Penulis : Eka
Kurniawan
Jumlah Halaman
: 246
Genre : Sastra
Indonesia, Adult Fiction, Satire Fiction
Penerbit :
Gramedia
Cover Designer
: Eka Kurniawan
Tahun : 2014
Harga : 66.500
(Gramedia Veteran Banjarmasin)
ISBN : 978-602-03-0393-2
Rating di
Goodreads :4.03 of 23 reviews
One word about
this book : Bird
“Syarat pernikahan hanya ada lima. Paling
tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari corong di masjid. Satu, ada kedua
mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada penghulu. Empat, ada ijab kabul.
Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar pernikahan mensyaratkan burung yang
berdiri,” (hal. 91)
Setiap manusia pasti diberi ujian sebagai
indikator ketaatannya pada pencipta, namun ujian yang diterima Ajo Kawir sangat
eksklusif. Kemaluannya tak bisa bangkit, dengan cara apapun. Di masa pubernya,
Ajo Kawir dan sahabat baiknya, Si Tokek, bertingkah layaknya remaja biasanya
yang sedang berada di puncak hormon testosteron. Telinga mereka akan langsung
berdiri, pun bagian lain dari tubuh mereka, jika mendengar hal-hal yang
menyangkut anatomi tubuh perempuan. Sampai suatu hari, Si Tokek dengan antusias
sekaligus misterius memberitahu Ajo Kawir bahwa ada pemandangan yang sangat
indah yang tak boleh ia lewatkan.
Rona Merah. Perempuan gila yang ditinggal
suaminya mati secara mengenaskan. Rona Merah tak pernah mau beranjak dari
rumahnya, mungkin meratapi kematian suaminya di sana. Dan kesanalah Si Tokek
mengajak Ajo Kawir. Tepatnya, untuk mengintip aksi pemerkosaan dua oknum polisi
terhadap Rona Merah. Malangnya, Ajo Kawir kepergok sementara Si Tokek sempat
kabur. Ajo Kawir pun dipaksa polisi tersebut masuk, untuk menyaksikan secara
langsung adegan pemerkosaan Rona Merah. Dan setelah kedua polisi selesai
menggagahi si perempuan gila, polisi itu kemudian menyuruh Ajo Kawir untuk ikut
memerkosa Rona Merah dengan ancaman moncong pistol yang diarahkan kepadanya
jika Ajo Kawir menolak. Saking ketakutannya, kemaluan Ajo Kawir malah lunglai
dan akhirnya terlelap dalam tidur yang teramat panjang.
Memiliki ‘kenjantanan’ yang tak bisa beraksi
merupakan aib yang luar biasa memalukan bagi Ajo Kawir. Berbagai cara telah ia
coba untuk membangunkan si adek. Cabai, lebah sudah bertindak untuk membuat si
adek terjaga, namun yang didapat Ajo Kawir hanya penderitaan berkepanjangan dan
si adek tetap menutup mata dengan damai.
Bertahun-tahun berlalu, Ajo Kawir tetap
memelihara burung yang tengah terlelap. Di saat-saat frustasi, Ajo Kawir
melampiaskan emosinya dengan memukul orang, entah siapa. Dan ketika ia memiliki
target baru untuk dijadikan samsak, momen tersebut justru mempertemukan Ajo
Kawir dengan belahan hatinya. Iteung. Perempuan jagoan yang sempat mengalahkan
Ajo Kawir dalam adu tangkas sekaligus mengalahkan hati Ajo Kawir yang kukuh tak
ingin berhubungan dengan perempuan akibat ujian monoton yang dideritanya. Pada
awalnya, Ajo Kawir memang menolak Iteung ketika perempuan itu meminta Ajo Kawir
untuk menjadikannya kekasih. Ajo Kawir bahkan sampai melarikan diri. Tetapi
ketika Iteung tahu alasan Ajo Kawir tak ingin menjalin asmara dengannya dan
Iteung sama sekali tak mempermasalahkan kemaluan Ajo Kawir yang tak bisa
berdiri, Ajo kawir pun akhirnya luluh.
Rumah tangga Ajo Kawir dan Iteung berjalan
lancar pada awalnya karena meskipun Ajo Kawir tidak mempunyai senjata yang bisa
ereksi, tetapi ia masih mempunyai jari-jari yang membuat Iteung sangat puas
dengan pelayanannya. Namun, prahara datang ketika Iteung dinyatakan positif
hamil. Ajo Kawir yang tahu bahwa janin itu tidak mungkin darah dagingnya
langsung emosi dan melampiaskannya dengan membunuh Si Macan—si ayam jago yang
kehilangan taji. Perbuatan itu membuat Ajo Kawir mendekam di jeruji besi. Di
sana, Ajo Kawir belajar kehidupan yang baru. Pelajaran hidup yang diperoleh
dari sang burung yang tengah tertidur. Ya. Kini Ajo Kawir belajar berdamai
dengan keadaan. Belajar berdamai dengan emosinya yang rentan meledak. Belajar
berdamai dengan sifat temparementalnya. Belajar berdamai sedamai burungnya yang
layu, tenang, tak terusik. Ajo Kawir menempuh jalan sunyi.
Sebebasnya dari bui, Ajo Kawir membeli sebuah
truk dan memilih untuk menjadi supir truk. Ia ditemani seorang remaja tanggung,
Mono Ompong, dan belakangan hari, mereka berdua mendapat tambahan seorang
perempuan penyusup berparas jelek dan bertubuh tidak menarik bernama Jelita.
