Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Kathleen SW.
Jumlah Halaman : 288 hlm.
Genre : Adult Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : Eduard Iwan Mangopang
Tahun : 2001
Harga : Rp. 20.000 (Beli kolpri di tokobagus.)
One word about this book : Eternity
“Kau adalah jawaban untuk semua doa yang
pernah kupanjatkan. Kau adalah sebait lagu, sejumput mimpi, sepenggal bisikan,
dan aku tak mengerti bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu selama ini. Aku
mencintaimu, Allie, melebihi yang bisa kaubayangkan. Aku memang mencintaimu
selama ini, dan selamanya akan selalu mencintaimu.”
Berkat cek hadiah yang diterimanya dari Morris
Goldman—bos perusahaan pengumpul besi bekas tempat ia bekerja dulu—Noah Calhoun
akhirnya bisa membeli sebuah rumah perkebunan yang selama ini
diimpi-impikannya. Rumah perkebunan penuh kenangan di tepi Sungai Brices, New
Bern, tempat di mana Noah ingin menghabiskan hari-harinya dengan melupakan
romansa masa lalu yang terus mengusiknya.
Namun, setelah empat belas tahun berlalu,
sosok cinta pertama Noah kembali muncul di rumah perkebunan itu. Allison
Nelson—atau Allie—perempuan yang pertama kali berhasil membuatnya jatuh hati
ketika bertemu di malam perdana The Neuse River Festival. Secara kebetulan,
Allie yang kini sudah bertunangan dengan seorang pengacara terpandang, Lon
Hammond, membaca artikel yang mengulas rumah Noah dan seketika itu juga ia
memutuskan untuk menemui Noah.
Kedatangan Allie tentu membuat Noah terkejut,
namun apa yang mereka jalani di momen-momen canggung tersebut bukanlah ekspresi
dari luapan-luapan rindu yang selama ini menumpuk. Terlebih, ternyata
surat-surat yang selama ini Noah kirim untuk Allie tak pernah sampai di tangan
gadis itu karena ibu Allie keburu menyitanya. Pun, Allie juga selalu menulis
surat untuk Noah namun tak pernah ia poskan karena ia khawatir Noah tak akan
menanggapinya setelah ia mendengar kabar bahwa Noah sudah mendapatkan pengganti
dirinya. Noah kini menganggap hubungan mereka hanya sebatas sahabat, meskipun
jauh di lubuk hatinya ia masih menjaga apik perasaannya untuk Allie, dan
Allie-pun merasakan hal yang sama. Walau begitu, momen di saat mereka menikmati
dinner kepiting dan juga berkano ke danau angsa sampai berhujan-hujan
adalah hal yang benar-benar mengesankan, dan peristiwa itu tak bisa mereka
nikmati dengan status hanya sebatas sahabat. Sehingga, di malam itu,
perasaan-perasaan yang menumpuk dan tersembunyi itupun akhirnya meletus.
Pengakuan bahwa mereka masih saling dan akan terus mencintai terungkap.
Sayangnya, keesokan harinya mereka kedatangan
tamu tak diundang. Mereka dikejutkan dengan kedatangan ibu Allie yang bukannya
marah-marah atau menyeret anaknya keluar dari rumah Noah, namun justru
memberitahu Allie bahwa tunangannya akan segera datang ke tempat mereka. Ibu
Allie bahkan tidak memaksa Allie untuk pergi karena ia percaya anaknya bisa
memutuskan yang terbaik. Dan walaupun selama ini ia menghalang-halangi hubungan
Allie dan Noah, ia tak sedikitpun membenci lelaki itu. Ia menyukai Noah, sayangnya
Noah tak sederajat dengan Allie dan status sosiallah yang selama ini menentang
hubungan mereka.
Setelah mendapat kabar kalau Lon—tunangan
Allie yang tiga minggu lagi akan resmi menjadi suaminya—akan mengunjungi mereka
dalam beberapa jam atau mungkin menit kemudian, Allie memutuskan untuk
meninggalkan Noah meskipun ia sadar hatinya tak rela. Namun ternyata,
perpisahan itu hanyalah awal dari kebersamaan mereka karena Allie justru ingin
mengakhiri hubungannya dengan Lon. Dan di tahun-tahun berikutnya, Allie dan
Noah sukses menjemput mimpi mereka untuk bersatu dalam biduk rumah tangga.
Tetapi, setelah empat puluh lima tahun
menikah, Noah harus menghadapi kenyataan pahit karena Allie tak lagi sama. Dan
kebersamaan mereka dulu kini dikenang lewat buku harian yang Noah bacakan untuk
Allie di hari tua mereka.
