Penulis :
Windry Ramadhina
Jumlah Halaman
: x + 330 hlm.
Genre : Adult
Romance, Fantasy
Penerbit :
GagasMedia
Cover Designer
: Levina Lesmana
Tahun : 2014
(Cet. 5)
Harga : 47.000
(fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN : 978-979-780-653-8
Rating di
Goodreads : 3.67 stars of 679 ratings
First Sentence : Sekarang, kota ini persis
seperti apa yang dideskripsikan Charles Dickens dalam salah satu bukunya, Bleak
House.
Final Sentence : Itulah keajaiban cinta
milikku.
“Kau melihatnya di tengah hujan, katamu? Dan,
dia menghilang saat kau ingin mengejarnya? Jangan-jangan, dia malaikat.” Hal. 315
Di
bawah pengaruh minuman keras, seseorang dapat berbuat apa saja termasuk yang di
luar akal sehat. Dan Gilang, yang sudah memendam cintanya dengan sahabat masa
kecil bernama Ning selama 6 tahun, berniat untuk menyatakan cinta pada gadis
itu. Pada awalnya hal tersebut terlihat wajar andai saja Ning tidak berada di
negeri orang. Ya, dalam keadaan mabuk, Gilang nekad untuk mengejar Ning ke
London hanya untuk mengklaim cintanya.
Tanpa
pemberitahuan kepada Ning, Gilang mengandalkan takdir untuk mempertemukannya
dengan Ning dalam waktu lima hari. Gilang memang bukan eksekutif muda yang
dapat terbang kesana kemari tanpa khawatir uang terkuras. Ia hanya pemuda biasa
dengan pekerjaan yang juga biasa. Tabungannya hanya cukup untuk menghidupinya
selama lima hari di London. Dan ketidakberuntungan langsung menyapa Gilang
ketika ia bertandang ke kediaman Ning. Gadis itu tidak ada di tempat. Sudah tiga
hari belakangan tidak kelihatan.
Sembari
menunggu Ning kembali, Gilang memutuskan untuk mengisi hari-harinya dengan
berjalan-jalan. Tempat pertama yang ia kunjungi adalah London Eye. Kincir
raksasa yang juga menjadi ikon di kota London. Di London Eye, tepatnya saat
hujan turun, Gilang bertemu dengan seorang gadis menawan bermata biru, berkulit
pucat porselen, dan rambut cokelat keemasan yang ia beri gelar ‘Goldilocks’.
Gilang memang tidak sempat berkenalan dengan gadis itu karena saat hujan
berhenti, gadis itu keburu pergi. Yang ia tinggalkan hanya sebuah payung merah
dan payung itu pun dibawa Gilang pulang untuk dikembalikan ketika bertemu lagi
nanti.
Tempat
kedua yang Gilang sambangi adalah toko buku Dickens and More untuk mencari peta
London karena hari itu ia memutuskan untuk mendatangi tempat kerja Ning di Tate
Modern. Di toko buku tersebut, Gilang berkenalan dengan pemilik toko buku, Mr.
Lowesley yang sering datang ke Madge untuk makan—penginapan tempat Gilang
bernaung selama di London—dan juga Ayu—gadis Indonesia yang terobsesi dengan
novel Wuthering Heights cetakan pertama.
Saat
mengunjungi Tate Modern, Gilang mendapat kabar bahwa Ning berada di Cambridge
untuk mengambil materi pameran dan tidak bisa dipastikan kapan akan balik ke
London. Meski kecewa, Gilang akhirnya meninggalkan pesan dan ia pun melaju ke
Shakespeare’s Globe Theatre untuk mencari hiburan sedikit. Yang tidak disangka,
Gilang kembali bertemu dengan Goldilocks di sana. Juga ketika hari hujan.
Untungnya, Gilang juga membawa payung merah milik gadis itu. Tetapi, ketika Gilang
menawari Goldilocks untuk membelikannya minuman, Goldilocks lagi-lagi
menghilang tepat saat hujan teduh. Dan yang tidak disangka, Gilang justru
bertemu V, kenalannya di pesawat yang merengek untuk meminjam payung merah di
genggaman Gilang. Pada awalnya Gilang menolak karena payung itu memang bukan
miliknya, tetapi V mendesak dan berjanji akan mengembalikannya dalam 15 menit.
Sialnya, setelah satu jam berlalu, V tidak kembali-kembali juga dan Gilang pun
memutuskan untuk pulang. Berniat membelikan payung yang baru sebagai ganti
payung yang hilang tersebut.
Saat
Gilang mendapatkan payung merah yang mirip dengan punya Goldilocks, pemilik
toko memasang harga yang amat tinggi dan akhirnya membuat Gilang urung untuk
menghabiskan uangnya hanya untuk sebuah payung. Syukurnya, Gilang kembali
bertemu V. Pada awalnya Gilang ingin marah, namun V keburu menukas bahwa payung
itu telah menyatukannya kembali dengan istrinya. Ya, tujuannya ke London memang
untuk memperbaiki cintanya yang sempat kandas.
Di
hari ketiga berada di London, Gilang akhirnya bertemu dengan Ning. Meski
waktunya sisa 2 hari, nyatanya tak mudah menyatakan perasaan cinta pada seorang
sahabat. Apalagi jika ia mengingat bahwa Ning pernah menjauhi Jules secara
permanen karena cowok itu menyatakan cinta pada Ning padahal mereka bersahabat.
Di hari-hari terakhirnya, Gilang akhirnya memantapkan niat apalagi jika
terlambat, Ning bisa saja diklaim oleh Finn, seorang seniman yang sempat memaku
Ning dalam kekaguman. Dan setelah ciuman yang dialamatkan Gilang pada Ning pada
suatu malam di Tate Modern, perasaan Gilang pun terungkap sudah. Reaksi Ning
hanya sebuah kebergemingan. Ia bahkan masih mengijinkan Gilang menemaninya
untuk melihat Fitzrovia Lates—sebuah pameran seni. Di sana, Gilang kembali
melihat sebuah sinar lain di mata Ning ketika melihat patung buatan Finn.
Ketika itu pulalah Gilang yakin bahwa Ning memang tidak punya perasaan untuknya
meskipun Ning sudah berkata bahwa ia ingin belajar jatuh cinta pada Gilang.
Namun
Gilang punya pemikiran lain. Payung merah yang selama ini sudah menyatukan V
dan isterinya serta pemilik penginapan Gilang yang dingin—Madam Ellis—dengan
Mr. Lowesley yang memendam perasaan pada wanita itu sekian lama, kini
diserahkan Gilang pada Ning. Jika payung merah itu adalah medium Tuhan untuk
menyatukan dua insan, Gilang sepenuhnya ikhlas.
“Tidak ada yang terenggut. Setiap orang punya
keajaiban cintanya sendiri. Kau hanya belum menemukannya.” Hal. 320
***
Kak
Windry sempat membocorkan bahwa London akan mengandung a lil’ bit fantasy dan
memang, kadar fantasi yang ada di London cukup minim namun punya peranan yang
amat penting dalam cerita. Pada awalnya, saya juga sempat nggak ngeh sama
payung merah yang ditinggalkan Goldilocks. Tetapi setelah membaca beberapa
review London di blog lain, saya baru sadar bahwa payung itu ternyata punya
peran dalam menyatukan cinta. Sebut saja V dan isterinya seperti yang telah
saya singgung di atas. Dan yang paling menarik tentu saja kisah asmara Madam
Ellis dan Mr. Lowesley. Entah kenapa saat membaca bagian mengenai Madam Ellis
yang ketus dan dingin ini, saya jadi teringat sama Profesor McGonagall.
Hahaha... Meski saya yakin harusnya Madam Ellis tidak setua itu.
Tidak
seperti STPC yang lainnya, setting London tidak terlalu banyak dieskpos
namun bukan berarti itu tidak bagus. Beberapa ikon London yang sempat
disinggung adalah London Eye, Sungai Thames, dan Shakespeare’s Globe Theatre.
Selain itu, Kak Windry lebih sering membahas tempat-tempat yang berhubungan
dengan seni—entah itu nyata atau fiktif—karena Ning sendiri diceritakan
merupakan gadis yang amat menggandrungi seni khususnya karya kontemporer abad
20 dan 21. Jika dibandingkan dengan Bangkok atau Roma yang nyaris habis
mengupas semua jengkal tempat di kota masing-masing, London memang tampak minim
tetapi saya justru mereka amat terikat dengan suasana yang ditawarkan khususnya
kepada toko buku Dickens and More (yang kayaknya sih fiktif soalnya sempat
nggak nemu di Google). Well, melihat dari ilustrasinya, Dickens and More
tampak amat menyenangkan. Mengingatkan saya pada Shakespeare and Co. di Paris. Nah,
yang membuat setting London terasa semakin kuat tentu saja adalah
atmosfernya yang selalu dirundung hujan. Ya, hujan. Sebagai kelahiran Desember,
saya tentu saja jatuh cinta dengan hujan. Jika hujan di Indonesia yang lebat
berpetir ampun-ampunan bisa saya bilang magis, apalagi hujan di London yang
lebih bisa dikatakan gerimis. Sayangnya saat membaca London, tak sekalipun
hujan turun di kota Banjarmasin. Seandainya itu terjadi, saya berani bertaruh
kalau London bakal lebih nyaman dinikmati daripada sekarang.
