Pages

Sabtu, 24 Januari 2015

Review Novel: The Fault in Our Stars, John Green



Judul : The Fault in Our Stars
Penulis : John Green
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Jumlah Halaman : 424 hlm.
Genre : Young Adult Romance, Sick-lit
Penerbit : Qanita
Tahun : 2014 (cetakan VIII edisi kedua, Movie Tie-in)
Harga : 36.750 (beli di fb: Naufal Jasa Kurir)
ISBN : 978-602-1637-39-5
Rating di Goodreads : 4.42 stars of 1,239,713 reviews
First Sentence : Di penghujung musim dingin usia ketujuh belasku, Mom menyimpulkan aku depresi.
Final Sentence : Sungguh.

Menghadapi hidup dengan kanker bersarang di tubuhnya nyaris membuat Hazel Grace menyerah untuk bertahan. Paru-parunya kini tak dapat lagi berfungsi normal. Pasokan oksigen yang ia butuhkan untuk melanjutkan keberlangsungan hidup ditopang dari BiPAP dan tabung oksigen yang harus selalu ia bawa kemanapun ia pergi sampai benda itupun menjelma menjadi ‘bayangan’nya yang ia namai Phillip. Aktivitas sehari-hari Hazel tak lepas dari aktivitas di dalam cangkangnya yang aman, menonton TV dan membaca. Juga kuliah. Namun ketika ia memutuskan untuk menghadiri Kelompok Pendukung yang beranggotakan para penyintas dengan kisah hidupnya masing-masing, mendadak kehidupan Hazel yang serba menjemukan disusupi satu sosok baru. Augustus Waters. Pengidap osteosarkoma dan telah kehilangan salah satu kakinya. Sehari-hari, ia ditopang dengan kaki palsu.
Jalinan kisah Hazel dan Gus tak terlepas dari pertukaran kedua novel favorit masing-masing. Hazel dengan Ganjaran Fajar, novel thriller action favorit Gus, dan Gus dengan Kemalangan Luar Biasa milik Hazel yang selalu gadis itu jadikan inspirasi dalam tiap sendi kehidupannya.
Obsesi Hazel terhadap kisah Kemalangan Luar Biasa ternyata mengalir begitu pada Gus. Ada banyak pertanyaan di kepala mereka mengenai nasib-nasib tokoh di dalam novel tersebut yang diakhiri dengan ending paling menggantung yang pernah ada. Hazel telah berkali-kali mengirim surat ke Peter Van Houten namun tak ada satupun suratnya yang mendapat balasan. Sampai akhirnya Gus membawa kabar mencerahkan dengan menunjukkan balasan dari email yang ia kirimkan ke penulis tersebut. Dari email itu pulalah, Hazel akhirnya mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Sayangnya, jawaban tersebut tidak bisa didapat dengan mudah karena Peter Van Houten tidak akan membeberkan kisah tersebut jika tidak bicara empat mata, dan itu artinya, Hazel harus terbang ke Amsterdam untuk melunasi rasa penasaran yang terus berkecamuk. Sayangnya, pergi ke Amsterdam tak semudah berkendara ke negara bagian lain yang hanya ditempuh sejam dua jam, karena selain keterbatasan biaya dalam melakukan perjalanan internasional, baik kondisi Hazel dan Gus juga mensyaratkan mereka banyak hal untuk dapat terbang selama berjam-jam.
Di luar hal tersebut, rasa cinta yang teramat besar di antara kedua pasangan tersebut juga harus dihantui dengan kematian yang tanpa diduga bisa begitu tiba-tiba datang. Apalagi sebagai penyintas yang masih bertopang dengan berbagai macam obat dan peralatan medis, kematian ibarat burung nasar yang berputar-putar di atas kepala mereka menunggu bangkai. Bahkan, baik Hazel maupun Gus juga sudah menyiapkan busana kematian masing-masing. Namun tak ada yang tahu, apakah paru-paru Hazel yang tenggelam dalam kubangan air adalah pertanda baginya untuk tutup usia, atau justru kambuhnya penyakit Gus, sang metaforis, yang menjadi sinyal kuat bahwa Hazel akan meratapi kepergian sang kekasih ke alam baka.
Atau, mereka akan merenda kisah cinta ibarat pangeran dan putri di negeri dongeng dengan embel-embel, happily ever after?
Bahkan kanker pun sesungguhnya bukan orang jahat. Kanker hanya ingin hidup. Hal. 330
***
Sejujurnya sih, mereview sebuah novel fenomenal dengan ulasan-ulasan mengenainya yang sudah bertaburan di berbagai blog bak cendawan di musim hujan (ciah), adalah hal yang patut difikirkan beberapa kali. Apalagi jika saya baru membacanya saat zaman keemasan novel tersebut sudah lama berlalu. Memang bukan sebuah hal yang patut dipermasalahkan sih, hanya saja ulasan saya terkesan basi. Okelah, mungkin perasaan ini terlalu berlebihan, dan saya rasa, sampai disini saja pembuka review yang nggak-penting-penting-banget ini.
Edisi Pertama Bahasa Indonesia
