Judul : Boy
Meets Boy
Penulis : David
Levithan
Jumlah Halaman
: 185 hlm (Bonus Q&A with the author and side story)
Genre : Young
Adult Fiction, LGBT Romance
Penerbit :
Ember
Cover Designer
: Alfred A. Knopf
Tahun : 2013
Harga : 112.000
(FB: Indo Buku Mania)
ISBN :
978-0-375-83299-4
Rating di
Goodreads : 3.85 stars of 26,396 ratings
First Sentence : 9 P.M. on a November
Saturday.
Final Sentence
: And I think to myself, what a wonderful world.
“So do you think he’s on the bride’s side or
the groom’s side?”
Tinggal
di sebuah kota yang begitu terbuka dengan segala sesuatu khususnya mengenai
orientasi seksual adalah hal yang membuat Paul merasa dia benar-benar hidup di
tempat yang sempurna. Ditambah lagi dengan penerimaan orangtua, saudara,
teman-teman, dan sekolahnya terhadap jalan hidup yang ia pilih membuat hidupnya
terasa tanpa cela. Paul sendiri tidak pernah berniat coming out atas
perbedaan yang ia miliki karena orangtuanya justru tahu bahwa ia gay dari
guru TK-nya. Di buku laporan Paul tertulis PAUL IS DEFINITELY GAY AND HAS
VERY GOOD SENSE OF SELF.
Lain
Paul, lain pula Tony yang tak lain adalah sahabat dekat Paul. Tony tinggal di
kota yang berbeda dengan Paul, di kota yang tidak memiliki penerimaan baik
mengenai isu LGBT, dan yang lebih buruknya, Tony pun terlahir di keluarga
konservatif nan religius yang tentu saja mencap hubungan percintaan sesama
jenis sebagai dosa besar.
Selain
Tony, sahabat Paul yang lain adalah Joni. Mereka seringkali menghabiskan waktu
bertiga dan malam itu, ketika mereka tengah menghampiri Zeke di toko buku
tepatnya di pertunjukkan musiknya, Paul crushed on Noah at the first sight.
Noah
sendiri adalah pendatang baru di kota tempat Paul tinggal. Plus, ia juga
merupakan murid baru di sekolah Paul. Dan tanpa ungkapan cinta atau sebagainya,
Paul dan Noah resmi menjadi sepasang kekasih ketika mereka tengah berada di
kamar Noah untuk melakukan aktivitas yang disebut Noah, melukis musik.
Namun,
dunia Paul yang sempurna itu ternyata tak melulu berjalan baik. Toni, sahabat baiknya,
perlahan mulai menjaga jarak darinya karena ia lebih memilih percaya pada
Chuck, pacar barunya dibanding Paul. Jony, yang kepergok tengah berpelukan
dengan Paul, langsung di-grounded orangtuanya dan tidak diperkenankan
bertemu ataupun menghubungi Paul (and the other his guy friends). Kyle—Paul’s
ex yang dulu menuduh Paul telah menjurumuskannya menjadi seorang gay—kini
meminta maaf pada Paul dan mengaku that he was interested in both girls and
guys, namun buruknya, kehadiran Kyle kembali dalam kehidupan Paul justru
mengancam hubungan Paul dan Noah. Pasalnya, Noah memutuskan untuk break out karena
ia mendengar selentingan kabar bahwa Paul kissed the other guy. Dan Noah
mengira cowok itu adalah Tony. Unfortunately, ketika Paul mencoba
mengklarifikasi kesalahan berita yang didengar Noah, ia malah kelepasan bicara
bahwa yang ia cium sebenarnya Kyle. Dan masalahnya dengan Noah kian memanas.
Di
tengah persiapan pesta Dowager’s Dance yang kian dekat, Paul mencatat 4 misi
yang harus ia tuntaskan. Mempersiapkan acara sekolah tersebut seprofesional
mungkin, berbaikan dengan Toni, kembali dekat dengan Jony, dan yang paling
sentimental, membuat Noah kembali percaya bahwa he’s the one n only that
Paul really loves.
***
Kalau
tidak salah ingat, ini adalah novel bertema LGBT keempat yang sudah saya baca
setelah novel pamungkas Andrei Aksana ‘Lelaki Terindah’, karya perdana Wulan
Dewatra ‘Hujan dan Teduh’, serta novel adaptasi film buah karya Christian
Simamora ‘Cokelat Stroberi’. Dan seperti semua cerita tentang hubungan sesama
jenis yang sudah diangkat baik dalam format film maupun buku, sepertinya ada
satu pakem utama yang terkesan wajib untuk ada di dalam cerita tersebut, ketahuan
dan non-happy ending. Belum pernah ada cerita bertema LGBT yang
membuat tokoh utamanya bersatu. Kebanyakan salah satu pasangan terpaksa menikah
dengan perempuan, whom he doesn’t have sexual interest to her.
E tapi tapi, Boy Meets Boy seolah meruntuhkan
semua pakem yang telah ada tersebut. Tinggal di kota yang utopis (menurut saya
pribadi) dimana semua orang mengakui hubungan sesama jenis bahkan ada sebuah
organisasi semacam perkumpulan orangtua yang mempunyai anak gay dan
lesbian, tentu membuat Paul sudah tak repot-repot lagi menutupi identitasnya.
