Cover asli dan versi terjemahan hampir sama |
Judul : Message in a Bottle (Pesan dalam Botol)
Penulis : Nicholas Sparks
Penerjemah : Sutanty
Jumlah Halaman : 416 hlm.
Genre : Adult-Romance
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cover Designer : -
Tahun : 1999
Harga : 25.000 (beli di TokoBagus, lupa nama akunnya.)
ISBN : 979-655-320-1
Rating di Goodreads : 3,90 of 2,840 reviews
One word about this book : Page-turner
Buku pertama Nicholas Sparks yang diterbitkan di Indonesia
“Kaupikir, siapa yang membawa botol itu padanya?”
Perceraian bukan suatu hal yang mudah dijalani, dan meski sudah tiga tahun lebih berlalu, Theresa masih merasakan kepahitan dari sebuah hubungan yang diwarnai dengan pengkhianatan. Untuk melepas penat, baik kepenatan lahir setelah menjalani waktu-waktu sibuk sebagai kolumnis ataupun kepenatan batin dari trauma yang belum sepenuhnya pulih, Theresa memutuskan untuk mengikuti ajakan rekannya, Deanna dan suaminya, berlibur ke pantai di Cape Cod.
Di saat sedang jogging di pantai, kaki Theresa terantuk sesuatu yang ternyata sebuah botol. Theresa yang nyaris saja membawa botol tersebut ke tempat sampah langsung mengurungkan niatnya setelah dilihatnya ada segulung surat yang terikat erat tali rami di dalamnya. Penasaran, Theresa mengeluarkan surat tersebut dan seluruh perhatiannya mendadak tercurah pada isi surat tersebut. Surat yang membuatnya meneteskan air mata karena begitu terharu.
Atas usul Deanna yang juga terenyuh setelah ikut membaca surat tersebut, Theresa setuju untuk memuat surat tersebut di kolomnya dengan menghilangkan bagian-bagian yang bersifat pribadi seperti nama penulis surat dan untuk siapa surat tersebut dibuat. Dan sesuai dengan dugaan Deanna, ada begitu banyak pembaca yang juga terpukau setelah membaca surat indah yang berisi tentang kerinduan seorang kekasih tersebut. Theresa mendapat limpahan surat dan juga telepon. Salah satu telepon bahkan membawa Theresa kepada surat kedua yang ternyata berasal dari orang yang sama. Surat yang ditulis tiga tahun yang lalu. Surat ketiga didapatkan Theresa dari seorang profesor yang menulis sebuah artikel tentang pesan di dalam botol di majalah Yankee.
Tiga surat dari penulis yang sama cukup membuat Theresa membulatkan keputusannya untuk menyelediki siapa penulis surat tersebut. Yang jelas, di fikiran Theresa, pria itu pastilah seorang pria yang amat romantis dan setia. Di surat yang ketiga, Theresa tahu bahwa pria itu kehilangan istri yang amat dicintainya untuk selama-lamanya. Dan berdua dengan Deanna, akhirnya Theresa berhasil mendapatkan informasi mengenai pria bernama Garrett dan beserta lokasi toko yang dimilikinya. Sempat maju mundur untuk mengetahui tampang Garrett, berkat desakan Deanna, Theresa akhirnya berangkat juga ke Wilmington, North Carolina untuk melihat tampang Garrett yang siapa tahu bisa menyembuhkan luka hatinya. Itupun kalau Garrett bukan pria lanjut usia.
Sesampainya di Wilmington, Theresa langsung menuju ke toko perlengkapan selam milik Garrett. Di sana ia sempat melihat-lihat artikel-artikel yang terpajang di dinding toko yang salah satunya memajang foto Garrett walaupun buram. Berdasarkan informasi pegawai toko, Garrett ada di dok dan entah kenapa Theresa langsung melangkahkan kaki ke arah sana.
Di dok sendiri, Theresa tidak menemukan Garrett di atas kapal layar Happenstance milik Garrett. Theresa-pun berfikir kalau pegawai toko tersebut salah memberikan informasi dan sebagai gantinya, Theresa memilih untuk melihat-lihat kapal Happenstance yang direnovasi dengan sangat berhasil oleh Garrett. Saat itulah ia dikejutkan oleh seseorang yang ternyata Garrett sendiri. Dan entah oleh bisikan apa, tiba-tiba Garrett mengajak Theresa berlayar sore harinya setelah ia mendengar Theresa belum pernah mengarungi lautan dengan kapal layar.
