Pages

Kamis, 25 Desember 2014

Review Novel: Monte Carlo : Skenario, Arumi E.



Judul : Monte Carlo: Skenario (STPC #9 Gagasmedia)
Penulis : Arumi E.
Jumlah Halaman : viii + 316 hlm.
Genre : Adult Romance
Penerbit : GagasMedia
Cover Designer : Dwi Anisa Anindhika
Tahun : 2014 (Cet. 1)
Harga : 49.500 (fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN : 978-979-780-668-0
Rating di Goodreads : 2.49 stars of 39 ratings
First Sentence : Gadis itu menghela nafas panjang.
Final Sentence : Ucapan Alaric seketika merekahkan senyum di bibir lembut Kiara.


“Namanya saja dunia hiburan. Semua serbadrama....” hal. 81
Berkat ajakan seorang warga negara Perancis yang baru dikenalnya di kereta, Kiara tertarik untuk menginjakkan kaki di negeri Ratu Grace Kelly. Sayangnya, tidak lama di negeri tersebut, Kiara memutuskan untuk kembali ke Perancis karena lelaki yang bernama Bertrand, yang ditemuinya di kereta beberapa saat lalu, tiba-tiba menghilang dengan misterius ketika mereka tengah berada di sebuah kafe.
            Setahun berlalu, Kiara kembali berkesempatan untuk menyambangi Monte Carlo karena film yang ia mainkan akan melakukan syuting di kota tersebut. Tentu saja di benak Kiara masih terbayang-bayang Bertrand yang meninggalkannya tanpa pamit dan terkesan terburu-buru. Dengan harapan bertemu dengan Bertrand, Kiara malah berjumpa kembali dengan seorang pria Indonesia yang pernah mengobrol dengannya di kereta menuju Paris. Pria yang berkiprah sebagai sutradara film indie di negeri menara Eiffel itu ternyata didapuk sebagai sutradara film yang akan dibintangi Kiara, Theodore dan Almira.
            Proses syuting Kiara di Monte Carlo tidak berjalan lancar seperti yang sudah-sudah. Alaric, sang sutradara, berkali-kali meng­-cut adegan lalu membentak Kiara dengan omongan yang dianggap Kiara kasar dan keterlaluan. Kiara, yang terkenal sebagai seorang selebritas yang hobi melarikan diri, tidak terima dengan bentakan Alaric lalu memutuskan untuk berpesiar keliling Monte Carlo seorang diri. Pilihannya jatuh pada sebuah kafe dimana dulu Bertrand sempat meninggalkannya. Dan betapa terkejutnya Kiara karena di kafe tersebut, ia mendapati potret dirinya yang pernah diambil Bertrand. Saat itu pulalah, tiba-tiba Bertrand muncul dan menjelaskan perihal ketergesaannya setahun yang lalu pada Kiara. Namun, pertemuannya tidak berjalan lama karena Alaric, yang sudah sering mendengar tentang kemisteriusan Bertrand dari Kiara, muncul dan mengajak Kiara kembali ke lokasi syuting.
            Setelah kepergian Kiara sehari yang lalu, nyatanya proses syuting Theodore dan Almira masih saja menghadapi tantangan terutama karena Kiara yang berakting asal-asalan. Alaric yang merasa putus asa menghadapi sikap Kiara yang tidak kooperatif memutuskan untuk mundur dari produksi film dan memutuskan untuk ikut minggat dari Monte Carlo. Namun, kali ini, gantian Kiara yang menjemputnya karena Kiara merasa asisten sutradara yang bertugas menggantikan Alaric tidak memiliki sense of film directing sebaik Alaric. Semenjak itulah Kiara sadar bahwa Alaric memang tidak salah. Gambar-gambar yang diambilnya bagus dan ia teramat peka mengarahkan acting seseorang agar terasa lebih hidup dan natural.
            Seiring dengan selesainya syuting Theodore dan Almira, sikap Alaric yang dingin dan ketus-pun mulai berubah. Ia kembali menjadi sesosok pria yang menyenangkan. Ya, sikapnya selama menyutradarai film tersebut ternyata memiliki alasan tersembunyi. Alasan yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Sebuah skenario.
