Pages

Senin, 21 Juli 2014

Review Novel : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka Kurniawan



Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Jumlah Halaman : 246
Genre : Sastra Indonesia, Adult Fiction, Satire Fiction
Penerbit : Gramedia
Cover Designer : Eka Kurniawan
Tahun : 2014
Harga : 66.500 (Gramedia Veteran Banjarmasin)
ISBN : 978-602-03-0393-2
Rating di Goodreads :4.03 of 23 reviews
One word about this book : Bird

“Syarat pernikahan hanya ada lima. Paling tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari corong di masjid. Satu, ada kedua mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada penghulu. Empat, ada ijab kabul. Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar pernikahan mensyaratkan burung yang berdiri,” (hal. 91)
Setiap manusia pasti diberi ujian sebagai indikator ketaatannya pada pencipta, namun ujian yang diterima Ajo Kawir sangat eksklusif. Kemaluannya tak bisa bangkit, dengan cara apapun. Di masa pubernya, Ajo Kawir dan sahabat baiknya, Si Tokek, bertingkah layaknya remaja biasanya yang sedang berada di puncak hormon testosteron. Telinga mereka akan langsung berdiri, pun bagian lain dari tubuh mereka, jika mendengar hal-hal yang menyangkut anatomi tubuh perempuan. Sampai suatu hari, Si Tokek dengan antusias sekaligus misterius memberitahu Ajo Kawir bahwa ada pemandangan yang sangat indah yang tak boleh ia lewatkan.
Rona Merah. Perempuan gila yang ditinggal suaminya mati secara mengenaskan. Rona Merah tak pernah mau beranjak dari rumahnya, mungkin meratapi kematian suaminya di sana. Dan kesanalah Si Tokek mengajak Ajo Kawir. Tepatnya, untuk mengintip aksi pemerkosaan dua oknum polisi terhadap Rona Merah. Malangnya, Ajo Kawir kepergok sementara Si Tokek sempat kabur. Ajo Kawir pun dipaksa polisi tersebut masuk, untuk menyaksikan secara langsung adegan pemerkosaan Rona Merah. Dan setelah kedua polisi selesai menggagahi si perempuan gila, polisi itu kemudian menyuruh Ajo Kawir untuk ikut memerkosa Rona Merah dengan ancaman moncong pistol yang diarahkan kepadanya jika Ajo Kawir menolak. Saking ketakutannya, kemaluan Ajo Kawir malah lunglai dan akhirnya terlelap dalam tidur yang teramat panjang.
Memiliki ‘kenjantanan’ yang tak bisa beraksi merupakan aib yang luar biasa memalukan bagi Ajo Kawir. Berbagai cara telah ia coba untuk membangunkan si adek. Cabai, lebah sudah bertindak untuk membuat si adek terjaga, namun yang didapat Ajo Kawir hanya penderitaan berkepanjangan dan si adek tetap menutup mata dengan damai.
Bertahun-tahun berlalu, Ajo Kawir tetap memelihara burung yang tengah terlelap. Di saat-saat frustasi, Ajo Kawir melampiaskan emosinya dengan memukul orang, entah siapa. Dan ketika ia memiliki target baru untuk dijadikan samsak, momen tersebut justru mempertemukan Ajo Kawir dengan belahan hatinya. Iteung. Perempuan jagoan yang sempat mengalahkan Ajo Kawir dalam adu tangkas sekaligus mengalahkan hati Ajo Kawir yang kukuh tak ingin berhubungan dengan perempuan akibat ujian monoton yang dideritanya. Pada awalnya, Ajo Kawir memang menolak Iteung ketika perempuan itu meminta Ajo Kawir untuk menjadikannya kekasih. Ajo Kawir bahkan sampai melarikan diri. Tetapi ketika Iteung tahu alasan Ajo Kawir tak ingin menjalin asmara dengannya dan Iteung sama sekali tak mempermasalahkan kemaluan Ajo Kawir yang tak bisa berdiri, Ajo kawir pun akhirnya luluh.
Rumah tangga Ajo Kawir dan Iteung berjalan lancar pada awalnya karena meskipun Ajo Kawir tidak mempunyai senjata yang bisa ereksi, tetapi ia masih mempunyai jari-jari yang membuat Iteung sangat puas dengan pelayanannya. Namun, prahara datang ketika Iteung dinyatakan positif hamil. Ajo Kawir yang tahu bahwa janin itu tidak mungkin darah dagingnya langsung emosi dan melampiaskannya dengan membunuh Si Macan—si ayam jago yang kehilangan taji. Perbuatan itu membuat Ajo Kawir mendekam di jeruji besi. Di sana, Ajo Kawir belajar kehidupan yang baru. Pelajaran hidup yang diperoleh dari sang burung yang tengah tertidur. Ya. Kini Ajo Kawir belajar berdamai dengan keadaan. Belajar berdamai dengan emosinya yang rentan meledak. Belajar berdamai dengan sifat temparementalnya. Belajar berdamai sedamai burungnya yang layu, tenang, tak terusik. Ajo Kawir menempuh jalan sunyi.