Sejak pelayaran itu, Garrett dan Theresa mulai menaruh perasaan suka satu sama lain. Bahkan untuk merancang pertemuan dengan Garrett lagi di lain hari, Theresa sengaja meninggalkan sweater-nya di kapal Garrett. Garrett-pun merasakan hal yang demikian. Ia begitu mendambakan bertemu kembali dengan Theresa karena menurutnya, Theresa hanyalah seorang turis dan setelah berlayar waktu itu, kemungkinan ia tidak akan lagi bertatap muka dengan Theresa. Syukurnya, insiden ketinggalan sweater itu membuat harapan Garrett dan Theresa terkabul. Garrett-pun mengajak Theresa untuk makan bersama di sebuah kedai makan terkenal di Wilmington. Dan di lain hari, ia bahkan mengajak Theresa untuk dinner di rumahnya. Tak lama, kata cinta pun terucap di antara mereka.
Sayangnya, waktu berlibur Theresa semakin sempit. Cinta mereka yang baru mekar pun langsung menghadapi ujian bernama jarak. Meski berat, mereka pun tetap harus berpisah dan mengatur pertemuan kembali dua minggu kemudian.
Dua minggu berlalu, Theresa kembali ke North Carolina, kali ini bersama dengan Kevin, puteranya. Kevin sendiri langsung akrab dengan Garrett karena ia menganggap Garrett hanya sebagai seorang instruktur selam yang akan mengajari ia dan ibunya menyelam di sana. Walau begitu, ketika mereka kembali ke Boston, Kevin mengutarakan bahwa ia senang jika Garrett memiliki hubungan spesial dengan ibunya.
Semakin panjang waktu bergulir, perasaan Garrett dan Theresa pun semakin menguat. Kini jarak mulai menjadi beban. Tidak selamanya Theresa bisa mendapatkan waktu libur untuk mengunjungi Garrett ke North Carolina, begitu pula Garrett yang tidak mungkin terus meninggalkan kerjaannya di Wilmington demi mengunjungi Theresa ke Boston. Mereka mempunyai kehidupan masing-masing. Kehidupan yang berbeda. Dan ketika Garrett memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Theresa, alias menjadi sepasang suami isteri, jarak yang membentang di antara mereka pun mulai dipertanyakan. Garrett meminta Theresa untuk pindah ke Wilmington karena ia sendiri merasa tidak cocok dengan Boston yang metropolitan. Garrett tak bisa jauh dengan laut. Laut adalah ladang rejekinya. Sementara itu, Theresa pun juga tidak dapat pindah ke Wilmington. Karirnya sebagai seorang kolumnis sedang amat cemerlang, dan lagipula, ia juga tidak bisa meminta Kevin untuk meninggalkan sekolah dan teman-temannya. Perdebatan pun tak dapat dielakkan. Ketika Theresa keluar apartemen sebentar untuk mendinginkan kepala, tak sengaja, Garrett menemukan surat-suratnya kepada Catherine di apartemen Theresa. Terang saja ia marah besar. Ia merasa itu merupakan hal pribadi yang tidak boleh diumbar-umbar, apalagi ke media publik. Dengan rasa kecewa dan gusar yang membuncah, Garrett meninggalkan Theresa yang belum sempat melakukan pembelaan.
Keesokan harinya, Theresa menyusul Garrett ke Wilmington. Tak perlu diskusi sengit, Garrett langsung memaafkan Theresa dan mengaku menyesal karena telah marah. Ia juga sudah bisa mengikhlaskan karirnya di Wilmington untuk pindah ke Boston jika itu yang Theresa inginkan setelah mereka menikah. Sayangnya, di saat Garrett sudah mampu menerima keadaan, Theresa justru memutuskan hubungan dengan pria itu. Ia merasa Garrett masih dibayang-bayangi sosok Catherine. Dan dengan berat hati, akhirnya Theresa memilih untuk menjauh dari Garrett.
Setahun telah berlalu sejak kejadian itu. Theresa masih belum bisa melupakan ekspresi terluka Garrett ketika ia mencoba menghentikan Theresa. Sejujurnya, ia memang masih amat mencintai Garrett. Dan di saat itu pula lah, ia menerima telepon dari Jeb Blake, ayah Garrett, yang memintanya datang ke Wimington karena ada urusan penting.
Sebuah berita yang membuat Theresa menyesal akan keputusannya waktu itu.
