Pages

Minggu, 27 April 2014

Review Novel : Azab dan Sengsara, Merari Siregar



Judul : Azab dan Sengsara
Penulis : Merari Siregar
Jumlah Halaman : 163 hlm.
Genre : Roman Klasik
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1920
Harga : Rp. 50.000 (Balai Pustaka Online untuk terbitan baru)
Three words about this book : Sad Beautiful Tragic (mumpung lagi marak-maraknya anything about Taylor Swift. Hehehe...)


“Diamlah Tuan, janganlah tuan terlampau amat bercintakan hal yang belum kejadian. Siapa tahu malang yang tuan sangkakan itu menjadi mujur kesudahannya." Kata lampu.
***
Mariamin dan Aminu’ddin bukanlah sepasang kekasih yang baru dirundung cinta kemarin sore. Mereka sudah bersama sejak kecil, tak lain dan tak bukan karena ibu Aminu’ddin merupakan saudara kandung dari ayah Mariamin—Sultan Baringin. Di masa kanak-kanak, Aminu’ddin selalu menempatkan dirinya sebagai pelindung Mariamin. Bahkan saat Mariamin terjatuh ke sungai yang tengah banjir, tanpa mempedulikan keselamatannya, Aminu’ddin langsung menyeburkan dirinya ke dalam air bah. Karena fikirnya, lebih baik ia berbagi kuburan dengan Mariamin di sungai itu daripada ia harus hidup tanpa Mariamin. Syukurnya, mereka berdua selamat dan sejak saat itu Mariamin menaruh simpati berlebih pada sepupunya itu.
Saat dewasa, merekapun menjelma menjadi sepasang kekasih. Namun, Mariamin harus menghadapi kenyataan pahit ketika Aminu’ddin memutuskan untuk merantau ke Medan. Alasannya tidak muluk, ia hanya ingin dapat mempersunting Mariamin dengan uangnya sendiri, meskipun sang ayah justru seorang kepala kampung dengan status sosial tinggi.
Tiga bulan berlalu, Mariamin mendapat surat dari sang kekasih bahwa ia telah mendapat pekerjaan dan bersiap untuk melamar Mariamin. Aminu’ddin-pun telah melayangkan surat ke orangtuanya, yang mana ia ingin agar ibu ayahnya mempersunting Mariamin untuk dirinya. Namun, sang ayah nampaknya agak tidak sepaham dengan kehendak sang anak. Ia berfikiran bahwa ada ketimpangan jika Aminu’ddin yang berderajat tinggi harus menikah dengan Mariamin yang kini jatuh miskin akibat ketamakan Sultan Baringin, ayahnya. Ayah Aminu’ddin-pun memutuskan untuk mencarikan perempuan lain untuk anaknya, namun sang istri tak setuju. Mencoba mengambil jalan tengah, Ayah Aminu’ddin meminta saran seorang dukun untuk membaca nasib Aminu’ddin jika harus menikah dengan Mariamin, dan ternyata perkawinan mereka justru akan dirundung petaka. Sang ibu-pun mengalah dan akhirnya menuruti kehendak suaminya untuk mencarikan calon yang lebih setara buat sang anak.
Di lain tempat, Mariamin justru telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan orangtua Aminu’ddin. Namun orang yang ditunggu tak kunjung datang.
Aminu’ddin yang akhirnya pulang, kaget ketika kedua orangtuanya justru menyodorkan calon baru untuknya. Kecintaannya pada Mariamin belumlah pudar, tetapi ia juga tak berani menentang kemauan orangtuanya, dan akhirnya Aminu’ddin-pun menikah dengan pilihan kedua orangtuanya.
Mariamin yang kini patah hati ternyata tak selamanya sendiri. Beberapa waktu kemudian, Mariamin akhirnya menikah dengan Kasibun, seorang kerani yang notabene mampu menghidupi Mariamin dengan layak. Namun, ada hal yang membuat Mariamin selalu menolak jika diajak berhubungan suami istri oleh Kasibun. Bukan semata karena ia tidak cinta, tetapi Mariamin takut hubungan itu justru membahayakan nyawanya. Sejak saat itu, sikap Kasibun dan Mariamin mulai tidak ramah. Puncaknya, ketika Aminu’ddin bertandang ke rumah Kasibun, dan ia sama sekali tak tahu bahwa Mariamin justru adalah istri orang yang ia kunjungi.
Mariamin-pun mulai sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Sampai suatu hari ia berhasil kabur dari rumah, melaporkan sang suami ke polisi dengan cukup bukti, dan akhirnya mereka-pun resmi bercerai.
Kesengsaraan Mariamin berakhir selama-lamanya.
***
Hal yang paling kental dari roman klasik selain dari penggunaan Bahasa Melayu adalah deskripsi suasana alam yang benar-benar menggunggah. Hal itupun juga saya temui dalam novel ini, bahkan sejak novel ini dimulai. Penggambaran suasana senja kampung Sipirok yang tenteram begitu meneduhkan perasaan. Rasanya saya ikut terbawa ke dalam setting cerita. Duduk di pinggiran sawah yang membentang hijau sementara langit di atas bersaput jingga. Dihibur dengan cicit burung yang terbang pulang ke sarang, dan tak lama kemudian dipanggil untuk segera pulang oleh kumandang adzan maghrib yang bersahutan dari langgar ke langgar. Suasana langka yang sudah pasti sulit ditemui di kota besar, bahkan di Banjarmasin di tempat saya berdiam saat ini. Namun kalau direnungi betul-betul, deskripsi alam yang dituliskan oleh Merari Siregar sebenarnya tidak terlalu istimewa. Pun tidak terlalu detail sekaligus artistik seperti yang dituliskan Ahmad Tohari di Bekisar Merah. Walau begitu, penggunaan Bahasa Melayu-lah yang membuat paragraf deskripsi tersebut terdengar begitu membuai.
Membicarakan roman klasik, tentu tak bisa dilepaskan dari beberapa hal yang sepertinya menjadi pakem para penulis saat itu. Sebut saja kisah cinta tak sampai, kisah cinta berbumbu adat-istiadat atau status sosial, karakter tokoh yang santun dan religius, alur cerita tragis (you name it, kill the protagonist), dan tentu saja, penggunaan Bahasa Melayu.
Oh ya, sebelumnya cerita ini beralur maju-mundur-maju. Bagian pertama, menceritakan tentang perpisahan Mariamin dengan Aminu’ddin, yang juga menyinggung tentang kondisi keluarga Mariamin yang jatuh miskin dengan ibunya yang tengah sakit-sakitan. Bab selanjutnya, cerita mundur ke masa kecil Mariamin dan Aminu’ddin dimana Aminu’ddin pernah sangat berjasa menyelamatkan nyawa Mariamin yang terpeleset ke sungai yang tengah banjir. Bagian selanjutnya, masih berupa peristiwa di masa lampau, dimana diceritakan kondisi keluarga Mariamin yang masih kaya raya. Namun, karena ketamakan sang ayah, akhirnya mereka-pun jatuh miskin, sementara Sultan Baringin, ayah Mariamin, meninggal dunia. Jujur, bagian yang menceritakan tentang ayah Mariamin ini menurut saya adalah lowest point dari novel ini. Saya nyaris saya skipped this part, karena ceritanya terlalu panjang. Hampir 50 persen dari keseluruhan isi novel. Dan bagian terakhir adalah saat cinta Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya benar-benar terhalang karena masing-masing dari mereka tak pernah bersatu.
Oke, kembali ke pakem roman klasik yang akan saya bahas satu-persatu.
Kisah cinta tak sampai. Jika membaca dari sinopsis di atas, sudah jelas bahwa cinta Mariamin dan Aminu’ddin akhirnya tidak dipersatukan. Adapun penyebabnya akan dibahas dalam pakem no 2.
Kisah cinta berbumbu adat-istiadat dan status sosial. Seperti yang saya tulis di sinopsis, status sosial menjadi faktor utama mengapa Aminu’ddin akhirnya gagal bersatu dengan Mariamin dalam biduk pernikahan. Tetapi, dalam novel ini juga disinggung norma adat lainnya (dalam hal ini adat Batak) dimana sepasang manusia yang bermarga sama juga tidak diperbolehkan untuk menikah. Selain itu, juga disinggung tentang sere atau boli, yaitu salah satu syarat perkawinan dalam adat Batak. Penulis novel ini sepertinya ingin mengeritik tentang budaya sere atau boli yang ia anggap justru memberatkan salah satu pihak (dalam hal ini pihak laki-laki) yang ingin menikah. Sere atau boli sendiri ialah emas kawin yang besarnya ditentukan oleh orangtua pihak wanita dan harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Dalam cerita ini disebutkan bahwa besar sere adalah 200 sampai 400 rupiah. Jumlah ini merupakan jumlah pertengahan karena ada pula pihak yang hanya bisa memenuhi kurang dari 200 atau lebih dari 400. Dalam adat saya sendiri, Banjar, budaya ini juga ada, dan masih dipraktekkan sampai sekarang. Bahkan jujuran (sere atau boli dalam adat Batak) ini menjadi titik awal apakah pernikahan jadi dilanjutkan atau tidak. Besar jujuran dalam adat Banjar sebenarnya ditentukan oleh masing-masing pihak, namun yang saya dengar, trend saat ini minimal adalah 20 juta (pandang jumlah ini dari kacamata rakyat biasa, bukan orang berduit. Hehe...). Dan jumlah ini ternyata bisa menyusut maupun bertambah, tergantung dari suku mana perempuan yang akan dinikahi tersebut berasal. Sejujurnya, saya-pun juga pihak yang kontra dengan adanya budaya seperti ini karena selain tidak diatur dalam agama (note it, jujuran itu bukan mas kawin. Jadi, pihak laki-laki juga tetap harus menyediakan mas kawin, tidak lepas tangan begitu saja), budaya seperti ini juga terkesan menukar pihak perempuan dengan uang, karena apabila pihak laki-laki tidak bisa memenuhi jumlah jujuran yang ditawarkan orangtua perempuan, maka pernikahan tidak akan dilangsungkan.
Karakter tokoh yang santun dan religius. Digambarkan dengan sangat sempurna oleh tokoh Mariamin yang begitu santun, murah hati, dan juga religius. Aminu’ddin pun tak kalah sempurna. Santun, taat beragama, pekerja keras, juga patuh pada orangtua bahkan dalam urusan pasangan hidup sekaligus. Hal ini sebenarnya merupakan gambaran konkret orang-orang jaman dulu yang masih tidak direcoki modernitas-modernitas yang setuju tidak setuju, telah mengikis moral bangsa Indonesia yang pada dasarnya merupakan manusia dengan rasa sosial yang tinggi, humanis, religius, ramah, pekerja keras, santun, dan berbagai sifat-sifat terpuji lainnya. Saya sendiri-pun merasakan sekali bagaimana berbedanya karakter orang-orang jaman saya kecil dulu (kalau baca buku PPKN atau Bahasa Indonesia pasti tahu bagaimana santunnya gambaran orang Indonesia) dengan orang-orang jaman sekarang yang lebih individualis dan apatis. Rasanya saya nyaris tak mendengar ada gotong royong yang dilakukan untuk membersihkan kampung atau membangun rumah.
Alur cerita yang tragis. Hal ini sudah bisa dibaca dari judul novel. Azab dan Sengsara. Tidak ada happy ending, as usual. Penulis dengan santainya membunuh karakter utama yang saat ini justru diharamkan dalam dunia ‘pernovelan’. Hehe.... Oh ya, satu hal yang saya kritisi dari judul novel adalah ketidakterkaitannya dengan isi yang, sebut saja, masa Mariamin si perempuan baik-baik itu dapat azab? Kalau sengsara sih iya. Dan selain azab yang menimpa ayah Mariamin, tidak ada lagi azab-azab lain yang terkait dengan tokoh utama dalam novel ini. hehehe....
