Pages

Minggu, 31 Agustus 2014

Review Novel: Roma: Con Amore, Robin Wijaya



Judul : Roma: Con Amore (STPC #2 Gagasmedia)
Penulis : Robin Wijaya
Jumlah Halaman : x + 374 hlm.
Genre : Adult Romance
Penerbit : GagasMedia
Cover Designer : Jeffri Fernando
Tahun : 2013
Harga : 48.000 (fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN : 978-979-780-614-9
Rating di Goodreads :
First Sentence : “Leo tidak akan menjual lukisan itu.”
Final Sentence : Aku akan menjawab dengan kata yang sama.

            Jika ada tiga hal yang dapat menggambarkan Leonardo Halim maka hal tersebut adalah: seorang pelukis pengagum Michelangelo, adanya sosok perempuan yang tak pernah absen hadir di setiap lukisannya, dan The Lady—karya pribadi berupa gambar seorang wanita di gereja Saint Agnes yang selalu ia bawa ke setiap pameran yang ia ikuti.
Pertemuan Leonardo dan Felice bertaut melalui insiden lukisan yang dibeli Felice untuk bosnya. Felice yang salah memberi kartu nama mengakibatkan lukisan yang ia beli dikirimkan ke alamat yang salah, dan bersama dengan Leo, ia menjemput lukisan tersebut. Sayangnya, kesan pertama Leo terhadap Felice tidak bisa dikatakan baik karena Felice tidak dapat dibilang kooperatif, tidak mau mengaku salah, dan angkuh.
            Sebenarnya, Felice nyaris saja bertemu Leo untuk yang kedua kalinya karena bos Felice tertarik ingin membeli karya Leo yang lain. Sayangnya, Leonardo keburu pulang ke Indonesia untuk mengisi pameran di Bali. Dan tidak berapa lama, Felice pun juga memutuskan untuk berangkat ke Indonesia, bukan untuk menyusul Leo, namun karena kakaknya akan melangsungkan acara pernikahan di Bali.
            Sesampainya di Bali, Felice ternyata mengalami apa yang selama ini ia takutkan jika ia kembali ke Indonesia. Felice memang mempunyai konflik internal dengan sang mama dan pertemuan mereka hanya menambah gesekan itu kian sengit. Felice pun memilih untuk hengkang dari acara persiapan pernikahan dan memutuskan untuk menghadiri pameran lukisan. Pertemuan keduanya dengan Leo jauh lebih akur dibanding sebelumnya. Bahkan Leo dengan senang hati menemani Felice jalan-jalan. Sejak saat itulah, benih-benih cinta di hati mereka tersemai.
            Di Roma, ketika Felice kembali untuk menekuri pekerjaannya dan akhirnya dibuat patah hati oleh aksi pacarnya yang main belakang, Leo juga kembali ke tempat yang sama untuk menggelar pameran tunggal yang selama ia idam-idamkan. Hubungan Felice dan Leo kian dekat dan intim. Felice sering kali mengurusi kehidupan Leo yang tidak teratur akibat ‘pekerjaannya’ yang tidak mengenal waktu. Namun, suatu hari, Marla—kekasih Leo di Indonesia—datang tanpa diundang, membuat Felice merasa lagi-lagi ia dikhianati oleh seorang laki-laki.
            Namun sebenarnya, tujuan Marla menyusul Leo ke Roma bukan untuk mengklaim cinta Leo karena ia tahu dari jauh-jauh hari, bahwa lukisan-lukisan Leo telah menyiratkan bahwa ia sudah tak lagi ada di hatinya.
***
            Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa sinopsis di atas jauh dari kata bagus. Well, entah kenapa saya merasa nggak ada mood sedikit pun untuk menulis review tetapi keadaan memaksa saya untuk melakukan hal itu. (ask me: keadaan apa sih?). Eng... saya udah mau tamat baca Bangkok dan kalau Roma belum saya review, itu artinya saya hutang 2 ulasan. Dan dengan memori super kecil yang saya miliki, mengingat-ingat dua cerita berbeda agak susah.
            Oh ya, sinopsis di atas juga tidak saya lengkapi dengan quote seperti biasanya karena kertas catatan saya lenyap. Padahal di sana saya sudah menulis hal-hal penting mengenai Roma termasuk beberapa kutipan. Sebenarnya sih nggak begitu sulit kalau mau mengutip quote dari novel ini karena di setiap pergantian bab, Kak Robin selalu menyertakan satu quote yang saya nggak ngerti korelasinya dengan cerita (oke, beberapa ada yang nyambung juga sih). Tetapi, saya nggak begitu sreg dengan quote-quote tersebut. Entah kenapa nggak ada ‘sesuatu’nya. Hehehe...
            Berbicara mengenai Roma, sebenarnya saya agak underestimate sama novel ini mengingat rekan-rekan reviewer lainnya memberikan penilaian yang nggak begitu bagus sampai sedang terhadap karya terbaru Kak Robin ini. Dari segi premis utama, ya sih datar-datar aja. Bahkan agak ajaib aja melihat hubungan Felice dan Leo yang tiba-tiba adem ayem di Bali kayak baru kenal dan nggak pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan sebelumnya. Perubahan sifat Felice juga bisa dibilang ekstrim. Dia yang awalnya angkuh, sok, belagu, bla bla bla, kok tiba-tiba bisa berubah ‘manis’ waktu di Bali. Apa atmosfer Italia dan Indonesia bisa mengubah karakter seseorang? Whehehe.... Nah, tetapi, penilaian underrated tersebut ternyata tidak terkabul karena saya puas dengan buku ini. Oke, kepuasan saya akan saya jabarkan dalam bentuk poin-poin saja mengingat mood menulis saya lagi di ambang batas kemalasan.
1.      Saya amat menyukai sebuah cerita yang berkutat pada profesi tertentu. Meskipun saya tidak terlalu excited dengan dunia lukis-melukis, tetapi penjabaran Kak Robin tentang profesi pelukis yang detail membuat saya merasa nyaman menikmati deskripsi tersebut.
2.      STPC tidak bisa dibilang STPC jika tidak menyinggung tentang setting cerita. Menurut saya, Kak Robin sukses mendeskripsikan Italia tanpa terlalu terkesan seperti tengah promosi tempat wisata. Tidak hanya tempat, Kak Robin juga menyisipkan budaya-budaya khas Itali seperti lega calceo yang meski saya skip beberapa kali (FYI, saya nggak suka sepak bola), tetapi saya terkesan dengan Kak Robin yang juga memuat hal tersebut di dalam novel ini.
3.      Ini nih faktor yang paling berpengaruh dalam membuat saya betah membaca ‘Roma’ dalam waktu kurang dari sehari. Yap, gaya menulis Kak Robin yang amat memukau. Diksinya seolah-olah hasil konsultasi alot dengan KBBI. To be honest, novel debut Kak Robin, Before Us, sama sekali tak berhasil memikat saya. Kalau saja itu bukan novel yang didapat dari perjuangan berat, mungkin saya akan meletakkan novel ini sejak bab pertama. Tetapi di Roma, saya dengan senang hati mengatakan bahwa gaya tulisan Kak Robin nyaris sama epiknya dengan Amanda Inez (lihat di sini) yang menurut saya adalah thesaurus Bahasa Indonesia berjalan.
Ditunjang oleh konstruksi yang sudah mumpuni, nyatanya Roma tidak bisa dibilang memikat dari segi cerita. Chemistry yang terjadi antara Leo dan Felice bisa dibilang tidak intens sama sekali, bahkan terkesan spontan. Dan yang paling annoying dari Roma adalah revelation dari The Lady yang jujur dari awal amat menyita perhatian saya. Sooooo lame, for God’s sake! So sorry for Kak Robin, tetapi kekecewaan saya mengenai hal itu tidak dapat saya pendam sendiri. Hehehe...
Sebenarnya fakta tentang The Lady painting itu bukan satu-satunya annoying thing dari Roma. Well, saya juga amat terganggu dengan banyaknya footnote yang terkesan berlebihan. Saya tidak sempat bikin list sih kata-kata apa saja yang harusnya tidak perlu dicantumkan sebagai footnote karena masih ada padanan Bahasa Indonesia untuk itu.
Kesimpulannya, Roma punya bahan bangunan yang amat baik (call it writing style, diction, research data) tetapi eksekusinya tidak dapat menonjolkan kelebihan yang sudah dimiliki konstruksinya.
If you have another next work, I would be pleased to read it as a comparation.


Rating
Cerita: 6 of 7
Cover: 5,5 of 7




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Images by Freepik