***
Sebagai buku pertama Om Nico yang saya baca (it means that it ain’t the first time I read this book), buku ini bisa dibilang adalah gerbang yang memberikan saya akses masuk untuk menjadi bagian dari fansclub pencinta oh so ah-ma-zing books of Nicholas Sparks. Masih begitu lekat di ingatan kalau waktu itu saya nyaris tidak bisa melepaskan novel ini barang sedetik padahal to be honest waktu itu saya amat masih menggandrungi novel-novel remaja dengan bahasa seringan kapas. Ajaib sekali rasanya kalau Message in a Bottle yang notabene bukan novel remaja dengan konflik cheesy bisa segitu impressing-nya buat saya. Dan demi melengkapi koleksi review novel-novel Nicholas Sparks yang saya punya (start weeping cos’ this is the last one on my shelf T_T), akhirnya saya memutuskan untuk membaca ulang novel ini.
Versi lain |
Buku ini tidak mengecewakan, absolutely, mengingat label yang saya berikan di atas. Meski paragraf deskripsi terlampau panjang membuat bosan (yang bisa saya simpulkan bahwa novel-novel debut Om Nico tampaknya mempunyai paragraf deskripsi yang lebih panjang dibanding novel-novelnya yang terbit tahun 2000an ke atas), namun hal itu sama sekali tak membuat saya melewatkan satu huruf pun karena, hell, tidak ada satu tanda baca pun bahkan yang worth it untuk di-skip dalam novel ini. Ceritanya memang standar. Kisah seorang laki-laki dan perempuan yang pernah menikah yang dipertemukan karena adanya jalinan cinta di antara mereka. Namun, media yang mempertemukan mereka adalah bagian eksklusif dari novel ini. Message in a bottle is totally brilliant! Apalagi surat yang ditulis bukan sekedar surat-surat trashy minta kenalan dengan mencantumkan alamat dan sebagainya yang kayaknya bisa didapat dengan mudah di majalah (remember kalau tahun 99’ adikarya Zuckenberg masih berupa embrio, apalagi si burung biru). Dan surat Garrett, hmm... romantis dan liris.
Sayangnya, tapi tidak mengurangi penilaian saya terhadap adikarya ini lho, karakter Garrett itu menyebalkan. Sebagai seorang pria dewasa, pelaut lagi, Garrett itu terlampau spoiled. Sorry for that! Dia terlampau ‘lembek’ (I couldn’t find another word which is appropriate) sebagai seorang lelaki. Dan juga selfish. Part saat Garrett meminta Theresa pindah ke Wilmington benar-benar membuat saya kecewa. Sebagai seorang laki-laki, harusnya dia tidak seegois itu.
Dan untuk karakter favorit, saya jatuhkan kepada, Kevin. Who is Kevin? Lihat aja sinopsis di atas lagi. Kekekekek.... (Sorry agak nggak konsen nulis gara-gara ingar-bingar kemenangan Nowela di Idol). Dari beberapa novel Om Nico yang saya baca, entah kenapa tokoh anak-anak selalu berhasil menyedot perhatian saya. Meskipun Jonah di The Last Song tampaknya lebih charming. Hoho...
Untuk kekurangan, dari segi cerita sih tidak saya temukan sebesar biji zarah pun. Namun bagian penerjemahannya agak sedikit menganggu. Terutama bagian, ehm, BH. Ya. Pemilihan kosa kata BH tampak seperti ugly duckling di tengah kawanan angsa. Padahal bra tampaknya lebih indah dan nyaman dibaca dibanding BH. Atau mungkin tahun 1999, kata BH justru terlihat lazim di mata pembaca. Nggak tahu deh!
Euforia kemenangan Nowela benar-benar mengganggu kayaknya, dan itu artinya saya harus cepat-cepat menyudahi review ini. Duo maut The Notebook dan Message in a Bottle adalah karya wajib yang harus dibaca bagi yang mengaku penggemarnya Nicholas Sparks.
Salute!
Rating
Cerita: 6,7 of 7
Terjemahan: 6 of 7
Cover Asli: 6 of 7
Cover Terjemahan: 6 of 7
wahhh pencinta berat Nicos juga ya...dari buku pertama yang saya baca "The Choise" menuntun saya untuk mencari karya lain Nicos. akhirnya saya dapatkan hardcopy The Best of Me, The Last Song, The Notebook,Dear John, The Lucky One, Safe Heaven, The Guardian, Night in Rodanthe dan sedang berburu karya Nicos yang lainx...
BalasHapus