Baru kusadari waktu itu, bahwa senja hanyalah
ilusi semata, karena matahari pasti berada di atas garis cakrawala atau di
bawahnya. Dan itu berarti siang dan malam memiliki pertalian yang jarang ada
pada hal-hal lainnya; yang satu tak mungkin ada tanpa yang lain, namun mereka
tak dapat muncul pada saat bersamaan. Aku ingin mempertanyakan, seperti apa rasanya
untuk selalu bersama, namun selamanya berpisah?
***
Demi
melengkapi review-review tentang novel Om Nico (walaupun saya cuma enam judul),
akhirnya saya memutuskan untuk kembali membaca The Notebook yang sudah saya
tamatkan sejak kapan tahu itu. Untuk sebuah novel debut, The Notebook
benar-benar menggambarkan gaya dan ciri khas tulisan Om Nico. Tokoh utama
laki-laki yang lebih sering diekspos, deskripsi yang panjang dan
berlarut-larut, surat-surat, setting cerita yang selalu mengambil daerah
Carolina Utara, juga plot yang melankolis. Dari kelima faktor itu, deskripsi
yang panjang dan berlarut-larut itulah yang membuat saya agak lelah dalam
menuntaskan novel ini. Apalagi waktu saya membacanya pertama kali, novel ini
bahkan hanya dibaca beberapa lembar dalam seminggu dan ditamatkan
berbulan-bulan lamanya. Tetapi kali ini, untungnya saya sudah mulai kebal
dengan ciri khas Om Nico satu ini, karena itu saya mampu menuntaskan The
Notebook untuk yang kedua kalinya hanya dalam waktu satu hari.
Berbicara
tentang tulisan, sudah tak diragukan lagi, Om Nico adalah perangkai kata-kata
yang benar-benar mumpuni. Kalimat-kalimatnya terjalin amat indah meskipun
plotnya begitu familiar terutama jika kita penikmat sinetron Indonesia
(hubungan cinta yang tak direstui karena perbedaan status sosial). Namun berkat
jari-jari ajaib dan ide yang luar biasa cemerlang, Om Nico mampu mengubah plot
pasaran itu menjadi sesuatu yang berkelas, elegan, dan tentu saja amat
menyentuh. Hampir tak ada novel Om Nico (yang pernah saya baca) yang tak
membuat hati pembacanya gerimis.
The Notebook Original Cover |
Mengenai
karakter, Noah Calhoun tentulah menjadi tokoh pamungkas di novel ini. seorang
lelaki 31 tahun—ketika romansa masa mudanya yang mendominasi plot di buku ini
bergulir—yang harus berpisah dengan orang yang ia cintai selama 14 tahun, namun
ia tak pernah terlihat begitu patah semangat. Ia seorang sosok yang tegar dan
kuat, bahkan saat Allie muncul di hadapannya. Noah juga adalah seseorang yang
romantis—dipengaruhi oleh kegemarannya dengan puisi. Tetapi tetap saja ada sisi
sentimentil di dalam dirinya yang keluar ketika Allie memutuskan untuk
meninggalkannya atau saat kenyataan pahit di hari tua itu menghampirinya. Ya,
sosok Noah Calhoun begitu mengingatkan saya dengan karakter John di novel Dear
John. Selain itu, ada satu lagi karakter yang amat berkesan di novel ini,
yaitu ibunya Allie. Bagaimana tidak, ketika ibunya Allie datang ke rumah Noah
setelah tahu anaknya di sana, alih-alih marah-marah seperti yang seharusnya, ia
malah hanya ingin memberitahu Allie bahwa tunangannya juga tengah ke sana dan
tidak memaksa Allie untuk pergi secepatnya dari sana.
Sulit
memang membayangkan Om Nico tanpa kisah-kisah sedih dan ending yang sulit
ditentukan, apakah happy atau sad ending. Terlepas dari itu semua, di tengah banyaknya novel romantis yang
bercerita dari sudut pandang wanita, Om Nico memilih untuk berbeda karena di
tiga novelnya (The Notebook, A
Walk to Remember, Dear John), Om
Nico benar-benar sukses membawa pembaca laki-laki untuk ikut terhanyut dan
merasakan sisi lain dari rasa bernama cinta.
Favorite quote : orang bisa terbiasa akan
apapun kalau diberi cukup waktu.
Rating
Cerita : 6,8 of 7.
Terjemahan : 6,5 of
7
Cover Terjemahan :
6 of 7
Cover Asli : 7 of 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar