Penulis : Robin
Wijaya
Jumlah Halaman
: x + 374 hlm.
Genre : Adult
Romance
Penerbit :
GagasMedia
Cover Designer
: Jeffri Fernando
Tahun : 2013
Harga : 48.000
(fb: Tokobuku Sukabaca)
ISBN :
978-979-780-614-9
Rating di
Goodreads :
First Sentence : “Leo tidak akan menjual
lukisan itu.”
Final Sentence : Aku akan menjawab dengan
kata yang sama.
Jika
ada tiga hal yang dapat menggambarkan Leonardo Halim maka hal tersebut adalah:
seorang pelukis pengagum Michelangelo, adanya sosok perempuan yang tak pernah
absen hadir di setiap lukisannya, dan The Lady—karya pribadi berupa
gambar seorang wanita di gereja Saint Agnes yang selalu ia bawa ke setiap
pameran yang ia ikuti.
Pertemuan
Leonardo dan Felice bertaut melalui insiden lukisan yang dibeli Felice untuk
bosnya. Felice yang salah memberi kartu nama mengakibatkan lukisan yang ia beli
dikirimkan ke alamat yang salah, dan bersama dengan Leo, ia menjemput lukisan
tersebut. Sayangnya, kesan pertama Leo terhadap Felice tidak bisa dikatakan
baik karena Felice tidak dapat dibilang kooperatif, tidak mau mengaku salah,
dan angkuh.
Sebenarnya,
Felice nyaris saja bertemu Leo untuk yang kedua kalinya karena bos Felice
tertarik ingin membeli karya Leo yang lain. Sayangnya, Leonardo keburu pulang
ke Indonesia untuk mengisi pameran di Bali. Dan tidak berapa lama, Felice pun
juga memutuskan untuk berangkat ke Indonesia, bukan untuk menyusul Leo, namun
karena kakaknya akan melangsungkan acara pernikahan di Bali.
Sesampainya
di Bali, Felice ternyata mengalami apa yang selama ini ia takutkan jika ia
kembali ke Indonesia. Felice memang mempunyai konflik internal dengan sang mama
dan pertemuan mereka hanya menambah gesekan itu kian sengit. Felice pun memilih
untuk hengkang dari acara persiapan pernikahan dan memutuskan untuk menghadiri
pameran lukisan. Pertemuan keduanya dengan Leo jauh lebih akur dibanding
sebelumnya. Bahkan Leo dengan senang hati menemani Felice jalan-jalan. Sejak
saat itulah, benih-benih cinta di hati mereka tersemai.
Di
Roma, ketika Felice kembali untuk menekuri pekerjaannya dan akhirnya dibuat
patah hati oleh aksi pacarnya yang main belakang, Leo juga kembali ke tempat
yang sama untuk menggelar pameran tunggal yang selama ia idam-idamkan. Hubungan
Felice dan Leo kian dekat dan intim. Felice sering kali mengurusi kehidupan Leo
yang tidak teratur akibat ‘pekerjaannya’ yang tidak mengenal waktu. Namun, suatu
hari, Marla—kekasih Leo di Indonesia—datang tanpa diundang, membuat Felice
merasa lagi-lagi ia dikhianati oleh seorang laki-laki.
Namun
sebenarnya, tujuan Marla menyusul Leo ke Roma bukan untuk mengklaim cinta Leo
karena ia tahu dari jauh-jauh hari, bahwa lukisan-lukisan Leo telah menyiratkan
bahwa ia sudah tak lagi ada di hatinya.
***
Saya
sadar sesadar-sadarnya bahwa sinopsis di atas jauh dari kata bagus. Well, entah
kenapa saya merasa nggak ada mood sedikit pun untuk menulis review tetapi
keadaan memaksa saya untuk melakukan hal itu. (ask me: keadaan apa sih?).
Eng... saya udah mau tamat baca Bangkok dan kalau Roma belum saya review, itu
artinya saya hutang 2 ulasan. Dan dengan memori super kecil yang saya miliki,
mengingat-ingat dua cerita berbeda agak susah.
Oh
ya, sinopsis di atas juga tidak saya lengkapi dengan quote seperti
biasanya karena kertas catatan saya lenyap. Padahal di sana saya sudah menulis
hal-hal penting mengenai Roma termasuk beberapa kutipan. Sebenarnya sih nggak
begitu sulit kalau mau mengutip quote dari novel ini karena di setiap
pergantian bab, Kak Robin selalu menyertakan satu quote yang saya nggak
ngerti korelasinya dengan cerita (oke, beberapa ada yang nyambung juga sih).
Tetapi, saya nggak begitu sreg dengan quote-quote tersebut. Entah kenapa
nggak ada ‘sesuatu’nya. Hehehe...
Berbicara
mengenai Roma, sebenarnya saya agak underestimate sama novel ini
mengingat rekan-rekan reviewer lainnya memberikan penilaian yang nggak
begitu bagus sampai sedang terhadap karya terbaru Kak Robin ini. Dari segi
premis utama, ya sih datar-datar aja. Bahkan agak ajaib aja melihat hubungan
Felice dan Leo yang tiba-tiba adem ayem di Bali kayak baru kenal dan nggak
pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan sebelumnya. Perubahan sifat
Felice juga bisa dibilang ekstrim. Dia yang awalnya angkuh, sok, belagu, bla
bla bla, kok tiba-tiba bisa berubah ‘manis’ waktu di Bali. Apa atmosfer Italia
dan Indonesia bisa mengubah karakter seseorang? Whehehe.... Nah, tetapi,
penilaian underrated tersebut ternyata tidak terkabul karena saya puas
dengan buku ini. Oke, kepuasan saya akan saya jabarkan dalam bentuk poin-poin
saja mengingat mood menulis saya lagi di ambang batas kemalasan.
1. Saya amat menyukai sebuah cerita yang berkutat
pada profesi tertentu. Meskipun saya tidak terlalu excited dengan dunia
lukis-melukis, tetapi penjabaran Kak Robin tentang profesi pelukis yang detail
membuat saya merasa nyaman menikmati deskripsi tersebut.
2. STPC tidak bisa dibilang STPC jika tidak
menyinggung tentang setting cerita. Menurut saya, Kak Robin sukses
mendeskripsikan Italia tanpa terlalu terkesan seperti tengah promosi tempat
wisata. Tidak hanya tempat, Kak Robin juga menyisipkan budaya-budaya khas Itali
seperti lega calceo yang meski saya skip beberapa kali (FYI, saya nggak
suka sepak bola), tetapi saya terkesan dengan Kak Robin yang juga memuat hal
tersebut di dalam novel ini.
3. Ini nih faktor yang paling berpengaruh dalam
membuat saya betah membaca ‘Roma’ dalam waktu kurang dari sehari. Yap, gaya
menulis Kak Robin yang amat memukau. Diksinya seolah-olah hasil konsultasi alot
dengan KBBI. To be honest, novel debut Kak Robin, Before Us, sama sekali
tak berhasil memikat saya. Kalau saja itu bukan novel yang didapat dari
perjuangan berat, mungkin saya akan meletakkan novel ini sejak bab pertama.
Tetapi di Roma, saya dengan senang hati mengatakan bahwa gaya tulisan Kak Robin
nyaris sama epiknya dengan Amanda Inez (lihat di sini) yang menurut saya adalah
thesaurus Bahasa Indonesia berjalan.
Ditunjang oleh
konstruksi yang sudah mumpuni, nyatanya Roma tidak bisa dibilang memikat dari
segi cerita. Chemistry yang terjadi antara Leo dan Felice bisa dibilang
tidak intens sama sekali, bahkan terkesan spontan. Dan yang paling annoying dari
Roma adalah revelation dari The Lady yang jujur dari awal amat
menyita perhatian saya. Sooooo lame, for God’s sake! So sorry for Kak
Robin, tetapi kekecewaan saya mengenai hal itu tidak dapat saya pendam sendiri.
Hehehe...
Sebenarnya
fakta tentang The Lady painting itu bukan satu-satunya annoying thing
dari Roma. Well, saya juga amat terganggu dengan banyaknya footnote
yang terkesan berlebihan. Saya tidak sempat bikin list sih kata-kata
apa saja yang harusnya tidak perlu dicantumkan sebagai footnote karena
masih ada padanan Bahasa Indonesia untuk itu.
Kesimpulannya,
Roma punya bahan bangunan yang amat baik (call it writing style, diction,
research data) tetapi eksekusinya tidak dapat menonjolkan kelebihan yang
sudah dimiliki konstruksinya.
If you have another next work, I would be pleased to read it as a comparation.
Rating
Cerita: 6 of 7
Cover: 5,5 of 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar