Pages

Sabtu, 02 Agustus 2014

Review Novel: Delirium, Lauren Oliver



Judul : Delirium
Tagline : Mereka ingin memastikan bahwa kau takkan pernah merasakan cinta
Penulis : Lauren Oliver
Penerjemah : Vici Alfanani Purnomo
Jumlah Halaman : 518 hlm.
Genre : Young Adult Romance, Dystopian Fiction
Penerbit : Mizan Fantasi
Cover Designer : Windu Tampan
Tahun : 2011
Harga : 25.000 (Obral Mizan Banjarmasin)
ISBN : 978-979-433-646-5
Rating di Goodreads : 4,04 of 215,480 votes
First Sentence : Sudah enam puluh empat tahun presiden dan konsorsium mengidentifikasi cinta sebagai sebuah penyakit.
Final Sentence : Mereka takkan bisa mengambilnya.



Satu hal yang menguntungkan dari sebuah rahasia adalah: Mereka berisik. (hal. 255)
Dunia yang dilihat Lena Halloway adalah dunia tanpa cinta. Cinta adalah sebuah dosa besar. Sastra dan puisi masuk dalam “Kompilasi Lengkap Kata-Kata dan Ide-Ide Berbahaya”. Penikmat musik dijebloskan ke penjara. Tertawa bahagia dianggap melanggar aturan. Suami-istri, ibu-anak, kakak-adik, hanya sebuah ikatan tanpa kasih sayang. Binatang. Orang yang jatuh cinta dianggap binatang. Lena pun demikian, ketika dia jatuh cinta kepada Alex Sheates. Mereka hidup dalam rasa takut hebat, dan hanya menunggu waktu hingga mereka menanggung hukuman.
Kehidupan di Portland adalah kehidupan tanpa cinta. Cinta dianggap penyakit paling berbahaya dan setiap anak yang cukup umur wajib menjalani proses penyembuhan. Sebagai pengaman, beberapa Regulator ditempatkan di berbagai sudut kota untuk mengidentifikasi orang-orang yang diduga terinfeksi ‘cinta’, para Simpatisan, pemberontak, dan juga Invalid. Kota itu pun dikelilingi pagar dialiri arus listrik yang membatasi Portland dengan Alam Liar. Tempat Invalid tinggal. Tempat para pembelot, orang-orang yang menolak prosedur dan mengakui bahwa cinta adalah sumber kebahagiaan, bukan penyakit berbahaya dan mematikan.
Seperti yang dirasakan semua orang seusianya, Lena Halloway seolah memiliki dua jantung yang berdegup kencang, bersarang di dalam dadanya. Bagaimana tidak, momentum evaluasi dan prosedur yang harus dijalani setiap anak berusia 18 tahun kini di depan mata. Evaluasi adalah tahapan ujian yang harus dilalui setiap calon anak yang ingin disembuhkan, untuk mengetahui sejauh mana mereka tidak bersentuhan dengan hal-hal yang berhubungan dengan ‘cinta’ dan juga untuk menentukan pasangan yang cocok setelah mereka disembuhkan


. Sementara prosedur adalah proses penyembuhan melalui jalan operasi dimana setiap orang akan diberikan penawar agar ia tidak lagi memiliki perasaan cinta. Ya. Di masa itu, cinta adalah penyakit yang paling mematikan. Segala hal yang berhubungan dengan cinta dan ungkapan perasaan harus dimusnahkan termasuk lagu, puisi, juga buku-buku. Penyakit itu disebut Amor Deliria Nervosa. Setelah menjalani prosedur, nantinya setiap orang akan diberikan pilihan calon pasangan yang akan menjadi istri/suami. Meski begitu, rumah tangga itu hanya akan berjalan sebagai sebuah simbol kehidupan yang makmur, tetapi tetap saja tidak ada ‘cinta’ yang terjalin di antara keduanya.
Di hari evaluasinya, entah kenapa jawaban-jawaban yang sudah Lena persiapkan mendadak macet dan ia nyaris saja mengacaukan tahapan evaluasinya jika saja tidak ada insiden yang membuat evaluasi hari itu berantakan, lalu akhirnya dijadwalkan ulang di lain waktu. Di saat kekacauan itu pulalah, Lena bersitatap dengan Alex. Seorang petugas pemerintahan, sudah disembuhkan dengan bukti tiga tanda bekas operasi di belakang telinganya, namun ternyata diketahui bahwa Alex adalah seorang Invalid yang menyamar. Dan itulah yang membuat ia bisa menjatuhkan perasaannya pada Lena.
Pertemuan keduanya dengan Alex terjadi saat ia dan Hana menerobos masuk ke daerah terlarang. Alex berpura-pura tidak mengenal Lena dan itu membuat Lena tersinggung. Namun, lama-kelamaan, ia malah semakin terpikat dengan pesona Alex meskipun ia mencoba menyangkal karena ia tidak ingin berakhir seperti ibunya yang bunuh diri karena terinfeksi deliria. Sayangnya, perasaan itu semakin menggebu dan Hana yang juga cenderung tertarik dengan hal-hal yang melanggar aturan semakin membuat Lena terfasilitasi untuk melakukan segala hal yang bisa membuatnya dicap sebagai Simpatisan atau pemberontak. Apalagi, Lena juga mulai berani melanggar jam malam (setiap orang yang belum disembuhkan hanya boleh keluar rumah sampai jam 11 malam), pergi ke Dataran Tinggi Deering karena penasaran dengan pesta disertai musik yang tidak pernah direkomendasikan.
Hubungan Lena dan Alex yang riskan juga dibayang-bayangi jadwal prosedur yang akan Lena jalani beberapa waktu lagi yang artinya, ia tak akan pernah bisa lagi jatuh cinta, bahkan jika hanya sekedar mengingat kenangannya baik bersama Alex maupun Hana. Ia akan seperti yang lainnya. Menjadi robot dan akan menjalani aktivitas super monoton. Namun fakta tentang ibunya yang diduga meninggal akibat bunuh diri karena tak sanggup lagi menjalani prosedur yang keempat kalinya (ibu Lena diduga kebal terhadap penyembuhan karena ia masih mengenang almarhum suaminya) membuat Lena dengan mantap menolak untuk menjalani prosedur. Ia sudah merencanakan untuk menjauh dari kehidupan yang penuh kebohongan di Portland dan menjalin cinta tanpa dikepung rasa khawatir dan takut lagi bersama Alex. Sayangnya, niat tersebut tidak berjalan lancar. Dan seperti kisah Romeo dan Juliet yang menjadi favorit Lena, cinta butuh pengorbanan.
***
Original Cover
            Bicara novel yang mengangkat tema percintaan pasti sudah tak terhitung lagi banyaknya di muka bumi. Pun, premisnya juga itu-itu saja. Tetapi khusus untuk Delirium, saya berani menyematkan label 100% fresh karena ide novel roman yang seperti ini baru satu-satunya di dunia, setidaknya sepengetahuan saya. Secara umum, buku pertama dari seri Delirium ini memang lebih menitikberatkan pada hubungan Lena dan Alex. Dua sejoli yang menjalin cinta di tengah kondisi dunia yang alih-alih mengakui cinta sebagai hasrat alami tiap manusia namun sebaliknya sebagai sebuah penyakit berbahaya.
            Meskipun ide cerita yang diangkat Lauren Oliver ini otentik, tetapi ada beberapa bagian yang akan serta-merta mengingatkan kita pada Divergent. Saya pribadi ketika membaca tentang Evaluasi, Tes Simulasi di Divergent sontak terbayang di benak saya. Apalagi di sana juga disinggung bahwa tes itu adalah tahap untuk menentukan jalan hidup selanjutnya yang akan dijalani para peserta sampai akhir hayat mereka. Tidak terlalu identik sih, jadi saya rasa ini hanya kebetulan dan tidak perlu dipermasalahkan.