Ya,
mengenai tanggapan saya terhadap novel ini, London adalah novel terlama dari
seri STPC yang dapat saya tamatkan. Windry’s writing style is not my cup of
tea, to be honest. Bukan karena tulisannya jelek, saya berani bertaruh
kalau Kak Windry punya tulisan yang keren karena dua bukunya sempat menjadi
nominasi Khatulistiwa Award, namun hanya saja saya tak bisa terpaut dengan
tulisan dia. Beberapa plot yang ditawarkan memang menarik, for example mengenai
Madam Ellis dan Mr. Lowesley serta Goldilocks. Tetapi selain itu, novel ini
saya bilang punya alur yang lambat. Agak terseret. Yang saya rasa dipengaruhi
oleh gaya menulis Kak Windry.
Mengenai
karakter sendiri, Gilang sebenarnya karakter yang menarik. Kesukaannya pada
sastra membuatnya selalu menjuluki orang-orang yang ia kenal dengan tokoh-tokoh
dari novel seperti Dee dan Dum, Hyde, V for Vendetta, dan lain sebagainya. Ia
juga sempat menyinggung negeri Mordor dan Shire. Tetapi, saya agak kurang
respek sama karakter-karakter yang kurang ‘Indonesiawi’ walaupun jika waktu
yang dipilih adalah zaman modern. Sebut aja mabuk-mabukan itu. Ya, okelah orang
sekarang memang menganggap wine, wiski,dan sebagainya sudah tidak tabu
tetapi tetap saja karakter Gilang terasa kurang Indonesia.
Ning. Satu hal
yang saya penasaran tentang Ning adalah nama panjangnya. Sebenarnya juara lho
ada nama Ning di novel pop modern, mengingat itu bukan nama yang
merepresentasikan manusia-manusia sekarang. See, yang terbersit di benak
saya mengenai nama Ning adalah Ningsih atau Cahyaning. Oke, kita singkirkan
sejenak mengenai persoalan nama. Nah, Ning sendiri dikatakan adalah gadis yang
amat menyukai seni sampai ia ingin mendedikasikan hidupnya bekerja di Tate Modern
yang mana adalah sebuah galeri seni. Sebagai manusia modern, Ning sudah
mewakili semuanya. Tetapi, ya.... tidak ada yang istimewa. Rasa antipatinya
terhadap jatuh cinta pada sahabat sendiri juga masih samar alasannya selain
dengan dalih untuk mencegah keretakan.
Jangan lupakan
pula Goldilocks, si gadis pualam yang datang saat hujan turun dan menghilang
saat hujan berhenti. Sepanjang novel, saya bertanya-tanya siapa sih Goldilocks
ini meskipun sempat kefikiran juga bahwa dia ini piffffffff. Goldilocks inilah
yang membuat saya betah membaca tentang London karena revelation-nya pun
cukup menarik yaitu mengangkat legenda budaya setempat. Tapi lagi-lagi,
karakter Goldilocks masih diawang-awang alias tidak tergambarkan dengan baik
selain gadis berambut keemasan, bermata biru, dan berkulit porselen dengan
pakaian amat feminim (bayangin Dorothy di The Wizard of Oz).
Yang paling
saya suka dari London adalah, eng ing eng...... the ending. Saya sepakat
dengan beberapa review lain bahwa ending London juaraaaaaaa banget.
Nggak nyangka banget meskipun juga agak gantung. Tapi, itu brilliant. Dan
payung merah itu pun tidak terlupakan begitu saja.
Keluhan saya
sih cuma cover. Desainnya sih oke, apalagi atribut mahkota di atas
tulisan London, meskipun kecil, tetapi mumpuni untuk menonjolkan kesan
Inggris-nya. Sayangnya, warna cover kurang banget. Mungkin niatnya ingin
mengesankan bis tingkat atau telephone box tetapi merahnya kurang
menyala, malah kelihatan kusam. Nggak tahu deh ini namanya merah apa. Saya
lihat, warna pembatas bukunya malah lebih menarik dibanding warna cover.
Kesimpulannya, kalau
diibaratkan dengan mesin, London ini panasnya lama. Namun kalau sudah panas,
performa yang ditampilkan cukup memuaskan.
Rating
Cerita: 6,3 of 7
Cover: 6 of 7