Theo
sehingga roh-roh penasaran tersebut baru terfikir untuk melakukan teror
terhadap keluarga Pak Theo, keluarga Kaylin, dan keluarga Rico? Dan kenapa pula
sebuah rumah dinamai rumah hijau sementara julukan tersebut sama sekali tak ada
korelasinya dengan keseluruhan jalan cerita? Saya sempat berfikir bahwa mungkin
rumah hijau ini juga memiliki penampakan berupa kabut hijau dan lendir-lendir
hijau yang keluar dari dinding seperti novel Alfed Hitchcock and the Three
Investigator edisi “Misteri Hantu Hijau”.
Cerita
yang dangkal tersebut, bahkan setelah dihiasi dengan deskripsi hantu-hantu yang
terlewat detail, sama sekali tak dapat menghantarkan ketakutan pada saya
pribadi. Sayangnya lagi, alur ceritanya juga flat, tak ada hook, bahkan
cenderung dipanjang-panjangkan dengan hadirnya sempilan-sempilan tak bermanfaat
seperti perasaan Rico pada Jessa yang sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan
dan dikaitkan dengan kejadian horor yang menimpa Rico dan Kaylin mengingat
Jessa bisa melihat apa yang orang biasa tak bisa lihat. Selain itu, Kak Raymon
yang sempat memberikan perhatian kepada Kaylin juga terkesan hanya sebagai
karakter ‘penambah tebal halaman’ karena apa pula kontribusinya terhadap jalan
cerita. Pun, kalau ia punya hati dengan Kaylin, hal itu juga tidak dikembangkan
sehingga UNFORGIVEN terkesan hanya sebagai sebuah novel horor yang
dititipi gimmick khas teenlit namun tak melebur ke dalam cerita.
Dalam
sebuah cerita horor, ada yang paling penting untuk dilakukan ketimbang
menaburkan penampakan-penampakan berwajah buruk hampir di setiap menit (kalau
dalam film) atau halaman (kalau dalam novel) yaitu membuat pembaca/penonton
merasa ketakutan bahkan sebelum sang hantu menampakan diri. Contoh buku yang
memiliki kekuatan tersebut adalah novel adaptasi film Kuntilanak hasil tulisan
Ve Handojo yang membuat saya benar-benar di part saat Sam melewati pohon
besar di pemakaman dan melihat keramik-keramik bermotif khas Mangkudjiwo. Jujur
saja, saya belum pernah menonton film Kuntilanak-nya Rizal Mantovani saat
membaca novel tersebut. Satu lagi, saya juga ketakutan setengah mati ketika
membaca Tusuk Jelangkung (novel adaptasi dari film berjudul sama yang ditulis
oleh FX Rudy Gunawan) di bagian saat Rea and the genk berperahu menuju
desa Angker Batu dan melewati nisan-nisan yang menyembul di rawa-rawa. See, dua
contoh tersebut bahkan tak menyertakan setan di dalamnya. Kalau dari novel
horor yang murni novel, maksudnya bukan hasil adaptasi film, saya kutip sebuah
potongan cerita dari novel Doa Ibu karya Sekar Ayu Asmara yang juga
sukses membuat pembaca merinding tanpa menampilkan penampakan-penampakan gaib.
Ijen merasakan detak jantungnya berhenti sejenak.
Telinganya menangkap sebuah suara.
Suara yang selama ini kerap terdengar, kini terdengar lebih jelas.
Sepanjang hidupnya, ia akrab dengan suara ini. Namun ia tidak pernah bisa
menebak jenis suara itu.
Terkadang suara itu menyerupai suara manusia merengek penuh iba. Terkadang
suara itu mirip jeritan hewan yang lehernya tersembelih parang. Terkadang
terdengar sebagai sebuah lagu melankolis dengan rangkaian nada-nada minor.
Namun tak jarang juga suara itu terdengar sebagai sebuah mantra dari sebuah
kepercayaan masa lalu.
Suara itu terkesan bukan berasal dari dunia ini. Bukan hewani. Bukan pula
manusiawi. Bukan juga duniawi. Itulah sebabnya ia menyebutnya “suara ruh”.
Ijen melihat wajah Khaled berubah sebeku es batu. Darah yang mengalir dalam
tubuhnya seakan telah membeku. Bingung dan kalut bergantian menyorot dari
matanya. Dewanti, istri yang baru saja resmi dipersuntingya, tak lagi berdiri
di sampingnya.
Ronce melati tergeletak di lantai pelaminan.
Dewanti telah lenyap, menghilang tak berbekas. Hal. 12-13
Lihat kan, penulis berhasil menghantarkan
atmosfer horor padahal yang terjadi hanyalah sosok pengantin wanita yang tiba-tiba
lenyap di pelaminan setelah listrik tiba-tiba padam.
Oh ya, mengutip dari salah satu review film
yang pernah saya baca, dalam kasus cerita horor yang mengangkat kasus-kasus
sebuah gedung berhantu seperti rumah, hal utama yang harus dilakukan adalah membuat
penonton/pembaca takut dulu terhadap rumahnya.
Selain
itu, hal yang perlu digarisbawahi dari novel ini adalah kurangnya shocking
moment (atau dalam istilah film disebut jump scare) dan narsisnya
sang hantu yang sangat sering melakukan penampakan. Jika dua elemen ini
terdapat dalam sebuah cerita horor, saya tidak yakin bahwa cerita tersebut akan
membuat para pembaca terkesan dan ketakutan. Toh, mereka sudah biasa dengan
sang hantu yang suka mencari perhatian.
Well,
meskipun gagal sebagai sebuah novel horor yang benar-benar horor, UNFORGIVEN
tetap tampil baik dalam hal misteri ala detektif-detektifan meskipun
lagi-lagi klimaks-nya begitu digampangkan seolah tak ada ide lain selain
mendapat bantuan dari sang arwah penasaran. Selain itu, saya juga mengagumi cover-nya
yang sangat mencekam.
Jika
diterjemahkan menjadi media lain, saya percaya bahwa UNFORGIVEN tak bisa
lebih dari sebuah FTV yang tayang di siang hari sebagai pengisi waktu istirahat
selepas pulang sekolah.
Rating
Cerita: 2 of 7
Cover: 7 of 7
penasaran sama bukunya deh
BalasHapusharga casing sosis