Pages

Sabtu, 22 Februari 2014

Review Novel : Nights in Rodanthe, Nicholas Sparks



Judul : Nights in Rodanthe
Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Marina Suksmono
Jumlah Halaman : 308 hal.
Genre : Adult Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : Dina Chandra
Tahun : 2006
Harga : Rp. 30.000 (Beli di Facebook OL-Shop : Raja Buku)
One word about this book : Fixing

Sudah berbulan-bulan sejak saya mereview novel ‘A Walk to Remember’, blog ini benar-benar nggak pernah diupdate lagi. Bukannya saya berhenti buat baca, cuma belakangan, beberapa buku yang saya baca nggak pernah ada yang nyantol banget di hati yang membuat saya tergerak untuk menuliskan reviewnya. Untunglah, di suatu hari di musim hujan ketika saya mendadak terserang virus HIV (baca: Hasrat Ingin Vaca, kwkwkwk), dan saya mulai mengubek-ubek berbagai toko online untuk mencari buku bacaan yang murah meriah, ketemulah dua novel Nicholas Sparks yang kebetulan belum tersedia di rak buku saya. Okelah, tanpa berpanjang-lebar lagi, inilah review Nights in Rodanthe versi saya.
***
Di usianya yang hampir memasuki kepala enam, momen-momen itu masih tak bisa lekang dari ingatan seorang wanita beranak tiga, Adrienne Willis. Selain dirinya, kenangan 14 tahun yang lalu itu hanya diketahui oleh sang ayah; yang tentu saja menjadi pendengar yang amat baik karena ia tengah menderita stroke. Namun, di saat anak keduanya tengah mengalami depresi karena ditinggal mati suaminya akibat kanker testis, Adrienne merasa, itulah saatnya kenangan tersebut harus kembali ia gali. Bukan untuk berbagi kebahagiaan juga luka, tetapi semata-mata untuk membantu putrinya agar bisa terus melanjutkan hidup.
Empat belas tahun yang lalu, tepatnya ketika usia Adrienne baru 45 tahun, ia harus mereguk sisi pahit dari kehidupan rumah tangga dengan menerima kenyataan bahwa suaminya meninggalkannya untuk perempuan yang lebih muda. Selepas bercerai, Adrienne yang masih dibayang-bayangi kehancuran rumah tangganya, memutuskan untuk menerima tawaran seorang teman—Jean—yang memintanya untuk menjaga penginapannya di pesisir daerah Rodanthe.
Keinginan Adrienne untuk menenangkan diri sembari menjaga The Inn ternyata tak direstui karena kedatangannya kesana bertepatan dengan datangnya badai. Momentum itu juga menyebabkan nyaris tak ada satupun pengunjung yang datang ke penginapannya, kecuali seorang pria yang sudah hidup di dunia lebih dari separuh abad bernama Paul Flanner. Paul sendiri adalah seorang dokter yang datang ke Rodanthe untuk menemui seseorang yang berhubungan dengan tuduhan kasus mal-praktik yang dilakukannya. Namun, Rodanthe hanyalah persinggahannya karena ia mempunyai misi yang lebih penting. Memperbaiki kehidupannya yang hancur karena egoismenya di masa lalu.
Pertemuan Adrienne dan Paul yang memiliki masalah serupa—kehancuran rumah tangga—tentu menjadi sesuatu yang berkesan buat mereka berdua. Apalagi ketika mereka harus terjebak berduaan di The Inn—di tengah badai yang mengepung mereka. Romantisme-pun mulai bergulir perlahan. Dimulai dari saling cerita kehidupan masing-masing sampai akhirnya kesamaan jalan hidup itu menyatukan mereka dalam satu ikatan bernama cinta. Sayangnya, kisah cinta mereka di Rodanthe tak bisa berlangsung lama karena selepas menuntaskan masalahnya di sana, Paul harus meneruskan perjalanannya ke Ekuador, menemui sang putra, Mark Flanner, yang menjadi penyebab rasa penyesalan yang selama ini membuatnya merasa sebagai ayah yang jahat.
Jarak yang terlampau jauh nyatanya tak mampu membuat hati mereka ikut berjarak. Adrienne dan Paul masih sering berhubungan baik lewat surat maupun telepon.
            Adrienne selalu teringat Paul pada saat-saat seperti itu, tapi bayangan Paul paling nyata ketika dia melihat mobil pos muncul di ujung jalan, berhenti dan jalan lagi saat membagikan surat di sepanjang jalan.
Sampai suatu hari, Adrienne kembali mendapat surat dari Ekuador, namun kali ini surat tersebut berasal dari Mark Flanner, putera Paul, yang mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia ketika menyelamatkannya dari kecelakaan.