Sekolahnya juga secara terbuka menerima murid yang mempunyai orientasi seksual
yang tidak seperti orang pada umumnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin Paul bisa
menjadi presiden sekolah dengan slogan kampanye super jujur ‘VOTE ME... I’M
GAY’. Jangan lupakan pula Infinite Darlene. Si homecoming queen sekaligus
quaterback klub sepakbola sekolah yang kalau ditilik dari namanya, pasti
Anda Anda sekalian (ciah) dapat menebak bahwa ia adalah seorang tranny a.k.a
transgender. Lucunya, si Infinite Darlene ini ternyata lumayan laku di kalangan
pria straight, pemirsah! Noh, si Chuck yang patah hati setelah ditolak
Infinite Darlene aja sampai menjadikan Joni—sahabat Paul—pelarian. Oh ya, Joni
itu cewek tulen lho. Memang namanya agak menipu dan saya juga sampai mencoba
membiasakan diri untuk menganggap Joni itu cewek waktu membaca novel ini. Dan
jangan lupakan satu hal pula yang menandakan bahwa sekolah Paul begitu terbuka
dengan identitas seksual dirinya, yaitu waktu Paul masuk ke kamar ganti cewek
untuk menemui Joni dan semua cewek yang ada di sana, half-naked, full naked,
sampai full frontal (hehe) anteng-anteng aja tuh karena mereka tahu
bahwa Paul tidak akan tertarik pada kepolosan tubuh mereka.
See,
utopis sekali kan? Pokoknya membaca novel ini tidak ubahnya seperti membaca
romansa sepasang kekasih straight pada umumnya. Waktu Paul
memperkenalkan Noah pada keluarganya, ayah, ibu, dan adik Paul tentu saja
mendukung dengan senang hati hubungan anaknya. Yang tidak disangka-sangka
adalah pandangan keluarga Noah yang faktanya pendatang baru di kota tersebut.
Waktu Noah mengajak Paul ke rumahnya, Claudia—adik Noah—langsung saja
mewanti-wanti Paul untuk tidak menyakiti hati kakaknya seperti yang pernah
dilakukan mantan pacarnya si Noah. Intinya, Claudia pun sebenarnya tidak ambil
pusing mengenai kakaknya yang mementahkan perasaannya pada wanita dan beralih
ke pria.
Tetapi
seajaib-ajaibnya kota yang ditempati Paul, Noah, Joni, Kyle, Infinite Darlene
dan teman-teman, Tony tidak mengalami nasib serupa. Dan saya, to be honest, amat
menyukai part tentang Jony ini. bertolak belakang dengan Paul, Jony
justru tidak bisa terang-terangan menyatakan ke-gay-annya (sudah saya
ceritakan di sinopsis di atas). Dan setelah si kalem ini ketahuan (oke, ada part
ketahuannya juga sih, tapi tidak terjadi pada tokoh utamanya kan), Tony
justru menurut pada orangtuanya. Ia tidak menggubris ajakan Paul untuk kabur ke
rumahnya karena Tony yakin hukuman itu adalah bagian dari cinta yang kedua
orangtuanya berikan untuknya. FYI, Tony ini tidak bersekolah di tempat yang
sama dengan Paul dan Joni.
Buat
yang merasa kalau cerita bertema LGBT selalu beratmosfer suram, maka Boy Meets
Boy lagi-lagi menolak pakem tersebut. Boy Meets Boy bisa dibilang adalah teenlit
yang berisi lika-liku asmara anak SMA, pesta sekolah, juga hubungan dengan
orangtua yang dikemas dengan nuansa komikal alias mengandung unsur komedi.
Bicara
tentang all the things which are be my favorite di dalam buku ini, tokoh
unggulan saya tentu saja Tony sementara part yang cukup berkesan adalah
waktu Kyle mencium Paul di pemakaman (talk to Kyle: nggak ada tempat yang
lebih romantis apa?) dan juga waktu Paul meminta maaf pada Noah dengan cara
mengirimkan sesuatu yang unik dan berbeda tiap harinya.
Ada
juga part yang cukup menarik
yang sekaligus membuka wawasan saya tentang berbagai karakter orangtua di
Amerika. Itu tu, waktu si Tony digrounded
sama ortunya dan sama sekali nggak
dibolehin ketemu temen cowok (orangtuanya curigasion kalau-kalau cowok itu
kekasihnya Tony), Tony bikin penawaran ke ortunya supaya bisa ketemu Paul
meskipun mereka harus ngobrol di meja dapur dengan pintu depan kebuka. Jadi kan
kesannya, mereka nggak bakal berbuat macam-macam. Nah, part ini ngingetin saya sama kost-kostan mahasiswa yang kalau ada tamu lawan
jenis, pintu depan harus dibuka lebar-lebar tuh supaya setan nggak berani
ngebisikin macam-macam (you know what I mean).
Meski
BMB saya klasifikasikan dalam bacaan kece badai bulan ini, hal yang sangat saya
sayangkan hanyalah tidak adanya part tentang acara Dowager’s Dance
padahal bagian itu sangat saya tunggu-tunggu mengingat konsepnya yang tidak
biasa, funeral dance. Tetapi, tak apalah. Ending-nya juga tidak
mengecewakan.
Well,
jika ingin menikmati bacaan under the theme of LGBT dan berbeda dari
yang lain, Boy Meets Boy bisa dijadikan opsi terbaik untuk itu.
Rating
Cerita : 6,8 of 7
Cover : 6,8 of 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar