Pages

Kamis, 30 Juli 2015

Review Novel: Interlude by Windry Ramadhina




Judul : Interlude
Penulis : Windry Ramadhina
Jumlah Halaman : viii + 372 hlm.
Genre : New Adult Romance
Penerbit : GagasMedia
Cover Designer : Levina Lesmana
Tahun : 2014 (Cet. 1)
Harga : pinjam di perpusda
ISBN : 978-979-780-722-1
Rating di Goodreads :  3.90 stars of  590 ratings
First Sentence : Air merintik deras dari pancuran di langit-langit.
Final Sentence : “Selamanya.”

“Kalau begitu, biar aku jadi lautmu.” Tangan Kai terulur untuk Hanna. “Aku akan membantumu meluruhkan semua cela itu.” Hal. 195

Hidup Hanna jungkir balik sejak orang yang ia percaya sebagai tempat menambatkan hatinya memerkosanya. Selama setahun, ia menghindar dari segala hiruk-pikuk dunia, menenggelamkan diri dalam trauma yang tak dapat disembuhkan. Terapis adalah satu-satunya orang luar yang ia biarkan untuk masuk dalam hari-harinya saat itu. Namun, setelah setahun berlalu, Hanna pun kembali ke dunia luar dengan melanjutkan kuliahnya yang tertunda karena cuti terminal. Walau begitu, ia tetap saja tak beranjak dari perasaan traumatis dan membuatnya menjadi sosok yang amat tertutup dan sangat antipati terhadap lelaki, sampai akhirnya garis hidupnya disinggungkan dengan garis hidup seorang player bernama Kai.
Pertemuan Hanna dan Kai dimulai ketika terapis Hanna menyadari adanya dentingan suara gitar yang terekam alat perekam Hanna. Ya, gadis itu memang suka merekam suara apa aja di sekitarnya karena hanya dengan itu ia merasa tidak kesepian. Hanna begitu terbuai dengan alunan suara gitar tersebut, sampai akhirnya ia benar-benar bertemu dengan pemilik tangan pemetik senar gitar yang sedang mendendangkan lagu yang sama di atap apartemen Hanna. Mereka bersitatap beberapa saat sampai akhirnya dipisahkan oleh teman si pemetik gitar.
Pertemuan Hanna dan Kai kembali terjadi ketika mereka berada di bus yang sama. Kai yang tertarik pada Hanna langsung mengambil tempat di sebelah Hanna, dan itu membuat Hanna benar-benar gelisah. Sampai-sampai ia tidak dapat menghindar ketika sebuah batu melayang ke arahnya saat bus tersebut terjebak di tengah-tengah tawuran. Kai yang melihat Hanna terluka refleks melompat keluar dari bus dan menghajar orang yang melayangkan batu ke arah Hanna.
Interaksi antar mereka pun semakin intens sejak saat itu meskipun Hanna sempat diperingatkan Gitta, rekan Kai di band One Day Charm yang juga merupakan tetangga Hanna di apartemen, kalau ia sebaiknya menjauhi Kai karena cowok itu bukanlah cowok baik-baik. Namun Hanna tampaknya terbuai dengan Kai sampai akhirnya, di apartemen Hanna, Kai melakukan sesuatu kepada Hanna yang sejelas kristal mengingatkan Hanna akan traumanya. Kai yang tidak pernah gagal mendapatkan apa yang ia mau dari seorang cewek jelas merasa tersinggung dengan sikap defensif Hanna. Ia pun langsung meninggalkan Hanna, sementara Hanna kembali ke kehidupannya yang kelabu karena perilaku Kai.
Hanna yang mendadak meninggalkan apartemen dan absen dari kuliah menimbulkan kecurigaan Gitta bahwa gadis itu kembali mengalami kejadian buruk. Saat ia tahu bahwa Kai memperlakukan Hanna seperti yang cowok itu lakukan pada cewek-cewek lainnya, Gitta pun akhirnya membongkar kenapa Hanna berbeda dari gadis lainnya. Kai, entah kenapa, benar-benar merasa bersalah dan tak pantang menyerah mengejar maaf dari Hanna, si gadis dari Ipanema. Meski Kai, si pria yang meminjam nama laut, hampir saja membuat Hanna berfikir bahwa tak ada pria baik-baik di dunia ini, namun gadis itu tahu bagaimana ia harus bersikap.
***
            FYI, INTERLUDE adalah novel yang tak pernah masuk dalam daftar book to read saya. Saya sama sekali tidak tertarik dengan novel ini bahkan setelah saya membaca beberapa review yang memuji novel ini. Jujur, Windry Ramadhina bukanlah penulis favorit saya, bahkan saya tak pernah berminat untuk membaca buah tulisannya kecuali jika bukunya termasuk dalam sebuah seri seperti London di serial STPC. Predikatnya sebagai salah seorang penulis yang karyanya sempat masuk nominasi Khatulistiwa Literary Awards tentu membuat nama Windry Ramadhina tak bisa dipandang sebelah mata. Itu pulalah yang pada awalnya membuat saya penasaran dan tertarik untuk mengulik karyanya. Kendati demikian, Orange dan Memori (yang belum selesai saya baca) ternyata tak membuat saya tercengang, cenderung mengerutkan kening malah karena nampaknya ekspektasi saya terhadap Windry berlebihan. Ditambah lagi London yang juga tampil secara mediocre. Tetapi, entah kenapa saat itu, di antara sekian banyak buku Gagasmedia yang ada di perpustakaan di daerah saya (asal tahu saja, tampaknya Gagas punya aliansi dengan perpust daerah saya karena hampir semua novel Gagas tersedia di sini), saya malah memilih Interlude. Dan saya rasa, itu adalah pembuka mata saya bahwa Windry Ramadhina memang layak menyandang predikat penulis yang berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Awards, sementara saya mungkin hanya khilaf dan mengalami bad mood parah saat membaca Orange dan Memori dulu karena Interlude berhasil membuai saya dari kalimat pertama dan membuat saya berdecak puas di kalimat terakhir.
            Seingat saya, tak pernah ada novel yang berhasil membuat saya terpukau sejak di kalimat pertama, bahkan novel-novel Nicholas Sparks yang saya berikan penilaian sempurna. Namun, Interlude berhasil menjadi novel perdana yang menghadirkan hal tersebut sepanjang sejarah saya membaca buku. Kak Windry tidak membuat kalimat dengan diksi yang rumit, juga dengan kompleksitas berbelit-belit untuk mendeskripsikan bagaimana peristiwa memilukan yang tengah Hanna alami saat itu yang pas sekali disandingkan dengan rintik hujan. Atmosfer dark tersebut dengan suksesnya disalurkan kepada pembaca karena saya juga mendadak merasa muram, yang juga sempat saya rasakan saat selesai membaca Forgiven-nya Morra Quatro. Kesimpulannya, banyak memang bab pembuka yang berhasil membuat saya terus melanjutkan membaca novel sampai ending, namun hanya INTERLUDE yang mampu melakukan hal tersebut sejak di kalimat pertama.
            Mengenai penulisan, saya mungkin idiot karena saya baru sadar kalau Kak Windry punya tulisan yang rapi. Bukan, saya tidak membicarakan tulisan tangan tapi bagaimana Kak Windry memilih kata dan merangkai kalimat hingga menjadi paragraf, dan bagaimana Kak Windry mengaitkan antar paragraf dengan tepat. Saya fikir, tak ada kalimat, bahkan kata, yang sia-sia di novel ini. Semuanya seolah mendukung kesempurnaan yang dihadirkan INTERLUDE. Semua hal difikirkan matang-matang dan Kak Windry tahu apa yang benar-benar harus ia tulis dan apa yang hanya menjadi aksesoris belaka sehingga tanpa hal itupun INTERLUDE tetap melenggak sempurna bak seorang model kelas kakap di catwalk. Side story yang ia sisipkan terhadap Gitta, Ian, dan Jun-pun terasa amat menyatu dengan plot utama, tanpa hadir semata-mata sebagai distractor atau intermezzo di tengah konflik Kai dan Hanna.
            Mengenai karakter, saya biasanya agak gerah sama tipe bad boy yang dipasangkan dengan gadis baik-baik karena saya cenderung berada di sisi yang memegang teguh istilah cewek baik-baik akan mendapatkan cowok baik-baik, begitupun sebaliknya. Namun entah kenapa sosok Kai tidak membuat saya protes, bahkan saya mendukung hubungannya dengan Hanna. Hanya saja, saya masih ragu, adakah bastard boy nan bengal seperti Kai yang mempunyai kemampuan akademik luar biasa bahkan bisa memperoleh IP sempurna 6 semester berturut-turut karena sepengalaman saya, bad boy atau bad girl jarang yang punya prestasi akademik bagus. Orang-orang berotak encer yang saya kenal, dari zaman SD sampai sekarang, juga punya attitude yang baik karena mereka mampu mengendalikan sisi emosional mereka. Adapun politikus yang tergolong snollygoster adalah mereka yang mendapatkan nilai akademik bagus dengan penuh kecurangan. Ah, malah jadi melantur kemana-mana. Oh ya, di blog-nya, Kak Windry sempat membuat sketsa empat karakter utama di INTERLUDE beserta catatan what and how they look like meskipun pada kenyataannya, ada beberapa dari catatan tersebut yang akhirnya dieliminasi karena tidak digambarkan di INTERLUDE itu sendiri.
            Sudah dapat dibaca dari review saya yang penuh puji puja, jelas saya akan memberikan nilai sempurna untuk novel ini, dan dengan ini saya juga menasbihkan diri untuk menjadi fans Kak Windry Ramadhina yang artinya, saya akan mengoleksi dan membaca semua novel-novel yang Kak Windry tulis. Hari ini, saya sudah beli Walking after You yang jika didasarkan atas rating di Goodreads adalah novel terbaik Kak Windry. Cannot wait to read it for any longer.
Sebagai tambahan, INTERLUDE ini mengusung genre baru yang disebut New Adult Romance yang karakteristiknya juga pernah saya temui saat membaca Hujan dan Teduh karya Wulan Dewatra. For further information, mungkin bisa dibaca di Goodreads atau sumber lainnya di internet. Wassalam.


RATING

CERITA : 7 of 7
COVER : 7 of 7
 
Sketsa Hanna buatan Kak Windry

Sketsa Kai

Sketsa Gitta

Sketsa Jun






3 komentar:

 
Images by Freepik