Anehnya, setelah penantian yang amat panjang, burung Ajo Kawir akhirnya bisa
membuka mata, berdiri tegak menantang. Kejadian burung yang bangkit dari mati
suri itu memang hanya dialami Ajo Kawir dalam mimpi basah bersama Jelita pada
awalnya. Tetapi saat mereka bercinta di dunia nyata, keajaiban itu tetap
berlanjut. Dan ketika Ajo Kawir ingin memastikan hal tersebut untuk yang kedua
kalinya, Jelita malah lenyap tak berbekas.
Yakin bahwa asetnya sudah kembali bekerja, Ajo
Kawir pun memutuskan untuk kembali ke pangkuan isteri dan anaknya. Sayangnya,
baru saja Iteung bebas dari penjara setelah membunuh Budi Baik (laki-laki yang
pernah bercinta dengan Iteung sebelum ia bertemu Ajo Kawir), Iteung kembali
harus menghabiskan tahun-tahunnya di dalam hotel prodeo setelah ia menghabisi
nyawa kedua polisi pemerkosa si perempuan gila Rona Merah, yang juga pelaku
utama terbuainya burung Ajo Kawir dalam tidur yang nyenyak.
***
Kalau
pada protes setelah baca sinopsis versi saya di atas akibat beberapa kata yang
nyerempet-nyerempet gitu, prepare yourself to nyumpah-nyumpah deh karena
isi novel ini lebih vulgar baik dalam pemilihan diksi (prokem untuk merujuk
alat kelamin, deskripsi tentang make out yang aduhai, sampai
umpatan-umpatan kasarnya yang khas). Ya, seperti peringatan yang ternyata baru
saya lihat setelah membuka plastik buku ini, Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas memang hanya diperuntukkan untuk para pembaca yang berusia
di atas 21.
Speaking
of plot, cerita ini sebenarnya punya premis yang teramat sederhana. Tentang
laki-laki yang frustasi gara-gara burungnya nggak mau bangun. See? Tetapi
ceritanya bakal kemana-mana dengan alur acak yang sebenarnya tidak
membingungkan sama sekali, hanya saja agak menyebalkan karena ceritanya
terkesan dipotong-potong. Timeline-nya sama sekali tidak beraturan.
Kadang maju, mundur, semakin mundur, maju lagi, pokoknya seperti itu lah! Pada
awalnya saya sempat desperate juga sama cerita dengan gaya seperti ini,
namun ternyata eh ternyata, alur acak seperti ini justru menyingkap peristiwa
sedikit demi sedikit dan akhirnya baru ketahuan di ending. Cukup lega sih
karena pemilihan random plot-nya terkesan tidak sia-sia belaka.
Membaca
karya Mas Eka yang satu ini sebenarnya membuat saya bertanya-tanya, apanya yang
bagus sih sampai si penulis ini dianggap sebagai penulis top di Indonesia yang
karyanya sudah diterjemahkan di luar negeri? Well, saya memang cuma
penikmat buku sekaligus reviewer amatir, tetapi serius deh, gaya bahasa Mas
Eka ini malah saya bilang terlalu biasa. Kalimatnya simpel. Pendek. Straight
forward. Tidak baca deskripsi macam-macam. Dan terbukti, dengan gaya
tulisan seperti ini, saya malah cepat bosan. Untungnya, cerita setelah Ajo
Kawir membunuh Si Macan sukses menjadi mood booster yang ampuh, especially
adegan kejar-kejaran truknya yang bikin deg-degan. Apalagi waktu baca
adegan ini, saya lagi dalam bus yang sopirnya juga ugal-ugalan banget nyetir,
bikin tambah deg-deg ser.
Ide cerita udah keren. Penggarapannya lumayan.
Namun ada satu yang sangat saya sayangkan dari novel ini. Kemunculan beberapa
tokoh yang seolah hanya tempelan karena nggak ngaruh sama sekali sama topik
utamanya (I talk about Si Bocah). Pun, ending-nya juga sangat
dipaksakan. Tiba-tiba saja ‘peliharaan’ Ojo Kawir langsung siuman dari tidur
panjangnya setelah bercinta dengan Jelita. Dan setelah itu, tidak ada
pembahasan lagi kenapa hal itu bisa terjadi dan siapa sih Jelita yang kayak
jelangkung itu, datang tak dijemput pulang tak diantar?
Sisi
terbaik, sekaligus yang paling unik dari novel ini adalah sampul novel dan
judulnya. Kalau dilihat dari sampulnya yang unyu, pasti tidak akan pernah
menyangka bahwa ceritanya bakal segila ini. Iya sih di cover-nya ada
profil burung yang sedang tertidur, tapi come on, itu burungnya
warna-warni dan sama sekali tidak bisa disangkut-pautkan dengan burung yang
dimaksud dalam buku ini. Hehhe... Mengenai judulnya, keren banget sih meskipun
tetep nggak ngeh dimana letak kesinambungannya antara cerita dengan
judul selain masalah truk-truk ini.
Well,
saya benar-benar setuju kalau Eka Kurniawan bukanlah penulis konvensional!
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan
biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur
kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku
selama bertahun-tahun ini.” hal. 126
Rating : 6 of 7
Cover : 6,5 of 7
nulis reviewnya kok spoiler gitu ya mas.
BalasHapus