Pages

Selasa, 12 Agustus 2014

Review Novel : Boy Meets Boy, David Levithan



Judul : Boy Meets Boy
Penulis : David Levithan
Jumlah Halaman : 185 hlm (Bonus Q&A with the author and side story)
Genre : Young Adult Fiction, LGBT Romance
Penerbit : Ember
Cover Designer : Alfred A. Knopf
Tahun : 2013
Harga : 112.000 (FB: Indo Buku Mania)
ISBN : 978-0-375-83299-4
Rating di Goodreads :  3.85 stars of 26,396 ratings
First Sentence : 9 P.M. on a November Saturday.
Final Sentence : And I think to myself, what a wonderful world.


“So do you think he’s on the bride’s side or the groom’s side?”
            
 Tinggal di sebuah kota yang begitu terbuka dengan segala sesuatu khususnya mengenai orientasi seksual adalah hal yang membuat Paul merasa dia benar-benar hidup di tempat yang sempurna. Ditambah lagi dengan penerimaan orangtua, saudara, teman-teman, dan sekolahnya terhadap jalan hidup yang ia pilih membuat hidupnya terasa tanpa cela. Paul sendiri tidak pernah berniat coming out atas perbedaan yang ia miliki karena orangtuanya justru tahu bahwa ia gay dari guru TK-nya. Di buku laporan Paul tertulis PAUL IS DEFINITELY GAY AND HAS VERY GOOD SENSE OF SELF.
            Lain Paul, lain pula Tony yang tak lain adalah sahabat dekat Paul. Tony tinggal di kota yang berbeda dengan Paul, di kota yang tidak memiliki penerimaan baik mengenai isu LGBT, dan yang lebih buruknya, Tony pun terlahir di keluarga konservatif nan religius yang tentu saja mencap hubungan percintaan sesama jenis sebagai dosa besar.
            Selain Tony, sahabat Paul yang lain adalah Joni. Mereka seringkali menghabiskan waktu bertiga dan malam itu, ketika mereka tengah menghampiri Zeke di toko buku tepatnya di pertunjukkan musiknya, Paul crushed on Noah at the first sight.
            Noah sendiri adalah pendatang baru di kota tempat Paul tinggal. Plus, ia juga merupakan murid baru di sekolah Paul. Dan tanpa ungkapan cinta atau sebagainya, Paul dan Noah resmi menjadi sepasang kekasih ketika mereka tengah berada di kamar Noah untuk melakukan aktivitas yang disebut Noah, melukis musik.
            Namun, dunia Paul yang sempurna itu ternyata tak melulu berjalan baik. Toni, sahabat baiknya, perlahan mulai menjaga jarak darinya karena ia lebih memilih percaya pada Chuck, pacar barunya dibanding Paul. Jony, yang kepergok tengah berpelukan dengan Paul, langsung di-grounded orangtuanya dan tidak diperkenankan bertemu ataupun menghubungi Paul (and the other his guy friends). Kyle—Paul’s ex yang dulu menuduh Paul telah menjurumuskannya menjadi seorang gay—kini meminta maaf pada Paul dan mengaku that he was interested in both girls and guys, namun buruknya, kehadiran Kyle kembali dalam kehidupan Paul justru mengancam hubungan Paul dan Noah. Pasalnya, Noah memutuskan untuk break out karena ia mendengar selentingan kabar bahwa Paul kissed the other guy. Dan Noah mengira cowok itu adalah Tony. Unfortunately, ketika Paul mencoba mengklarifikasi kesalahan berita yang didengar Noah, ia malah kelepasan bicara bahwa yang ia cium sebenarnya Kyle. Dan masalahnya dengan Noah kian memanas.
            Di tengah persiapan pesta Dowager’s Dance yang kian dekat, Paul mencatat 4 misi yang harus ia tuntaskan. Mempersiapkan acara sekolah tersebut seprofesional mungkin, berbaikan dengan Toni, kembali dekat dengan Jony, dan yang paling sentimental, membuat Noah kembali percaya bahwa he’s the one n only that Paul really loves.
***
            Kalau tidak salah ingat, ini adalah novel bertema LGBT keempat yang sudah saya baca setelah novel pamungkas Andrei Aksana ‘Lelaki Terindah’, karya perdana Wulan Dewatra ‘Hujan dan Teduh’, serta novel adaptasi film buah karya Christian Simamora ‘Cokelat Stroberi’. Dan seperti semua cerita tentang hubungan sesama jenis yang sudah diangkat baik dalam format film maupun buku, sepertinya ada satu pakem utama yang terkesan wajib untuk ada di dalam cerita tersebut, ketahuan dan non-happy ending. Belum pernah ada cerita bertema LGBT yang membuat tokoh utamanya bersatu. Kebanyakan salah satu pasangan terpaksa menikah dengan perempuan, whom he doesn’t have sexual interest to her.