            Mengenai jalan cerita sendiri, di luar temanya yang original dan menarik, saya sendiri agak menyesal untuk mengakui bahwa plot yang dijabarkan ternyata biasa saja. Tidak monoton sih, hanya saja rasanya novel ini terkesan sia-sia menyandang predikat dystopian fiction karena di benak saya, novel dystopian fiction pastilah memiliki alur yang menegangkan. Sayangnya, Delirium tak lebih seperti novel cinta pada umumnya. Kehidupan yang diangkat pada masa itu pun juga tidak mengandung ciri-ciri futuristik terkecuali adanya peraturan baru tentang sebuah penyakit yang dijuluki amor deliria nervosa. Kalau bisa dibuat perbandingan, Delirium bisa disandingkan dengan Twilight. Sebuah novel romansa yang dibumbui dengan kisah cinta terlarang non mainstream. Jadi, dengan berat hati saya bilang bahwa saya sempat menelantarkan novel ini beberapa saat karena alurnya yang hanya berkutat tentang cinta.
            Untungnya, di sekitar 100 halaman terakhir, tepatnya ketika fakta baru tentang ibu Lena terkuak, cerita mulai memasuki plot yang menegangkan. Konflik yang saya harapkan pun bermunculan. Dan, ya, saya amat menikmati ketegangan yang disuguhkan. Juga cliffhanger ending-nya yang tidak bisa dibilang bahagia, tetapi saya rasa itu adalah pilihan ending terbaik.
            Sebenarnya ada satu hal yang benar-benar saya soroti dari novel ini. Tak lain dan tak bukan adalah gaya tulisan Lauren Oliver sendiri. Saya kagum dengan perbendaharaan kosakatanya yang kaya karena dilihat dari kalimat-kalimat yang ia pakai, meskipun sudah diterjemahkan, tetap nampak bahwa ia bukan penulis yang suka memakai diksi yang sama berulang-ulang. Dan satu lagi, tampaknya Lauren Oliver adalah penulis yang teramat menikmati menyusun kalimat dengan majas simile. FYI, simile adalah salah satu jenis figurative language yang ciri-cirinya mengibaratkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan memakai kata-kata seperti: as, like, as if atau dalam Bahasa Indonesia: seperti, bak, laksana, seakan-akan, seolah-olah. Andai saja saya tidak malas untuk menghitung, mungkin ada lebih dari 500 simile yang dipakai Oliver dalam novel ini karena rasanya, hampir selalu ada satu simile dalam setiap halaman. Fakta yang cukup menarik untuk diangkat menjadi masalah dalam skripsi. Hehehe...
Another Cover Edition
            Untuk penerjemahan sendiri, tidak ada masalah. Bahasanya luwes, lancar, dan diksinya bagus. Berwarna dan tidak monoton. Pun, saya paling suka dengan terjemahan dari kitab Pssst (Pedoman Sehat, Senang, Selamat, dan Teratur). Saya sendiri awalnya kurang ngeh maksud dari nama ‘Pssst’ yang saya kira seolah lelucon. Namun setelah saya telisik lebih jauh, Pssst itu adalah singkatan. Dan setelah saya lihat versi Bahasa Inggrisnya, ternyata Pssst dialihmaknakan dari the book of Shhh (The Safety, Health, and Happiness Handbook). Kalau saya jadi penerjemah, mungkin saya hanya akan menerjemahkan the book of Shhh menjadi Panduan Keselamatan, Keselamatan, dan Kebahagiaan tanpa pernah memikirkan untuk mencari padanan Shhh (bunyi desisan) yang nampaknya sepele.
            Terakhir, satu hal yang saya anggap nilai minus dari novel ini adalah tidak adanya penjelasan mengenai Simpatisan di novel ini. Sampai akhir cerita, saya sendiri masih bertanya-tanya siapa sih yang dimaksud dengan Simpatisan itu? Apakah para pemberontak? Tetapi kata Simpatisan juga disandingkan dengan pemberontak yang artinya mereka berbeda istilah. Atau orang yang kebal terhadap penawar? Namun ibu Lena tidak disebut Simpatisan. Ataukah orang yang terinfeksi? Yang tahu tolong bisikin ya! Hehehe...
            Entirely, meski sempat berfikiran untuk tidak melanjutkan serial ini karena menganggap Delirium tak lebih hanya novel roman remaja-dewasa, namun fikiran tersebut sudah saya buang jauh-jauh karena ternyata cerita berubah 180 derajat di sepertiga akhir novel dan itu artinya, lanjutan dari Delirium ini akan lebih banyak memuat aksi dibanding roman. Pandemonium is in waiting...
            By the way, benar tidak sih kalau Delirium akan diangkat menjadi film karena setelah saya googling, yang ada hanya TV seriesnya saja.

Rating
Cerita : 6,5 of 7
Terjemahan : 6,8 of 7
Cover Terjemahan : 6 of 7
Cover Asli : 7 of 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Images by Freepik