Penggunaan Bahasa Melayu. Hal ini tak terlepas dari banyaknya penulis zaman tersebut yang berasal dari Sumatera, sebut saja Merari Siregar, HAMKA, Tulis Sutan Sati, dan Marah Roesli. Dibanding Sitti Nurbaya, Bahasa Melayu yang dipakai dalam Azab dan Sengsara lebih mudah difahami. Dan saya mencatat, hanya sedikit kosakata Bahasa Melayu yang (menurut saya) jarang dalam Bahasa Indonesia saat ini (kecuali dalam bahasa daerah). Seperti: Masygul (murung, susah), ruyup (mengantuk, hari yang beranjak malam), bengkalai (terlantar), ranggah (memetik buah dengan tongkat/sampai habis), Tuhan sarwa sekalian alam (Tuhan seru sekalian alam), lamun (namun), fiil (perbuatan), khizit, pokrol bambu (pembela perkara dalam pengadilan yang tidak menempuh pendidikan tinggi), garipir, kudung (terpotong pada ujungnya, kerudung), tiris (bocor), berabung, malap (cahaya yang tidak terang), pimping, salaian (para-para di atas dapur, alat untuk menyalakan tungku), juadah (penganan dari ketan), air kahwa (kopi), kerani (pegawai rendah), gamit (menyentuh dengan ujung jari), cambung (mangkuk cekung), setelempap (ukuran selebar telapak tangan), sebulu, bumiputra (pribumi), jaiz (boleh), bidai (jalinan bidai/bambu), dan bang (adzan). Selain itu, tentu saja penggunaan syair dan pantun juga merupakan ciri khas karya sastra berbahasa Melayu yang juga terdapat dalam novel ini meskipun tidak banyak seperti yang ada pada novel Sitti Nurbaya.
Saya fikir review saya kali ini sudah cukup panjang. Maka dari itu, ada baiknya saya akhiri sekarang karena dikhawatirkan ulasan saya untuk novel selanjutnya malah tidak jadi ditulis karena semua fikiran sudah terkuras untuk review Azab dan Sengsara. Hehe... Yang jelas, novel-novel Indonesia klasik amat baik untuk dikonsumsi semua golongan karena berisi nilai-nilai kebaikan yang saat ini sudah terkikis dan nyaris habis. Marilah kembali menjadi masyarakat Indonesia yang menjunjung norma, budaya, dan sikap ketimuran tanpa out of date terhadap perkembangan jaman modern. ^_^
Oh ya, sebelum kelupaan, ada satu kutipan favorit saya di novel ini yang berupa monolog cukup panjang.
"Pada waktu dahulu sudah tentu saya mendapat pemeliharaan yang senang, kalau saya sakit," kata perempuan itu dalam hatinya. "Akan tetapi sekarang, aduh, siapakah yang kuharapkan lagi? Seorang pun tak ada yang melihat saya, demikianlah rupanya manusia itu di dunia ini. Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat; bila kita jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan dirinya. Akan tetapi Allah pengiba, anakku sudah besar dan cakap memelihara saya pada waktu sakit. Cinta orang tua yang kusimpan baginya, dibalasnya dengan kasih sayang anak kepada orang tuanya. Demikianlah cinta Riam kepada saya. Kalau ia pergi ke ladang atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menyenangkan hatiku, meskipun yang dibawanya itu tiada seberapa harganya; seperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang direbus anakku itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau ayam waktu hari kesukaanku, sungguhpun tak enak dirasa lidahku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hatiku. Mariamin, Mariamin, doakanlah kepada Allah, biar saya lekas sembuh dan lama hidup, supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada demikian, siapakah yang akan mencarikan nafkah untukmu berdua? Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi tempat mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan?"

Rating
Cerita : 6 of 7
Cover Asli : 5 of 7 (karena jaman dulu tekhnologi percetakan belum maju, jadi bisa dimaklumi kenapa cover-nya ‘seperti itu’. So, I give the medium score).


1 komentar:

 
Images by Freepik