            E tapi tapi, Boy Meets Boy seolah meruntuhkan semua pakem yang telah ada tersebut. Tinggal di kota yang utopis (menurut saya pribadi) dimana semua orang mengakui hubungan sesama jenis bahkan ada sebuah organisasi semacam perkumpulan orangtua yang mempunyai anak gay dan lesbian, tentu membuat Paul sudah tak repot-repot lagi menutupi identitasnya. Sekolahnya juga secara terbuka menerima murid yang mempunyai orientasi seksual yang tidak seperti orang pada umumnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin Paul bisa menjadi presiden sekolah dengan slogan kampanye super jujur ‘VOTE ME... I’M GAY’. Jangan lupakan pula Infinite Darlene. Si homecoming queen sekaligus quaterback klub sepakbola sekolah yang kalau ditilik dari namanya, pasti Anda Anda sekalian (ciah) dapat menebak bahwa ia adalah seorang tranny a.k.a transgender. Lucunya, si Infinite Darlene ini ternyata lumayan laku di kalangan pria straight, pemirsah! Noh, si Chuck yang patah hati setelah ditolak Infinite Darlene aja sampai menjadikan Joni—sahabat Paul—pelarian. Oh ya, Joni itu cewek tulen lho. Memang namanya agak menipu dan saya juga sampai mencoba membiasakan diri untuk menganggap Joni itu cewek waktu membaca novel ini. Dan jangan lupakan satu hal pula yang menandakan bahwa sekolah Paul begitu terbuka dengan identitas seksual dirinya, yaitu waktu Paul masuk ke kamar ganti cewek untuk menemui Joni dan semua cewek yang ada di sana, half-naked, full naked, sampai full frontal (hehe) anteng-anteng aja tuh karena mereka tahu bahwa Paul tidak akan tertarik pada kepolosan tubuh mereka.
            See, utopis sekali kan? Pokoknya membaca novel ini tidak ubahnya seperti membaca romansa sepasang kekasih straight pada umumnya. Waktu Paul memperkenalkan Noah pada keluarganya, ayah, ibu, dan adik Paul tentu saja mendukung dengan senang hati hubungan anaknya. Yang tidak disangka-sangka adalah pandangan keluarga Noah yang faktanya pendatang baru di kota tersebut. Waktu Noah mengajak Paul ke rumahnya, Claudia—adik Noah—langsung saja mewanti-wanti Paul untuk tidak menyakiti hati kakaknya seperti yang pernah dilakukan mantan pacarnya si Noah. Intinya, Claudia pun sebenarnya tidak ambil pusing mengenai kakaknya yang mementahkan perasaannya pada wanita dan beralih ke pria.
            Tetapi seajaib-ajaibnya kota yang ditempati Paul, Noah, Joni, Kyle, Infinite Darlene dan teman-teman, Tony tidak mengalami nasib serupa. Dan saya, to be honest, amat menyukai part tentang Jony ini. bertolak belakang dengan Paul, Jony justru tidak bisa terang-terangan menyatakan ke-gay-annya (sudah saya ceritakan di sinopsis di atas). Dan setelah si kalem ini ketahuan (oke, ada part ketahuannya juga sih, tapi tidak terjadi pada tokoh utamanya kan), Tony justru menurut pada orangtuanya. Ia tidak menggubris ajakan Paul untuk kabur ke rumahnya karena Tony yakin hukuman itu adalah bagian dari cinta yang kedua orangtuanya berikan untuknya. FYI, Tony ini tidak bersekolah di tempat yang sama dengan Paul dan Joni.
            Buat yang merasa kalau cerita bertema LGBT selalu beratmosfer suram, maka Boy Meets Boy lagi-lagi menolak pakem tersebut. Boy Meets Boy bisa dibilang adalah teenlit yang berisi lika-liku asmara anak SMA, pesta sekolah, juga hubungan dengan orangtua yang dikemas dengan nuansa komikal alias mengandung unsur komedi.
            Bicara tentang all the things which are be my favorite di dalam buku ini, tokoh unggulan saya tentu saja Tony sementara part yang cukup berkesan adalah waktu Kyle mencium Paul di pemakaman (talk to Kyle: nggak ada tempat yang lebih romantis apa?) dan juga waktu Paul meminta maaf pada Noah dengan cara mengirimkan sesuatu yang unik dan berbeda tiap harinya.
            Ada juga part yang cukup menarik yang sekaligus membuka wawasan saya tentang berbagai karakter orangtua di Amerika. Itu tu, waktu si Tony digrounded sama ortunya dan sama sekali nggak dibolehin ketemu temen cowok (orangtuanya curigasion kalau-kalau cowok itu kekasihnya Tony), Tony bikin penawaran ke ortunya supaya bisa ketemu Paul meskipun mereka harus ngobrol di meja dapur dengan pintu depan kebuka. Jadi kan kesannya, mereka nggak bakal berbuat macam-macam. Nah, part ini ngingetin saya sama kost-kostan mahasiswa yang kalau ada tamu lawan jenis, pintu depan harus dibuka lebar-lebar tuh supaya setan nggak berani ngebisikin macam-macam (you know what I mean).
            Meski BMB saya klasifikasikan dalam bacaan kece badai bulan ini, hal yang sangat saya sayangkan hanyalah tidak adanya part tentang acara Dowager’s Dance padahal bagian itu sangat saya tunggu-tunggu mengingat konsepnya yang tidak biasa, funeral dance. Tetapi, tak apalah. Ending­-nya juga tidak mengecewakan.
            Well, jika ingin menikmati bacaan under the theme of LGBT dan berbeda dari yang lain, Boy Meets Boy bisa dijadikan opsi terbaik untuk itu.

Rating
Cerita : 6,8 of 7
Cover : 6,8 of 7


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Images by Freepik