Sebebasnya dari bui, Ajo Kawir membeli sebuah truk dan memilih untuk menjadi supir truk. Ia ditemani seorang remaja tanggung, Mono Ompong, dan belakangan hari, mereka berdua mendapat tambahan seorang perempuan penyusup berparas jelek dan bertubuh tidak menarik bernama Jelita. Anehnya, setelah penantian yang amat panjang, burung Ajo Kawir akhirnya bisa membuka mata, berdiri tegak menantang. Kejadian burung yang bangkit dari mati suri itu memang hanya dialami Ajo Kawir dalam mimpi basah bersama Jelita pada awalnya. Tetapi saat mereka bercinta di dunia nyata, keajaiban itu tetap berlanjut. Dan ketika Ajo Kawir ingin memastikan hal tersebut untuk yang kedua kalinya, Jelita malah lenyap tak berbekas.
Yakin bahwa asetnya sudah kembali bekerja, Ajo Kawir pun memutuskan untuk kembali ke pangkuan isteri dan anaknya. Sayangnya, baru saja Iteung bebas dari penjara setelah membunuh Budi Baik (laki-laki yang pernah bercinta dengan Iteung sebelum ia bertemu Ajo Kawir), Iteung kembali harus menghabiskan tahun-tahunnya di dalam hotel prodeo setelah ia menghabisi nyawa kedua polisi pemerkosa si perempuan gila Rona Merah, yang juga pelaku utama terbuainya burung Ajo Kawir dalam tidur yang nyenyak.
***
            Kalau pada protes setelah baca sinopsis versi saya di atas akibat beberapa kata yang nyerempet-nyerempet gitu, prepare yourself to nyumpah-nyumpah deh karena isi novel ini lebih vulgar baik dalam pemilihan diksi (prokem untuk merujuk alat kelamin, deskripsi tentang make out yang aduhai, sampai umpatan-umpatan kasarnya yang khas). Ya, seperti peringatan yang ternyata baru saya lihat setelah membuka plastik buku ini, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang hanya diperuntukkan untuk para pembaca yang berusia di atas 21.
            Speaking of plot, cerita ini sebenarnya punya premis yang teramat sederhana. Tentang laki-laki yang frustasi gara-gara burungnya nggak mau bangun. See? Tetapi ceritanya bakal kemana-mana dengan alur acak yang sebenarnya tidak membingungkan sama sekali, hanya saja agak menyebalkan karena ceritanya terkesan dipotong-potong. Timeline-nya sama sekali tidak beraturan. Kadang maju, mundur, semakin mundur, maju lagi, pokoknya seperti itu lah! Pada awalnya saya sempat desperate juga sama cerita dengan gaya seperti ini, namun ternyata eh ternyata, alur acak seperti ini justru menyingkap peristiwa sedikit demi sedikit dan akhirnya baru ketahuan di ending. Cukup lega sih karena pemilihan random plot­-nya terkesan tidak sia-sia belaka.
            Membaca karya Mas Eka yang satu ini sebenarnya membuat saya bertanya-tanya, apanya yang bagus sih sampai si penulis ini dianggap sebagai penulis top di Indonesia yang karyanya sudah diterjemahkan di luar negeri? Well, saya memang cuma penikmat buku sekaligus reviewer amatir, tetapi serius deh, gaya bahasa Mas Eka ini malah saya bilang terlalu biasa. Kalimatnya simpel. Pendek. Straight forward. Tidak baca deskripsi macam-macam. Dan terbukti, dengan gaya tulisan seperti ini, saya malah cepat bosan. Untungnya, cerita setelah Ajo Kawir membunuh Si Macan sukses menjadi mood booster yang ampuh, especially adegan kejar-kejaran truknya yang bikin deg-degan. Apalagi waktu baca adegan ini, saya lagi dalam bus yang sopirnya juga ugal-ugalan banget nyetir, bikin tambah deg-deg ser.
            Ide cerita udah keren. Penggarapannya lumayan. Namun ada satu yang sangat saya sayangkan dari novel ini. Kemunculan beberapa tokoh yang seolah hanya tempelan karena nggak ngaruh sama sekali sama topik utamanya (I talk about Si Bocah). Pun, ending-nya juga sangat dipaksakan. Tiba-tiba saja ‘peliharaan’ Ojo Kawir langsung siuman dari tidur panjangnya setelah bercinta dengan Jelita. Dan setelah itu, tidak ada pembahasan lagi kenapa hal itu bisa terjadi dan siapa sih Jelita yang kayak jelangkung itu, datang tak dijemput pulang tak diantar?
            Sisi terbaik, sekaligus yang paling unik dari novel ini adalah sampul novel dan judulnya. Kalau dilihat dari sampulnya yang unyu, pasti tidak akan pernah menyangka bahwa ceritanya bakal segila ini. Iya sih di cover-nya ada profil burung yang sedang tertidur, tapi come on, itu burungnya warna-warni dan sama sekali tidak bisa disangkut-pautkan dengan burung yang dimaksud dalam buku ini. Hehhe... Mengenai judulnya, keren banget sih meskipun tetep nggak ngeh dimana letak kesinambungannya antara cerita dengan judul selain masalah truk-truk ini.
            Well, saya benar-benar setuju kalau Eka Kurniawan bukanlah penulis konvensional!
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.” hal. 126

Rating : 6 of 7
Cover : 6,5 of 7

1 komentar:

 
Images by Freepik