***
Banyaknya komentar negatif yang menghujani novel ini nyatanya tidak terlalu berpengaruh untuk membuat saya enggan menjamahnya. Saya memang tidak berharap banyak, terutama setelah membaca Athena yang juga dinilai buruk, dan akhirnya yang saya dapat juga pengalaman membaca yang amat melelahkan. Well, tetapi bagaimanapun juga, novel yang sudah dibeli harus tetap dibaca apalagi saya sudah berniat untuk mengadakan STPC Award yang saya nilai sendiri. Hehehehe... Dan hasilnya, membaca Monte Carlo tidak seburuk yang saya bayangkan. Bahkan, Monte Carlo adalah serial STPC tercepat yang pernah saya baca. Hanya dalam waktu dua jam lebih sedikit. Lebih cepat dari Paris yang notabene memiliki halaman yang lebih sedikit. Membaca novel dengan durasi yang cukup pendek adalah salah satu pertanda bahwa novel ini sangat layak untuk dinikmati kan? Ya, to be honest, Monte Carlo memang masih layak untuk dibaca.
Sejujurnya, ada banyak sekali kekurangan di novel ini dan ini membuat saya mengamini pendapat mayoritas pembaca tentang Monte Carlo. Sebut saya dialog yang teramat kaku, tidak mengalir, tidak hidup, dan sangat tidak natural. Kalau boleh berkata kejam, membaca dialog-dialog di Monte Carlo ibarat membaca tulisan anak belasan tahun di Kecil-Kecil Punya Karya. Ditambah lagi dengan karakter-karakter menyebalkan yang sama sekali tidak dapat mengundang simpati. Saya amat tidak paham seperti apa sih maunya penulis dalam menggambarkan Kiara. Di sisi lain, ia disebut sebagai seorang wanita yang tidak ingin disebut sebagai selebriti. Seolah-olah menyiratkan kerendahan hatinya. Ia juga tidak terlalu suka berdandan, tidak suka mewah-mewahan, kurang nyaman dalam pesta, dan hal-hal lain yang identik dengan kesan glamor. Namun di sisi lain, Kiara itu menyebalkan. Ia juga protes waktu tidak menginap di hotel termegah se-Monte Carlo. Tidak ada salahnya memang jika protagonis juga memiliki sifat tercela, tetapi bukan berarti harus kontroversial. Seolah-olah Kiara adalah makhluk yang gamang. Tidak diberikan sifat dan sikap yang konsisten.
Selain dari segi dialog dan karakterisasi, premis Monte Carlo juga membingungkan. Saya kira, sosok Bertrand yang membawa Kiara ke Monte Carlo itulah tokoh utama dalam novel ini. Namun kenyataannya, sosoknya yang membuat Kiara dibayangi rasa penasaran sepanjang tahun itu ternyata ‘bukan apa-apa’. Ia hanyalah penghubung. Dan konsep penghubung tersebut saya rasa sangat tidak relevan dengan isi cerita dan hanya buang-buang halaman. Tanpa Bertrand-pun, romantika antara Kiara dan pasangannya tetap akan terjalin. Tetapi jika dilirik dari judul novel ini, ‘Skenario’, sah-sah saja jika alurnya dibuat berbelit-belit meskipun sebenarnya bisa disederhanakan.
Lalu, apa yang membuat saya betah membaca novel ini dari jam 11 sampai jam 1 malam? Ya, tak lain dan tak bukan karena saya suka dengan konsep ceritanya, yaitu mengenai dunia selebriti dan perfilman. Saya jarang membaca novel dengan setting seperti itu soalnya. Apalagi, sebagai seorang penulis yang sudah menghasilkan beberapa judul buku, Mbak Arumi tentu sudah cukup cakap dalam mengguratkan permainan kalimat, meski ya itu tadi, saya tidak terpikat dengan dialog-dialognya.
Berbicara mengenai Monte Carlo sendiri, saya memang kurang dapat menangkap aura negeri ratu Grace Kelly tersebut melalui deskripsi yang Mbak Arumi tuliskan di novel ini. Lagipula, tempatnya sepertinya cukup membosankan karena yang ditonjolkan kebanyakan cuma dari segi arsitektur. Oh ya, mengenai gedung, saya sempat mengira ilustrasi sampul Monte Carlo ini adalah Angkor Wat karena lumayan mirip. Hehe...
Kesimpulannya, Monte Carlo bukanlah sebuah novel yang buruk, tetapi juga tidak istimewa.
“Jangan kebanyakan nonton film romantis, Liv. Jatuh cinta nggak semudah di film.” Hal. 66

Rating
Cerita: 4,8 of 7
Cover: 4,5 of 7


1 komentar:

 
Images by Freepik