Sampai di sana, cerita Adrienne berakhir. Yang ingin ia bagi dari cerita tersebut kepada puterinya, Amanda, bukanlah mengenai betapa perihnya ketika ditinggalkan orang yang dikasihi namun betapa pentingnya mencurahkan kasih sayang kepada keluarga yang tersisa sebelum semuanya terlambat.
            Itu sebabnya aku menceritakan semua ini padamu dari awal. Bukan hanya karena aku pernah mengalami apa yang kaualami sekarang, tapi karena aku ingin kau mengerti betapa pentingnya hubungan Paul dengan putranya. Betapa penting artinya bagi Mark. Semua itu luka-luka yang sulit disembuhkan, dan aku tak ingin kau mendapat lebih banyak luka dari yang sudah ada sekarang.”
“..... Tapi seandainya Brent ada di sini, dia pasti akan bilang agar kau memusatkan perhatianmu pada anak-anakmu, bukan pada kematiannya. Dia ingin kau mengingat saat-saat yang indah. Di atas semuanya, dia juga ingin tahu bahwa kau akan baik-baik aja.”
***
            Seperti kebanyakan novel Nicholas Sparks lainnya, di dalam novel ini juga terdapat hal-hal yang amat identik dengan penulis satu ini : plot di daerah pesisir, hubungan antara anak dan orang tua tunggal (kebanyakan ayah), kematian atau menderita suatu penyakit, dan tentu saja surat-surat. Mengingatkan saya pada Habiburahman El-Shirazy yang juga mempunyai identitas tertentu baik dari segi tema, ending, atau pernak-pernik lainnya di dalam novelnya. Namun, hal ini sama sekali tak membuat saya bosan dengan Om Nico (sok akrab banget!).
            Kesukaan saya pada cerita-cerita yang bersetting di pinggiran laut (tetapi nggak buat FTV yang syutingnya selalu di Bali itu, hehehe), membuat saya dengan mudah menambatkan rasa cinta pada novel ini. Apalagi penggambaran persiapan sebelum badai melanda yang digarap begitu detil benar-benar membuat saya terasa hanyut dalam momen-momen tersebut. Selain itu, hubungan antara anak dan orang tua (dalam novel ini antara Adrienne dan ayahnya yang menderita stroke, juga keretakan hubungan Paul dan anaknya) selalu berhasil membuat saya terenyuh, bahkan menitikkan air mata. Dan juga, walaupun ide tentang kematian kekasih hati telah diangkat berjuta-juta kali dalam novel maupun film, dan Om Nico juga nggak sekali ini mengambil ide tersebut untuk novel-novelnya, namun kisah berbumbu kehilangan ini tetap saja nikmat. Terutama karena gaya bahasa Om Nico (yang walaupun terkenal dengan penjabaran sepanjang Sungai Nil) yang amat indah dan membuai.
            But, tentu saja, lagi-lagi surat-surat untuk Paul kepada Adrienne adalah part terbaik dari novel ini. Surat-surat buatan Om Nico selalu penuh makna dan romantis (referensi lain Message in the Bottle dan Dear John).
Nights in Rodanthe Original Cover
            Begitu banyak yang kuharapkan hari-hari ini, tapi yang terutama, aku berharap seandainya kau berada di sini. Sungguh aneh, tapi sebelum aku mengenalmu, aku tak ingat kapan terakhir kalinya aku menangis. Sekarang, sepertinya air mata begitu mudah datang... tapi kau punya cara yang bisa membuat kesedihanku menjadi bermanfaat, dan menjelaskan segala hal sedemikian rupa sehingga mengurangi kepedihanku. Kau hadiah yang begitu berharga, dan saat kita bersama lagi, aku akan memelukmu hingga lenganku lemah dan tak sanggup memelukmu lagi. Kadang-kadang, ingatan akan dirimu adalah satu-satunya yang membuatku terus bertahan.
Dan, baiklah, saatnya review yang begitu panjang ini diakhiri. Untuk penikmat novel remaja, saya nggak merekomendasikan novel ini untuk dibaca karena saya sendiri masih bingung bagaimana saya bisa menikmati kisah cinta orang tuwir (secara harafiah) yang usianya masing-masing 45 dan 54 tahun? Namun, jika tetap ingin membaca, maka bersiap-siaplah untuk bermelankolis ria sepanjang malam.
Cao!

Rating
Cerita : 6,8 of 7.
Terjemahan : 6 of 7
Cover Terjemahan : 4 of 7
Cover Asli : 6 of 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Images by Freepik