Sejak membaca paragraf pertama TFiOS versi terjemahan ini, saya terang-terangan mengerutkan kening. Beneran deh! Ada yang salah! Alih-alih langsung terpukau, saya malah langsung buka laptop, baca TFiOS versi e-book gratisan (hihihi), dan CLING! Sebuah bohlam menyala terang di benak saya. Ternyata masalahnya ada di terjemahan. Saya pernah baca dua bab TfiOS Bahasa Inggris (kemudian nyerah karena saya pencinta buku cetak sejati), dan saya amat terpesona dengan gaya bercerita dan gaya bahasa Mr. Green yang komikal. Sayangnya, versi terjemahan ini, mengutip vocabulary para blogger pengamat film, kacrut banget. To be honest, ini adalah kali kedua saya mencoba membaca TfiOS versi terjemahan karena di kesempatan pertama, saya benar-benar patah semangat dengan bahasanya yang amboi INDAH nian (pasti ngerti kata yang amat ditekankan tersebut maksudnya apa, hehe), dan sukses menutup buku bahkan sebelum bab 1 selesai. Di kali kedua, dengan pertimbangan bahwa akan sangat mubadzir jika saya beli buku yang amat diidam-idamkan ini tapi ternyata hanya jadi pajangan di rak, saya-pun berusaha sekuat tenaga menyantap TFiOS versi terjemahan dengan perasaan kecut. Ini beneran kayak novel terjemahan proyek akhir mata kuliah Translation dimana hasilnya ya begitulah. Namanya juga bukan profesional jadi hasilnya pun setengah jadi. Sebelas tiga belas dengan hasil terjemahan google translator. Dialognya sumpah kaku sekali. Sepanjang penceritaan, saya nggak feel dan dengan berat hati, buku ini bukan jodoh saya. Lagi-lagi, saya dibuat kecewa oleh penerbit-penerbit di bawah naungan Mizan karena ketidakcermatannya memilih penerjemah. Dulu, saya juga sempat dibuat frustasi membaca terjemahan Style, dan sampai sekarang, saya tidak meneruskan membaca novel tersebut. For excuse, TFiOS memang punya gaya bahasa yang amat khas. Yang akan susah dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia jika tidak cermat.
Dari segi cerita, saya sih tidak terlalu bisa memberikan penilaian yang fair karena jujur saja, saya sudah ke-distract dengan betapa annoying-nya membaca buku dengan terjemahan, pardon my french, kacrut. Jadi saya hanya bisa bilang, ceritanya asyik. Mungkin yang saya bisa komentari hanya penokohan Hazel dan Gus yang tidak terlalu menarik. Jika di luar sana banyak reviewer yang menobatkan Gus sebagai boyfriend of the week, boyfriend of the month, boyfriend of the year, atau bahkan boyfriend of the century, saya justru sama sekali tidak menangkap hal yang istimewa dari Gus selain dia orang yang cukup menyebalkan. Untuk sekarang, saya tidak dapat merujuk kembali apa sih yang menyebalkan dari Gus karena review ini dibuat jauh setelah saya membaca TFiOS sehingga saya sudah banyak lupa sama detail-detail ceritanya. Kalau tidak salah ingat, rasanya saya kurang sreg sama gaya bicara Gus yang bertele-tele kesana-kemari (he said it was metaphor) dan seperti kata Isaac di dialog berikut ini:
“Sungguh,” lanjut Isaac. “Augustus Waters begitu banyak bicara sehingga dia akan menyelamu di upacara pemakamannya sendiri. Dan, dia sangat sok: Demi Yesus Kristus, anak itu tidak pernah buang air kecil tanpa merenungkan betapa berlimpahnya gaung metaforis produksi limbah manusia. Dan dia sangat membanggakan ketampanannya: aku yakin aku belum pernah menjumpai orang yang lebih menarik secara fisik dan lebih menyadari daya tarik fisiknya sendiri daripada dia. Hal. 346
English Version
 Hazel-pun sebenarnya kurang menarik hati, terutama dengan kelebay-annya (oops) yang meskipun tidak terlalu sering diumbar, tetapi cukup bikin ilfeel.
“Hai, aku berada di Jalur cepat di Eighty-sixth and Ditch, dan aku perlu ambulans. Cinta terbesar dalam hidupku mengalami kegagalan fungsi selang-G.” Hal. 329
Yang jelas, saat membaca novel ini, kedua tokoh ini tidak dapat memikat saya dengan perannya masing-masing. Tetapi, saya justru suka sama karakter Hazel yang diperankan oleh Shailene Woodley. Dia terlihat lebih lembut dibanding Hazel versi buku.
Terakhir, mengenai cover, saya sengaja memilih TFiOS versi movie tie-in karena ini salah satu poster film terbaik yang pernah saya lihat. Dan saya memang tak salah memutuskan, karena cover buku amat sangat indah dipandang dibanding versi terdahulunya yang seperti novel anak-anak. Oh ya, kalau ada kesempatan, saya jelas akan segera memesan TFiOS versi Bahasa Inggris dan baca ulang. Saya yakin, ada banyak hal menakjubkan yang saya lewatkan saat membaca versi terjemahan ini.
Tak peduli betapa hebat kau menendang, tak peduli betapa tinggi yang kau capai, kau tidak bisa memutar satu lingkaran penuh. Hal. 169
Rating
Cerita : 6 of 7.
Terjemahan : 3 of 7
Cover Terjemahan : 6,9 of 7
Cover Asli : 6,9 of 7

1 komentar:

 
Images by Freepik